This Author published in this journals
All Journal Humaniora
. Sudibyo
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

MISTIFIKASI DAN PENGAGUNGAN KEKUASAAN DALAM BABAD DAN HIKAYAT: KONTINUITASNYA DALAM SISTEM KEKUASAAN INDONESIA MODERN . Sudibyo
Humaniora Vol 12, No 2 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (771.419 KB) | DOI: 10.22146/jh.690

Abstract

Hubungan tripartit antara derajat, harta, dan kehendak untuk dikeramatkan merupakan tiga hal yang integral dalam wacana kekuasaan . Derajat, kedudukan, atau status merupakan wujud nil kekuasaan. Harta adalah sarana untuk menegakkan dan memperluas kekuasaan, sedangkan kehendak untuk dikeramatkan adalah suatu cara untuk melanggengkan kekuasaan dengan menempatkannya di tempat yang tidak mudah dijangkau dan diselubungi oleh tabir misted . Meskipun demikian, kekuasaan tidak lantas dianggap abstrak. Kekuasaan itu ada, terlepas dari orang yang mungkin mempergunakannya . Kekuasaan bukan suatu anggapan teoretis melainkan suatu realitas yang benar-benar ada . Kekuasaan adalah daya bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam semesta (lihat Anderson, 1986 : 51) . Karena ditempatkan dalam posisi seperti itu, kekuasaan cenderung menjadi tak terbagi dan absolut . Terjadilah kemudian Humaniora Volume X11. No . 2/2000 apa yang disebut pengagungan kekuasaan disertai dengan legitimasi geanologis yang biasanya menyatakan bahwa sang penguasa adalah sosok yang paling tepat sebagai pemegang kekuasaan karena is trahing kusuma, rembesing madu, wijiling naratapa, tedaking andana warih (keturunan bangsawan tinggi dan pertapa). Sehubungan dengan itu, is tidak dapat dipertanyakan dan ucapannya mempunyai kekuatan mengikat dan menekan secara moral dan etis karena sabda pandita pangandikaning ratu sepisan tan kena wola wali (sabda pendeta, ucapan raja, tak akan ditarik lagi) sehingga barang siapa mencoba menentangnya akan dihancurkan dan ditiadakan dengan kekerasan . Dalam historiografi tradisional Indonesia, fenomena kekuasaan seperti itu telah lama menjadi kanon penulisan sejarah suatu dinasti . Hal ini dapat dilihat dalam Nagara Krtagama, Pararaton, Babad Tanah Jawi, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Me/ayu, Hikayat Hang Tuah, dsb . Nagara Krtagama (Robson, 1995) melukiskan keagungan imperium Majapahit beserta daerah-daerah vasalnya dan sanjungan terhadap Sri Rajasanagara beserta leluhurnya. Pararaton (Brandes, 1920) memberi legitimasi mitis kepada Ken Arok sebagai inkarnasi Siva yang tidak dapat ditentang kehendaknya dan raja-raja besar Singasari,
Sang Lain Di Mata Ego Eropa: Citra Manusia Terjajah dalam Sastra Hindia-Belanda . Sudibyo
Humaniora Vol 14, No 2 (2002)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2647.102 KB) | DOI: 10.22146/jh.755

Abstract

Pada abad ke-16, pusat kekuasaan dunia mulai bergeser dari Eropa Selatan ke Utara. Jika sebelumnya Spanyol dan Portugis berjaya di segenap penjuru samudra dengan berbagai ekspedisi maritimnya, pada tahun 1595 – 1597 Belanda mulai meluncurkan armada lautnya ke samudra. Kapal-kapal dagang milik Compagnie van Verre di bawah komando Cornelis de Houtman dan Gerrit van Beuningen dikirim ke Hindia-Timur untuk mengakhiri monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku yang pada waktu itu berada di tangan Portugis. Armada itu tidak pernah sampai di Maluku meskipun telah dibekali dengan perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan untuk sebuah ekspedisi maritim (Beekman, 1998-35). Armada tersebut justru berlabuh di Banten pada 22 Juni 1596 (Heuken, 2000: 20). Pelayaran pertama ke Hindia-Timur yang dilakukan oleh Compagnie van Verre itu berharga mahal. Dari empat kapal yang meninggalkan Amsterdam pada 1 April 1595, hanya tiga yang berhasil pulang setelah menempuh pelayaran selama tiga tahun. Dari 247 awak kapal, hanya 87 orang yang berhasil selamat dalam pelajaran pulang. Lebih dari itu, kompeni tidak memperoleh keuntungan apa-apa (Gaastra, 1991: 16 dan Steenbrink, 1995: 1). Berangkat dari tesis mengenai kompleks superioritas peradaban dan keunggulan ras pada ego (Belanda) sebagaimana diungkapkan di muka, tulisan ini akan menghampiri teks sastra Hindia-Belanda. Teks yang dipilih adalah kisah perjalanan (reisverhalen) Rijcklof Volkertz van Goens.
KEMBALI KE FILOLOGI: FILOLOGI INDONESIA DAN TRADISI ORIENTALISME . Sudibyo
Humaniora Vol 19, No 2 (2007)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (69.464 KB) | DOI: 10.22146/jh.896

Abstract

To current generation of experts on humanities studies the very idea of philology suggests something antiquarian and musty. In order to avoid the stigma, firstly, cartography of the oriental philological studies is needed. Secondly, the theorem that philology is identical to the text editing and textual criticism needs to be reconsidered. It was used by orientalists to exploit the needed information for mastery goals. Therefore, decolonization of research method must be done. Thirdly, in connection with postcolonial realm, philology must be cosmopolitan and secular. Philology must familiarize itself with interdisciplinary studies and be sensitive to the development of new humanities theories because in fact philology is the most basic tool of the interpretive humanities.
MEREKA YANG DILUMPUHKAN: CITRA KULI DI DELI DALAM NOVEL BERPACU NASIB DI KEBUN KARET, KULI, DAN DOEKOEN KARYA MADELON SZEKELY-LULOFS . Sudibyo
Humaniora Vol 20, No 3 (2008)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (70.176 KB) | DOI: 10.22146/jh.943

Abstract

Berpacu Nasib di Kebun Karet, Kuli dan Doekoen report the lives of extravagant white settlers in contrast to the fate of coolies regarded as retarded and subordinated natives. The three novels give historical accounts of the planter community in East Sumatra. They narrate thecoolies’ mishandling on the basis of the author’s involvement on the narrated world. Berpacu, Kuli and Doekoen represent the Dutch imperial exploitative practices in the first half of the 20th century on rubber plantations in East Sumatra. Berpacu, kuli and Doekoen place coolies as being animalized and marginalized other. The three novels add to the long series of Dutch colonial literature justifying exploitation and mastery. Based on focalization analysis, the narrator might owed considerably to the idea of marginalization and racialism because she merely narrated what she had seen without any critical thinking and any sympathy toward the fate of the coolies.