Mujibussalim Mujibussalim
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Kewenangan Gubernur Dalam Mengatur Cuti Melahirkan Kaitannya Dengan Pemberian Asi Eklsusif di Aceh Taufiq Akbar; Mahdi Syahbandir; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (278.476 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11629

Abstract

Dalam Pasal 28 ayat (3), Peraturan Gubernur Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif, menjelaskan Cuti melahirkan bagi PNS, PPPK atau Tenaga Honorer/Kontrak perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan 6 (enam) bulan setelah waktu melahirkan untuk pemberian ASI Eksklusif. Ketentuan tersebut pada dasarnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 325 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menjelaskan “lamanya cuti melahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) adalah 3 (tiga) bulan. Tujuan dari penelitian ini untuk menjelaskan dan menganalisis kewenangan Gubernur Aceh dalam mengatur pemberian ASI ekslusif dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah tentang Cuti bagi PNS. Kemudian, untuk menjelaskan dan menganalisis akibat hukum terhadap penerapan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah tentang Cuti bagi PNS. In 2006, the Governor of Aceh has issued the Governor Regulation Number 49, 2016 on the Provision of Exclusive Breastfeeding. In Article 28 (3) of the Governor Regulation Number 49, 2016 on the Provision of Exclusive Breastfeeding states that Break for Officials who are giving birth, PPPK or contracting staffs/ladies as mentioned in verse (1) point a is granted for 6 (six) months aftr giving birth for providing exclusive breasfeeeding. The rules are basically against the existing rules especially the Government Regulation Number 11, 2017 on the Mangement of Civil Servants. This research aims to explain and analyze the authority of the Governor of Aceh in regulating exclusive breastfeeding in relation to the Government Regulation on break for civil servants. Later, it is also going to explain and analyze the legal effects on the application of the Governor of Aceh Regulation Number 49, 2016 on Exclusive Breastfeeding in relation to the Government Regulation on Break for Officials.
Efektivitas Retribusi Terminal Dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Muhammad Fakhziatuddin; Mahdi Syahbandir; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (357.653 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10592

Abstract

Pendapatan Asli Daerah dari retribusi daerah yang termasuk didalamnya retribusi terminal diatur dalam Pasal 180 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,  dan Pasal 285 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian timbul permasalahan yang perlu dikaji bagaimanakah penentuan target penerimaan retribusi terminal, apakah pemungutan retribusi terminal sudah efektif, dan Apakah pungutan retribusi terminal dapat dipertahankan.Tujuan penelitian untuk mengetahui penentuan target penerimaan retribusi terminal, apakah pemungutan retribusi terminal sudah efektif, dan untuk mengetahui pungutan retribusi terminal apa perlu dipertahankan. Metode penelitian yang digunakan penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan  retribusi terminal dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 dinilai masih kurang efektif,  Proses penentuan target termuat dalam setiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten/Kota yang merupakan Dokumen perencanaan yaitu meliputi Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Rencana Kegiatan dan Anggaran. Retribusi terminal perlu dipertahankan oleh setiap Pemerintah Kabupaten/Kota karena menjadi prospek yang positif, khususnya di Wilayah Aceh yang Penghasilan Asli Daerah masih sangat rendah. Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk lebih serius dalam mengelola retribusi terminal, untuk bertindak tegas kepada para supir yang tidak membayar retribusi , dan disarankan kepada petugas agar melakukan pengutipan sesuai dengan prosedur sehingga tidak menimbulkan kebocoran pemasukan.The original Area of levy income areas including retribution terminal is set in article 180 Paragraph (1) letter b Act No. 11 Year 2006 about the Aceh Government Act, Act No. 28 Year 2009 about local tax and Regional Levies, and article 285 Paragraph (1) Act No. 23 Year 2014 about Local Governance. Thus arising, problems that need to be examined, How is the determination of target acceptance levy terminal, whether the voting terminal already levy effective, and whether the charges retribution terminal can be maintained. The purpose of research to determine whether ballots already terminal levy effective, How is the determination of target acceptance levy terminal, and whether the charges retribution terminal can be maintained. The method of research used empirical juridical research. The results showed that the management of the terminal from the year 2014 levy up to the year 2016 assessed less effective, The process of determining the targets contained in the medium-term Development Plan (RPJM) District/City which is a planning document that is covering the strategic plan, Work plan and activity plan and budget. Levy terminal that until recently was indeed need to be maintained by each County Government/city due to be positive prospects, particularly in the area of Aceh that was in fact the original Regional Income is still very low. It is recommended to the District/City Governments for more serious in managing the terminal retribution, to act firmly to the transport driver, and recommended for officers who perform excerpts real retribution should the charges be done appropriately, in terms of the correct procedure done with, so as not to cause leakage of infusion.
Kewenangan Pengadilan Militer I–01 Banda Aceh Dalam Mengadili Tindak Pidana Umum Yang Dilakukan Oknum Anggota TNI di Aceh Erna Kurniawati; Adwani Adwani; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.599 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11630

Abstract

Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu, “Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Praktiknya, di Pengadilan Militer I–01 Banda Aceh masih mengadili tindak pidana umum yang dilakukan oknum anggota TNI. Ini akan membuat suatu peradilan tidak idenpenden hasil penelitian menunjukkan kewenangan Pengadilan Militer I–01 Banda Aceh mengadili perkara tindak pidana umum karena tunduk kepada UU Pengadilan militer yang menitikberatkan subyek hukum. Kemudian penghambat tidak diadilinya oknum anggota TNI melakukan tindak pidana umum di peradilan umum yaitu pertama dasar hukumnya, Kedua, masih melihat subjek hukumnya, Ketiga, Kompetensi relatif. Article 25 paragraph (4) of Law No. 48 of 2009 on Judicial Authority namely, "Military justice as referred to in paragraph (1) is authorized to examine, adjudicate, and decide cases of military crimes in accordance with the provisions of legislation". In practice, the Military Court I-01 in Banda Aceh still prosecutes a general crime committed by members of the TNI which will make a judiciary becomes dependent. The result of the study showed that the authority of Military Court I-01 in Banda Aceh is adjudicating a general criminal case because it is subject to the Military Court Law which emphasizes the subject of law. Then, the obstacle of the TNI members who committed a general crime who have not judged yet in the general court namely, First, legal basis, Second, still observe the legal subject, Third, the relative Competence.
Implementasi Struktur dan Kedudukan Kelompok Kerja Pada Unit Layanan Pengadaan Aceh Cut Yulia Rizky; Eddy Purnama; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.062 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10587

Abstract

Menurut Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan Gubernur Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Aceh, di dalam pasal 17 disebutkan untuk menjadi pokja harus Aparatur Negeri Sipil (ASN), Sedangkan di dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Aceh tidak diatur tentang hak-hak pegawai pokja, Tujuan penelitian untuk mengetahui implementasi struktur dan kedudukan kelompok kerja pada unit layanan pengadaan Aceh sudah sesuai dengan Perpres No 54 tahun 2010 berserta perubahannya, untuk mengetahui konsekuensi yuridis jika penempatan kelompok kerja dalam struktur dan kedudukan unit layanan pengadaan Aceh belum sesuai sebagaimana yang diamanahkan oleh Perpres No 54 tahun 2010 berserta perubahannya. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dan penelitian hukum empiris (yuridis empiris). Penelitian ini mengunakan data skunder, data primer dan data tersier. Hasil penelitian menunjukan Pejabat Unit Layanan Pengadaan atau Pokja ULP seringkali menghadapai permasalahan diantaranya tugas dan tanggung jawab ditempat ASN berkerja dengan pekerjaannya sebagai Pokja ULP yang bersifat ad-hoc (sementara), kuatnya arus intervensi dari pihak-pihak tertuntu yang mengatasnamakan tempat porsenil Pokja selaku ASN bekerja, tidak mendapatkan penilaian kinerja dari ULP sebagaimana yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil bahwa di dalam pasal 1 ayat (3) menyebutkan Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS pada satuan organisasi sesuai dengan Sasaran Kerja Pegawai (SKP) dan perilaku kerja.According to Presidential Regulation Number . 54, 2010 and Governor Number 4, 2015 on the Establishment of Aceh Government Goods / Services Procurement Unit, in Article 17 it is mentioned to be a working group for Apparatus Civil Nation (ASN), while in Aceh Governor Regulation Number 4, 2015 The Aceh Government Goods / Service Procurement Unit is not regulated on the rights of the working groups This system is having a lot of weaknesses and it causes the group is at the governmental institutions either in regional or central. This research aims to know the implementation of structure and the position of working group at the unit of Aceh Procurements whether has been in according with the Presidential Regulation Number 54, 2010 together its changes, to know the juridical consequences if the imposition of the working group in the structure and the Aceh’s Service Procurement has not been in accordance with the Presidential Regulation Number 54, 2010 together its changes. This is juridical normative legal research. This research applies secondary, primary and tertiary data. The research shows that Official Procurement Unit or the Group of ULP is often facing problems that are their duties and responsibilities at civil servant units with the job on the ULP Group Unit that is temporary, the strengths of intervention from certain parties of the official as the servants do not have the working reviews  from ULP as determined by the Indonesian governmental regulation Number 46, 2011 on the Review of Civil Servants Working as started in Article 1 (3) stating that Working Reward is a reward obtained by the civil servants at a organization with the aim of the servant and the working behave and dutie.
Penahanan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terhadap Tersangka Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Rizqi Nurul Fadhilah; Dahlan Dahlan; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (250.41 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10573

Abstract

Penahanan yang dilakukan terhadap tersangka penyalahgunaan narkotika Golongan I bagi diri sendiri tidak memenuhi syarat boleh dilakukannya penahanan, sehingga secara yuridis tidak dapat dilakukan penahanan. Namun pada kenyataanya terhadap tersangka penyalahgunaan narkotika tersebut adanya dilakukan penahanan dan tidak dilakukan penahanan. Sehingga hal tersebut menjadi permasalahan dalam penegakan hukum pidana adalah masalah penahanan terhadap pelaku, yang terjadi tidak sejalannya syarat subjektif dan keadaan serta hambatan terkait dengan pentingnya dilakukan penahanan terhadap tersangka penyalahgunaan narkotika. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengkaji pelaksanaan penahanan pelaku tindak pidana narkotika yang melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan hambatan terhadap penahanan tindak pidana narkotika dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan sumber data sekunder berupa data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dan sumber data primer berupa sumber data lapangan. Dari penelitian telah terjadi disharmonisasi hukum dalam melakukan penahanan antara Pasal 21 KUHAP dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penerapan kedua pasal tersebut menghambat penegakan hukum dalam hal penanganan tersangka pada tahap penyelidikan dan penyidikan, sehingga terdapat perkara yang harus dihentikan karena tidak dilakukannya penahanan oleh jaksa yang menyidik, dan telah ditemukan juga hambatan yang terjadi meliputi hambatan yuridis, tidak adanya sarana dan prasarana yakni berupa laboratorium pemeriksaan narkotika, dan luasnya wilayah hukum yang tidak sesuai dengan jumlah personil lembaga Kejaksaan Negeri Jantho.The detention act against first degree self-use drug abuser does not qualify for detention, so that juridical detention can not be made. In fact, some of drug abusers will face detention and for some of those will not. So it becomes a problem in criminal law enforcement regarding the issue of detention, inconsistent subjective requirements and circumstances and obstacles related to the importance of detention of suspected narcotics abuser. This study aims to explain and examine the implementation of detention of perpetrators of narcotic abuse against the Article 127 paragraph (1) letter a UU no.35 Year 2009 about Narcotics and the barriers to the detention of narcotics crimes in Article 127 paragraph (1) letter a UU No.35 Year 2009 about narcotics. The research method used is empirical juridical method with qualitative approach and for secondary data sources was obtained through library materials, while primary data was collected in the form of field data sources. The research shows that it has been legal disharmony in the detention between Article 21 KUHAP with Article 127 paragraph (1) letter a UU No. 35 Year 2009 on Narcotics. The implementation of those two articles impedes law enforcement in the term of handling suspects during the investigation and investigative stages which led to the suspended /stalled cases because the detention was not conducted by the prosecutor who investigated, and the research has also found some obstacles that includes the juridical obstacles, the absence of facilities and infrastructure that is in the form of laboratory examination of narcotics, and the extent of jurisdiction area which is inconsistent with the number of personnel of the Jantho State Prosecution Service.
Pelaksanaan Hak Saksi/Ahli Mendapatkan Penggantian Biaya Rizki Septimaulina; Suhaimi Suhaimi; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.533 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10589

Abstract

Ketentuan Pasal 229 ayat (1) KUHAP menjamin pemenuhan hak penggantian biaya bagi saksi/ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dan memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan. Namun pada praktiknya ketentuan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan, prosedur dan hambatan dalam memberikan penggantian biaya bagi saksi/ahli sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data dikumpulkan, diseleksi, diklasifikasi, dan disusun dalam bentuk naratif dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan penggantian biaya di Polresta Banda Aceh belum sebagaimana mestinya. Prosedur pelaksanaan tidak ada ketentuan khusus. Hambatan pelaksanaan disebabkan karena tidak tersedia anggaran yang memadai dan tidak adanya aturan lebih lanjut tentang letak pos anggaran untuk penggantian biaya terutama bagi saksi dikarenakan aturan tentang standar biaya masukan tentang honorarium bagi saksi sebagai penggantian biaya saat memberikan keterangan belum diatur dalam PMK Nomor 33/PMK.02/2016 tentang standar biaya masukan tahun anggaran 2017. Disarankan kepada pemerintah agar memberikan pemahaman lebih mendalam kepada aparatur penegak hukum agar tidak melakukan diskriminasi dalam konteks pemenuhan hak saksi dan ahli mendapatkan penggantian biaya. Diperlukan perubahan KUHAP dan peraturan lanjutan tentang letak pos anggaran untuk penggantian biaya.The provisions of Article 229 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code guarantee the fulfillment of the reimbursement rights of the witnesse/experts who have attended the call and provide information at all examination levels. But in practice the provisions are not executed properly. This study aims to examine the implementation, procedures and barriers in providing cost reimbursement for witnesses/experts in accordance with applicable regulations. This research was conducted using empirical juridical and analytical descriptive method. Sources of data used were obtained from literature research and field research. Data are collected, selected, classified, and arranged in narrative form and analyzed qualitatively. The results show that the implementation of reimbursement in The City Resort Police of Banda Aceh is not as it should be. Implementation procedure there is no special provisions. Implementation barriers are caused by insufficient budget and no further rules on where to place budget for reimbursement of costs for witness especially at PMK Number. 36/PMK.02/2016 about maximum cost standart.  It is advisable to the government to provide a deeper understanding to law enforcement apparatuses in order not to discriminate in the context of witness rights fulfillment and experts get reimbursement of costs. Required changes to the Criminal Procedure Code and further regulations on the location of budget items for reimbursement of costs.