Andi Muhammad Sofyan
Universitas Hasanuddin

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

The Role of Granting Expert Information By The Indonesian Financial Examiner's Loss on the Judge's Decision In Proof of Criminal Offense Sultan Sa'aduddin Akib; Andi Muhammad Sofyan; Audyna Mayasari Muin
LEGAL BRIEF Vol. 11 No. 2 (2022): Law Science and Field
Publisher : IHSA Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (759.376 KB)

Abstract

The study aims to analyze the role of expertory by the Indonesian finance ministry on assessing the state's losses to the judges decision on alleged criminal corruption and the obstacles it faced by the finance ministry's giving expert testimony in judicial proceedings. The type of research used by the writer is the type of empirical law study. The study is conducted at the finance ministry of the Indonesian Republic of Sulawesi representative and the makassar district court. The legal material used is the primary law ingredient, the data obtained directly from interviews and secondary law materials, data through literature, books, journals, and legislation studies. The material of the law is qualitatively analyzed and presented in descriptive terms. The results of the research, concluded that, (1) The role of giving expert information by BPK is important but evidence is not binding on the judge to render a ruling. So that the judge has the right and freedom to make an appraisal of his perfection and truthfulness, and the judge can either accept, regard and make into consideration the giving of expert information by the body of the financial examiner or not. (2) In general, there are 2 (two) obstacles to proving a link to the criminal corruption, which is a drawback to the country's limited human resources, time for checkups and budgets. And also obstacles during the process of giving expert explanations that include, psychological obstacles, communication barriers, inappropriate congregation schedules, impaired professional health, and lack of material mastery by the expert.
OPTIMALISASI PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Andi Muhammad Sofyan; Amiruddin Amiruddin
Jurnal Restorative Justice Vol 3 No 2 (2019): Jurnal Restorative Justice
Publisher : Musamus University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35724/jrj.v3i2.2400

Abstract

Korupsi merupakan kewajiban semua pihak untuk mengatasinya, karena hal itu merupakan amanat konstitusi Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Artinya negara mempunyai hak untuk menerima pengembalian kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh para koruptor, sebab uang yang dikorupsi tersebut adalah termasuk keuangan negara yang merupakan hak dan kewajiban negara itu sendiri untuk memilikinya. Sebagaimana diatur dalam kententuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, yang berbunyi : Bahwa kuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Penyelenggaraan hak dan kewajiban negara yang dimaksud, telah diatur dalam Pasal 23 C Bab VIII Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi salah satu bentuk problematika dari sekian banyak masalah kebangsaan lainnya. Korupsi ditengarai sebagai penyebab kehancuran ekonomi yang memiliki dampak negatif pada terjadinya multi krisis di hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara yang mencapai angka triliunan rupiah bukanlah suatu perkara mudah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut, namun membutuhkan kerja keras baik oleh aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum untuk mengoptimalkan pengembalian atas kerugian keuangan negara yang dimaksud kedalam kas negara.
OPTIMALISASI PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Andi Muhammad Sofyan; Amiruddin Amiruddin
Jurnal Restorative Justice Vol 3 No 2 (2019): Jurnal Restorative Justice
Publisher : Musamus University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (94.425 KB) | DOI: 10.35724/jrj.v3i2.2400

Abstract

Korupsi merupakan kewajiban semua pihak untuk mengatasinya, karena hal itu merupakan amanat konstitusi Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Artinya negara mempunyai hak untuk menerima pengembalian kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh para koruptor, sebab uang yang dikorupsi tersebut adalah termasuk keuangan negara yang merupakan hak dan kewajiban negara itu sendiri untuk memilikinya. Sebagaimana diatur dalam kententuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, yang berbunyi : Bahwa kuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Penyelenggaraan hak dan kewajiban negara yang dimaksud, telah diatur dalam Pasal 23 C Bab VIII Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi salah satu bentuk problematika dari sekian banyak masalah kebangsaan lainnya. Korupsi ditengarai sebagai penyebab kehancuran ekonomi yang memiliki dampak negatif pada terjadinya multi krisis di hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara yang mencapai angka triliunan rupiah bukanlah suatu perkara mudah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut, namun membutuhkan kerja keras baik oleh aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum untuk mengoptimalkan pengembalian atas kerugian keuangan negara yang dimaksud kedalam kas negara.
Tindak Pidana Penipuan terhadap Iklan yang Menyesatkan dan Merugikan Konsumen Iyaomil Achir Burhan; Andi Muhammad Sofyan; Nur Azisa
Palangka Law Review VOLUME 1 ISSUE 2, SEPTEMBER 2021
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52850/palarev.v1i2.4044

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk penipuan dan pertanggungjawaban hukum terhadap iklan yang dapat menyesatkan dan merugikan konsumen. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (legal research). Pendekatan penelitian yang digunakan meliputi pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Iklan yang menyesatkan dan merugikan konsumen terbagi menajdi 3 (tiga) jenis yaitu Bait Advertising, Blind Advertising dan False Advertising. Ditinjau dari perspektif hukum pidana, iklan yang menyesatkan dan merugikan konsumen merupakan suatu tindak pidana, yaitu penipuan. Pelaku Usaha yang paling memiliki peran penting dalam periklanan dan berperan penting dalam dimintai pertanggungjawaban terkait dengan ketidakbenaran informasi yang terkandung dalam suatu iklan (barang dan/atau jasa) yang menyesatkan dan mengakibatkan kerugian terhadap konsumen yang mengonsumsi atau memakai barang tersebut. Pelaku usaha periklanan yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang di alami konsumen adalah pengiklan, perusahaan iklan, dan media iklan. Konsumen yang dirugikan oleh pihak pelaku usaha bisa menuntut berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban secara perdata. Selain itu, pelaku usaha dapat dituntut secara pidana apabila dapat dibuktikan unsur-unsur kesalahannya