Imam Hanafi
ISAIS UIN Suska Riau

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Dari Etika Qur’an Ke Etika Publik; Rekontruksi Pendidikan Islam Fazlur Rahman Imam Hanafi; Alimuddin Hasan; Moh. Said HM
Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam Vol 6, No 2 (2020): Desember 2020
Publisher : IAIN Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31332/zjpi.v6i2.1371

Abstract

Pemikiran Fazlur Rahman tentang etika al-Qur’an merupakan esensi ajaran kitab suci, adalah mata rantai penghubung antara teologi dan hukum, sekaligus sebagai dalih bagi pentingnya etika al-Qur’an. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagaimana memformulasikan pendidikan Islam dalam konteks pengembangan etika al-Qur’an tersebut, menjadi sebuah etika publik. Yaitu penghayatan akan pentingnya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan di ranah publik. Sehingga, apa pun perilaku seseorang, seharusnya mempertimbangkan kepentingan publik (sesama manusia), dari pada kepentingan sendiri.
DESEKULERISASI ULAMA; Makna Ulama Menurut Nurcholish Madjid Imam Hanafi; Sofiandi Sofiandi
Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol 8, No 2 (2018): Madania
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.244 KB) | DOI: 10.24014/jiik.v8i2.5713

Abstract

Ulama menduduki posisi penting dalam masyarakat Islam. Ulama tidak hanya sebagai figur ilmuan yang menguasai dan memahami ajaran-ajaran agama, tetapi juga sebagai penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat ke arah pengembangan dan pembangunan umat. Perilaku ulama selalu menjadi teladan dan panutan. Ucapan ulama selalu menjadi pegangan dan pedoman. Ulama dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah menjaga akhlaq masyarakat. Pengetahuan dan pendalaman tentang ajaran agama yang dimilikinya memungkinkan para ulama bertindak selaku kekuatan moral. Yang kedua adalah mereka yang memahami dengan penuh penghayatan gejala-gejala alam sekitarnya seperti hujan (meteorologi), tetumbuhan (flora), fenomena geologis gunung-gunung (mineralogi), gejala kemanusiaan (ilmu-ilmu sosial), dan binatang-binatang (fauna) dengan berbagai variasi dan kompleksitasnya. Hal ini berarti bahwa seorang ulama tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan.
MENGENAL NEO-MODERNISME ISLAM; Sebuah Essay Pemikiran Fazlur Rahman tentang Pendidikan Islam Imam Hanafi
Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol 5, No 1 (2015): Madania
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.829 KB) | DOI: 10.24014/jiik.v5i1.4786

Abstract

Tulisan ini mendeskripsian pandangan Fazlur Rahman sebagai tokoh pembaharu Islam yang mempunyai gambaran tentang perjalanan sejarah pendidikan. Juga menggambarkan pandanganya tentang fenomena kegagalan pemaknaan al-Qur’an dan Sunnah oleh umat Islam. Menurutnya, al-Qur’an dan Sunnah lebih cenderung dibaca sepanjang versi mufassir. Karena itu al-Qur’an dan Sunnah gagal pula ditempatkan sebagai sumber otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi panduan (hudan) kehidupan dunia. Berawal dari pandangan yang demikian, Fazlur Rahman menekankan pentingnya etika yang dipetik dari al-Qur’an untuk dijadikan fundamen pengembangan pemikiran dan praktik pedidikan. Rahman juga berpartisipasi dalam memformat strategi, tujuan, metode dan kurikulum pendidikan Islam yang  up to date.
KETUHANAN YANG BERKEBUDAYAAN Menjadi Shaleh dalam Bingkai Kebudayaan Alimuddin Alimuddin; Tuty Erdalina; Imam Hanafi
Nusantara Journal for Southeast Asian Islamic Studies
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/nusantara.v17i1.13906

Abstract

Diantara perdebatan yang nyaris melahirkan pertikaian di negeri ini, adalah gagasan tentang sebuah klausul “Ketuhanan yang Berkebudayaan” dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sebenarnya, sang penggagas, Soekarno, telah menyampaikan ini pada tahun 1945, ketika akan menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara. Menurutnya, istilah itu, menegaskan bahwa Indonesia tegak atas dasar kekuatan agama. Kekuatan relasi agama dan negara di Indonesia, sangat sinergis dan tidak ada jurang pemisah antara keduanya, sehingga Indonesia sering juga disebut dengan religious nation state atau negara kebangsaan yang dijiwai oleh agama yang berketuhanan, bukan agama yang bertuhan. Di sini, sistem sosial politik dan kemasyarakat, ditopang oleh kesadaran akan nilai-nilai ketuhanan. Makna selanjutnya adalah bahwa seluruh warga bangsa harus mentransformasikan nilai-nilai ketuhanan atau nilai-nilai spritualnya kedalam relasi berbangsa dan bernegara, dalam kehidupan sosial-kemasyatakatan, dalam ruang-ruang publik. Dari proses transformasi ini, lalu membudaya dan membentuk karakter bangsa. Dalam situasi bangsa Indonesia yang heterogen, terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, dan agama, maka transformasi akan nilai-nilai universal ketuhanan dari masing-masing agama, menjadi sangat penting untuk lakukan.