Iim Imadudin
Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

SIMBOL KUASA DAN NILAI BUDAYA MASYARAKAT PERKEBUNAN SEDEP DI KABUPATEN BANDUNG Lia Nuralia; Iim Imadudin
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 12, No 2 (2020): PATANJALA VOL. 12 NO. 2 Oktober 2020
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30959/patanjala.v12i2.641

Abstract

Perkebunan Sedep di Bandung Jawa Barat masih mempertahankan bangunan lama dan artefak perkebunan zaman Belanda, yaitu Rumah Administratur, bekas Rumah Bilyar, Prasasti dan Meja Bilyar. Artefak perkebunan tersebut menjadi simbol kuasa yang memiliki nilai-nilai budaya. Apa dan bagaimana simbol kuasa dan nilai-nilai budaya tersebut, menjadi permasalahan pokok, yang dikaji menggunakan metode desk research dengan pendekatan simbol kuasa Pierre F. Bourdieu. Simbol kuasa Bourdieu terdiri dari field, habbitus, dan capital. Hasil yang diperoleh adalah simbol kuasa Rumah ADM ditunjukan dalam bahasa nonverbal berupa tata letak bangunan dan tata ruang dalam (field); status sosial penghuni rumah serta bentuk dan arsitektur rumah (habitus); serta pemilik dan pengelola perusahaan perkebunan (capital). Simbol kuasa Prasasti ditunjukkan oleh inskripsi (habitus), bentuk dan bahan (capital), serta ruang (field). Makna simbolik artefak perkebunan mencerminkan nilai-nilai budaya kolonial perkebunan, seperti nilai kemanusiaan, kerja keras, dan disiplin berdasarkan konsep habitus Bourdieu (kelas sosial, jenis kelamin, dan kelompok usia). 
PENGARUH AKULTURASI BUDAYA TERHADAP DUALISME SISTEM EKONOMI MASYARAKAT KAMPUNG TUA DI KECAMATAN ABUNG TIMUR, KABUPATEN LAMPUNG UTARA Lia Nuralia; Iim Imadudin
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 9, No 1 (2017): PATANJALA Vol. 9 No. 1 MARCH 2017
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1272.109 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v9i1.347

Abstract

Tulisan ini bertujuan mengungkap sejarah dan budaya masyarakat adat Kampung Tua di Lampung. Sumber tulisan merupakan hasil penelitian dengan menggunakan metode survey, dan teknik pengumpulan data melalui studi literatur, observasi langsung, dan wawancara. Kajian dilakukan dengan menerapkan konsep-konsep ilmu sosial, yaitu konsep akulturasi budaya dan sistem ekonomi dualistis (tradisional dan modern), menghasilkan sistem nilai yang unik dan menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Tua. Akulturasi budaya tampak pada gaya bangunan rumah tinggal dan dua sistem adat lama (pepadun dan sebatin), beserta benda-benda upacara adat Begawi, sedangkan sistem ekonomi dualistis dengan keberadaan umbulan dan kuwayan. Tata nilai yang berlangsung mengalami perubahan dalam berbagai segi kehidupan, tetapi tetap berpedoman pada nilai-nilai kehidupan lama yang masih bertahan sampai sekarang. Perekonomian tradisional di wilayah umbulan dan kuwayan tergantikan dengan masuknya perekonomian modern. This paper aims to reveal the history and culture of indigenous people in Kampung Tua of Lampung. The writing source is the result of research by using survey method, and the data is collected through the study of literature, direct observation, and interviews. The study is conducted by applying the concepts of social sciences, acculturation, and dualistic economic systems (traditional and modern), it produces a unique value system and guide people's daily lives of Kampung Tua. Acculturation can be seen from the style of houses and two old custom system (pepadun and sebatin), along with the customary ceremonial objects of Begawi. Meanwhile, the dualistic economic system can be seen from the existence of umbulan and kuwayan. The lasting value changes in various aspects of life, but remain guided by the values of the old life until now. Traditional economy in the region of kuwayan and umbulan is replaced by the entry of modern economy.
KEBUDAYAAN HIBRID MASA KOLONIAL DI PERKEBUNAN BATU LAWANG BANJAR Lia Nuralia; IIm Imadudin
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 11, No 1 (2019): PATANJALA Vol. 11 No. 1, MARCH 2019
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (829.428 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v11i1.427

Abstract

Pertemuan antara dua budaya berbeda (Eropa dan Asia) memunculkan satu kebudayaan campuran atau kebudayaan hibrid. Salah satunya lahir di dalam masyarakat Perkebunan Batu Lawang Banjar, yang telah berdiri sejak zaman Belanda. Apa dan bagaimana kebudayaan hibrid tersebut, akan menjadi satu permasalahan pokok, sehingga tulisan ini bertujuan mengungkap kebudayaan hibrid di Perkebunan Batu Lawang Banjar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survey dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur, wawancara sejarah lisan, dan arsip kolonial. Hasil yang diperoleh, dengan menggunakan konsep komunikasi nonverbal, bahwa kebudayaan hibrid di perkebunan peninggalan zaman Belanda, menunjukkan adanya klasifikasi sosial ekonomi yang hierarkis dan rasis. Masyarakat perkebunan khususnya terbagi ke dalam golongan Eropa dan pribumi Indonesia, yang berimbas terhadap status pekerjaan. Golongan Eropa menduduki posisi penting sebagai kelas atas (pejabat tinggi perkebunan), sedangkan golongan pribumi menjadi buruh atau karyawan perkebunan sebagai kelas bawah. Pencampuran antara kedua golongan atau kelas sosial tersebut, melahirkan kebudayaan hibrid. Pada masa sekarang kebudayaan hibrid warisan kolonial di perkebunan, dapat ditemukan bukti fisiknya berupa artefak perkebunan dan keberadaan golongan peranakan Indo-Eropa sebagai anak dari hasil perkawinan campuran, serta informasi lisan dari pelaku.  The meeting between two different cultures (Europe and Asia) raises a mixed culture or hybrid culture. One of them was born in the community of Banjar Batu Lawang plantation, which had been established since the Dutch era. What and how the hybrid culture, will become the main problem, so this paper aims to reveal hybrid culture at the Banjar Batu Lawang Plantation. The research method used is the survey research method with data collection techniques through literature studies, oral history interviews, and colonial archives. The results obtained, using the concept of nonverbal communication, that hybrid culture in plantations inherited from the Dutch era, indicate a hierarchical and racist socio-economic classification. Plantation communities in particular are divided into European and indigenous Indonesian groups, which impact on employment status. The European group occupies an important position as the upper class (high-ranking plantation officials), while the indigenous group becomes laborers or plantation workers as the lower class. Mixing between the two groups or social classes gave birth to a hybrid culture. At present the colonial heritage of hybrid culture on plantations can be found in physical evidence in the form of plantation artifacts and the existence of Indo-European breeders as children of mixed marriages, as well as verbal information from the perpetrators.
“REVOLUSI DALAM REVOLUSI”: TENTARA, LASKAR, DAN JAGO DI WILAYAH KARAWANG 1945-1947 IIm Imadudin
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 10, No 1 (2018): PATANJALA VOL. 10 NO. 1, MARCH 2018
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (644.959 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v10i1.330

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengungkap konflik tentara dengan laskar dan jago di wilayah Karawang. Penelitian ini mempergunakan metode sejarah yang terdiri atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sama seperti halnya di daerah lain, revolusi kemerdekaan di wilayah Karawang berlangsung dengan sengit. Dinamika perjuangan kemerdekaan di Karawang terasa lebih keras lagi setelah proklamasi kemerdekaan. Pada masa perjuangan Karawang merupakan “rumah” bagi tentara dan laskar perjuangan. Banyaknya kelompok laskar dan kelompok jago yang sering menghadirkan kerusuhan menimbulkan permasalahan tersendiri sebagaimana digambarkan pada artikel ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik antara tentara, laskar, dan jago terjadi disebabkan adanya keyakinan yang besar terhadap janji-janji revolusi, perbedaan ideologis mengenai bagaimana perjuangan harus dimenangkan, faktor ketidakpercayaan yang mengakibatkan hubungan-hubungan yang tidak harmonis antarfaksi perjuangan di Karawang. This study aims to reveal the conflict of soldiers with paramilitary troops and warior in the area of Karawang. This study uses historical methods consisting of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Just as in other areas, the revolution of  independence in the Karawang was fierce. The dynamics of the struggle for independence in Karawang was even harder after the proclamation of  independence. Karawang is a "home" for the army and the paramilitary-troops struggle. The large number of paramilitary troops groups and groups of warior often caused riots that raise their own problems as illustrated in this article. The results show that the conflict between the army, the paramilitary troops and the warior occurred due to the great conviction of the promises of the revolution, the ideological differences about how the struggle should be won.  The unbelieving factor resulted an unharmonious relationships between-fraction struggle in Karawang.
H.M. ARIEF MAHYA: ULAMA, PEJUANG, DAN TOKOH PENDIDIKAN LAMPUNG (1926-Sekarang) Iim Imadudin
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 8, No 1 (2016): PATANJALA VOL. 8 NO. 1 MARCH 2016
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30959/patanjala.v8i1.58

Abstract

AbstrakPenelitian ini bertujuan mengungkap kiprah dan pemikiran dari salah seorang ulama terkemuka yang berasal dari Lampung, yaitu H.M. Arief Mahya. Ulama Lampung kelahiran Gedungasin Liwa 6 Juni 1926 ini adalah saksi dari peralihan kolonialisme ke zaman revolusi kemerdekaan, terus berlanjut ke masa pembangunan dan reformasi. Penelitian ini mempergunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitianmemperlihatkan bahwa H.M. Arief Mahya bukan hanya ulama yang mengembangkan dakwah di kalangan umat, namun juga pendidik yang telah melahirkan generasiLampung berikutnya. Selain itu, ia turut berjuang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Ia pernah menjadi pimpinan Hizbullah melawan kolonialisme yang hendak merebut kemerdekaan. Selain berjuang secara fisik, ia juga mencurahkan pemikiran melalui media publik, seperti surat kabar. Ciri pokok dari tokoh Lampung ini adalah konsistensinya untuk terus berjuang di jalan yang diyakininya. Betapapun dunia sudah berubah dan terjadi krisis nilai, ia terus istiqomah melanjutkan kiprahnya mendidik umat. AbstractThis study aims to reveal the gait and the thought of one of the leading scholars from Lampung, namely KH M. Arief Mahya. Theologian Lampung who was born at Gedungasin Liwa on June 6, 1926 is the witness of the transition era of colonialism to independence revolution and continues to the development and reformation era. This study uses historical method consists of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The results showed that KH M. Arief Mahya was not only a scholar who developed the message among the people, but also an educator who had bridged to the next generation of Lampung. In addition, he participated in the effort tomaintain the independence struggle. He was once the leader of Hizbullah against colonialism who want to snatch the independence. Besides physically struggling, he also devoted ideas through public media, such as newspapers. The main characteristic of this Lampung figure was the consistency to keep fighting in the way he believed. No matter how the world has changed and there was a crisis of value, he persistently continued to educate people.