Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

BAU NYALE: TRADISI BERNILAI MULTIKULTURALISME DAN PLURALISME I made purna
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 10, No 1 (2018): PATANJALA VOL. 10 NO. 1, MARCH 2018
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (600.79 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v10i1.327

Abstract

Budaya spiritual etnis Sasak dalam perjalanannya telah mengalami perkembangan yang  cepat. Diawali dengan masuknya  agama Islam  dari Jawadan Makasar, serta agama Hindu dari Bali. Kehadiran kedua agama tersebut kemudian diolah masyarakat Sasak dalam konsep sinkretisme, dan wadah puncaknya berupa ajaran Islam Wetu Telu. Pengejahwantahan dari sinkretisme  menghasilkan tradisi-tradisi sebagai penguat identitas etnis Sasak. Satu di antara tradisi yang ada, yaitu Bau Nyale. Sebagai pokok sandaran analasis penulisan membatasi tiga pokok rumusan, yaitu 1) apa fungsi tradisi Bau Nyale bagi masyarakat pendukungnya; 2) nilai-nilai budaya apa saja yang dimuat dalam tradisi Bau Nyale; 3) Kenapa diberi pengakuan, penghargaan dan kesetaraan tradisi Bau Nyale dengan tradisi yang lain yang hidup di Lombok  oleh komunitas lain. Pisau analisis untuk mengindentifikasi yaitu teori semiotika dan neo-fungsionalisme. Penelitian ini merupakan penelitian  kualitatif dengan teknik deskriptif interpretatif.   Tujuan dari penelitian  ini  untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi dan nilai budaya  yang dimuat pada tradisi Bau Nyale. Dari hasil mengidentifikasi, maka karya budaya intangible Bau Nyale layak sebagai tradisi yang memiliki nilai multikulturalisme dan pluralisme. Sasak ethnic spiritual culture in its journey has experienced rapid development. It starts with the entry of Islam from Java and Makasar, as well as Hinduism from Bali. The presence of the two religions is then processed by the Sasak community in the concept of syncretism, and the top place is the teachings of Islam Wetu Telu. The implication of syncretism resulted  traditions as a reinforcement of Sasak ethnic identity. One of the existing traditions, is the Bau  Nyale. There are three main issues in this research, which are 1) what is the function of Nyale Bau tradition for the support community; 2) what cultural values are contained in the Bau Nyale tradition; 3) why is Bau Nyale tradition given the recognition, appreciation and equivalence with other traditions that live in Lombok by other communities. Theories used to identify are the Semiotics Theory and Neo-functionalism. This research is a qualitative research with descriptive interpretative technique. The purpose of this study is to identify the functions and cultural values contained in the Bau Nyale tradition. From the results of identifying, the Bau Nyale cultural work deserves a tradition that has value multiculturalism and pluralism. 
BETUTU BALI : MENUJU KULINER DIPLOMASI BUDAYA INDONESIA I Made Purna; kadek dwikayana
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 11, No 2 (2019): PATANJALA Vol. 11 No. 2, JUNE 2019
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (567.338 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v11i2.478

Abstract

Etnis Bali yang beragama Hindu, telah memiliki sumber daya budaya berupa kuliner tradisional betutu dari bahan ayam dan bebek. Kuliner betutu dimasak dengan bumbu “jangkep” (lengkap). Kuliner ini pada awalnya difungsikan sebagai makanan persembahan terhadap Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Hyang Maha Esa, dan hasil persembahannya disantap bersama-sama. Namun, perkembangan selanjutnya difungsikan sebagai hidangan kaum raja-raja dan keluarganya, dan kebutuhan sosial. Dalam menghadapi politik  global dan pariwisata, maka Betutu difungsikan sebagai kebutuhan biologis anggota masyarakat secara umum, pariwisata dan diplomasi. Tujuan dari penulisan artikel ini (1) melestarikan kuliner Betutu Bali (2) mempopulerkan kuliner Betutu sebagai media identitas, toleransi (kerukunan, keharmonisan) antar umat beragama, etnis dan bangsa. Artikel ini menggunakan konsep kuliner, gastro diplomasi dan teori fungsional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik sampling menggunakan purposive sampling dan snowball sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan kuliner Betutu dapat diterima oleh semua kalangan dengan terbukti dapat ditemukan atau disajikan di hotel-hotel berbintang, restauran, dijual di warung-warung makanan dengan omset yang selalu meningkat.Hindus Balinese ethnic has cultural resources in the form of betutu, a traditional culinary from chicken and duck. Betutu is cooked with "jangkep" (complete) spices. This food was originally functioned as a food offering to Ida Hyang Widhi Wasa (Hyang the One God), and the results of her offerings were eaten together. However, further developments functioned as a dish for the kings and their families, and social needs. In the face of global politics and tourism, Betutu functioned as the biological needs of community members in general, tourism and diplomacy. The purpose of writing this  are (1) preserving Betutu Bali culinary (2) popularizing Betutu culinary as a medium of identity, tolerance (harmony) between religious and ethnic groups. This article uses concepts such as culinary, gastro diplomacy and functional theory. This study uses descriptive qualitative methods with sampling techniques like purposive sampling and snowball sampling. The results of this study show that Betutu culinary can be accepted by all people, proven to be found or served in starred hotels, restaurants, sold in food stalls with an ever-increasing turnover.
Pemberdayaan Tari Sanghyang Di Banjar Jangu, Desa Duda Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali I Made Purna
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 32 No 2 (2017): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v32i2.114

Abstract

Kearifan lokal yang diwadahi Tari Sanghyang di Banjar Jangu, Desa Duda, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali mengandung nilai-nilai budaya nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan, kearifan terhadap lingkungan, ketauladan. Karena itu tidak mengherankan oleh pendukungnya Tari Sanghyang telah difungsikan sebagai tari yang memiliki fungsi religius-magis, fungsi sosial, keharmonisan terhadap lingkungan alam, serta memiliki makna moral yang sederhana baik gending maupun pakaiannya yang sangat tergantung pada alam. Rumusan masalah yang dibahas dalam tulisan ini, antara lain, 1) kenapa tari Sanghyang di Banjar Jangu diberdayakan; 2) apa usaha pemberdayaan yang sudah dan yang akan dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Tujuan penulisan ini yaitu, 1) menghidupkan kembali Tari Sanghyang sebagai warisan budaya lokal; 2) membangkitkan suasana magis-religius; 3) Mempertahankan Tari Sanghyang sebagai salah satu Tari Wali yang harus tetap “hidup” ikut menunjang pelaksanaan upacara agama Hindu. Agar pemberdayaan Tari Sanghyang dapat optimal, dan bertaksu, maka model pember- dayaannya perlu dilakukan melaluicara structural dan kultural.