Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

BAI'UL WAFA` (Review Penggunaan Dalil Mashlahah di Kalangan Hanafiyah) Asa'ari Asa'ari
Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 13 No. 1 (2013): Islamika : Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kerinci, Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/islamika.v13i1.20

Abstract

Ba'i al-Wafa` first appeared in Central Asia, especially Bukhara and Balkh around the 5th century AH in order to avoid usury in borrowing. Many of the rich when it is not willing to lend money without any remuneration they receive. While many of the borrowers are not able to pay off debts due in return they have to pay along with money borrowed. On the other hand benefits granted on the basis of borrowing money, according to scholars of fiqh including usury. So to avoid usury, the community of Bukhara and Balkh formatting a form of trading known as alWafa` Bai'u. For today's economic context Bai'ulWafa` should be considered to be applied in the activities mu'amalatMuslim community, especially in Indonesia as a substitute for Pawn institutions that practice during this conflict with Rahan outlined by the texts, especially in terms of taking advantage of pledges by the lien holder Bai'u al-Wafa` muncul pertama kali di Asia Tengah khususnya Bukhara dan Balkh sekitar abad ke 5 Hijriyah dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjammeminjam. Banyak di antara orang kaya ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak pula para peminjam uang tidak mampu melunasi hutangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan uang yang dipinjam. Di sisi lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang itu menurut ulama fikih termasuk riba. Maka untuk menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh memformat suatu bentuk jual beli yang dikenal dengan Bai'u al-Wafa`. Untuk konteks ekonomi dewasa ini, Bai'ul Wafa` patut dipertimbangkan untuk diterapkan dalam aktivitas mu'amalat masyarakat Muslim khususnya di Indonesia sebagai pengganti institusi Gadai yang praktiknya selama ini bertentangan dengan Rahan yang digariskan oleh nash terutama dalam hal mengambil manfaat dari barang gadaian oleh pemegang gadai.
DAMPAK KAPITULASI TERHADAP PERADILAN TURKI UTSMANI Asa'ari Asa'ari
Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 18 No. 02 (2018): Islamika : Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kerinci, Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/islamika.v18i02.310

Abstract

Abstract: The Ottoman Empire stood above Sharia’s Islam, which at first was only a sultanate and then its power expanded to the gates of Vienna (Austria), the North African region, Arabia and its territory to Aceh Darussalam. The Legal Capitulation Treaty was favorable in the heyday, because traders were stimulated to carry out activities in the Ottoman ports, especially in Istanbul. Significant increase in the country's foreign exchange, so that large activities are carried out without any monetary shock. After a leadership crisis, this legal capitulation agreement has been fruitful. More and more foreign consuls, expanded treaties and sharia judgments began to lose function because many Christian citizens and Jews who had never known the French, British and other European countries had taken refuge behind the Capitulation agreement which had privileges in tax relief, immune from civil or criminal law. This led to the secularism of Ottoman law which contained European law material. There is an uncontrolled Tanzimat, it should only be in the field of military and economic technology and strategy but has penetrated the judicial system and legal material. Which ends with the loss of Ottoman sovereignty.
BAI'UL WAFA` (Reviwe Penggunaan Dalil Mashlahah di Kalangan Hanafiyah) Asa'ari Asa'ari
Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol. 8 (2012): Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (687.97 KB) | DOI: 10.32694/qst.v8i.1170

Abstract

Bai'u al-Wafa` muncul pertama kali di Asia Tengah khususnya Bukhara dan Balkh sekitar abad ke 5 Hijriyah dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam. Banyak diantara orang kaya ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak pula para peminjam uang tidak mampu melunasi hutangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan uang yang dipinjam. Di sisi lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang itu menurut ulama fiqh termasuk riba. Maka untuk menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu memformat suatu bentuk jual beli yang dikenal dengan Bai'u al-Wafa`. Dalam perkembangan taqnin (kodifikasi hukum Islam) di dunia Islam seperti lahirnya Majallah Al-Ahkam Al-'Adliyyah yang diundangkan pada tahun 1286 H. di Turki (sebagai kodifikasi hukum pertama di dunia Islam), Qanun al-Madani di Mesir, dan Qanun Al-Madani al-Sury, di Suryah yang pernah memuat pasal-pasal tentang Bai'ul Wafa` sebagai aqad yang dilegalisasi secara fiqhiyyah ternyata disusun dalam haluan pemikiran hukum ulama kalangan Hanafiyah. Untuk kontek ekonomi dewasa ini Bai'ul Wafa` patut dipertimbangkan untuk diterapkan dalam aktifitas mu'amalat masyarakat Muslim khususnya di Indonesia sebagai pengganti institusi Gadai yang prakteknya selama ini bertentangan dengan Rahan yang digariskan oleh nash terutama dalam hal mengambil manfaat dari barang gadaian oleh pemegang gadai.