This Author published in this journals
All Journal Jurnal Theologia
Yusuf Suyono
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

MENYOAL KESENJANGAN ANTARA DAS SOLLEN ISLAM DENGAN DAS SEIN PRAKSIS KEHIDUPAN KAUM MUSLIMIN Suyono, Yusuf
TEOLOGIA Vol 25, No 1 (2014): FILSAFAT ISLAM
Publisher : TEOLOGIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: This paper embarks from the question why the valuable Islamic ethics cannot  be ethos grounded in the nation-state Muslim majority country-including in Indonesia? Phenomena such as the majlis taklim, majlis dhikr, interest pilgrimage exceeds the quota, the Islamic banking activity is equally excited, is real. However, it is not enough. Muslims should master the science, economics, and the strategic role of national politics. Islamic ethics is Das sollen, the Muslims condition is Das Sein. Prophet Muḥammad has abled   to unite Das sein and Das sollen in his life, because Islam has become his blood so that he is a mirror and store front of Islam par excellence. Muslims, as his follower, not been able to do like him. Al-Amir Arsalan Syākib, Muḥammad ‘Abduh, Mohammad Iqbal, Muḥammad al-Ghazālī, Ḥassan Ḥanafi have tried to formulate how to bridge the gap between Das sollen and Das Sein for Muslims. They have a deep concern about the wide gap between Das Sein praxis in life of Muslims with Das sollen Islamic teachings in slogan ya’lu walā yu’la ‘alaih. While at the same time they see how the beruf ethos of Calvinism could encourage the ethos of modern capitalism to its adherent sin Western Europe, a Zen Buddhist ethos could push the Japanese into the Asian tigers, and spirit Confucius encourage the Korean people into the Asian dragon. Abstrak:Tulisan ini berangkat dari pertanyaan mengapa etika Islam yang adiluhung itu tidak bisa membumi menjadi etos bangsa di negara-negara yang  mayoritas penduduknya Muslim–termasuk di Indonesia. Fenomena seperti majlis taklim, majlis zikir, minat menunaikan ibadah haji melebihi kuota, aktivitas perbankan syariah  tak kalah bersemangat, adalah nyata. Namun, itu  tidak cukup. Umat Islam seharusnya lebih dari itu dalam penguasaan ilmu pengetahuan, ekonomi,  dan peran strategis politik kebangsaan. Etika Islam itulah Das Sollen, keadaan kaum Muslimin itulah Das Sein. Muhammad Rasulullah telah mampu menyatukan Das Sein dan Das Sollen dalam hidupnya. Hal itu dikarenakan Islam telah menjadi darahnya sehingga beliau adalah cermin dan etalase Islam par excellence. Kaum Muslimin, sebagai pengikutnya, belum mampu berbuat seperti uswah mereka itu. Al-Amir Syakib Arsalan, Muhammad Abduh, Mohammad Iqbal, Muhammad al-Ghazali, Hassan Hanafi telah berusaha menformulasikan bagaimana menjembatani jurang pemisah antara Das Sollen dan Das Sein kaum Muslimin itu. Semuanya itu karena didorong oleh keprihatinan melihat betapa dalam dan menganganya jurang antara Das Sein praksis kehidupan Umat Islam dengan Das Sollen ajaran Islam yang ya’lu wa lā yu’lā ‘alaih itu. Sementara di saat yang bersamaan mereka melihat betapa etos beruf Calvinisme bisa  mendorong etos Kapitalis­me modern bagi pemeluknya di Eropa Barat, etos Buddha Zen bisa mendorong bangsa Jepang menjadi macan Asia, dan spirit Konfucian (Kong Hu Cu) mendorong bangsa Korea  menjadi dragon Asia. Keywords:filsafat Islam, dialektika sirkular, etika Islam, filsafat Iqra’, Das Sollen, dan Das Sein.
GAP ANTARA DAS SOLLEN DAN DAS SEIN ILMU-ILMU KEAGAMAAN ISLAM: Perspektif Filsafat Ilmu Suyono, Yusuf
Jurnal THEOLOGIA Vol 27, No 1 (2016): FILSAFAT ISLAM & ISU-ISU KONTEMPORER
Publisher : Fakulta Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/teo.2016.27.1.933

Abstract

Abstract: Since the Muslim Reformers launched the campaign of calling to return the glory of Islam back to Muslim people like what had been reached in classic era, the call came into nothing. The backwardness, ruin, and destruction in all aspects of life in Middle era could not have been completely overcome. The scientifical sphere which is hoped to be real means to reach the glory and get rid of these destructions,does not work as what has been hoped. Accordingly, nothing of what was mentioned by Thomas S. Kuhn as Shifting Paradigm happens, because the scientifical anomalies could not be overcome and in turn the crisis accumulates that lead to no scientifical revolution. In this case, Islamic sciences in general and Islamic religious sciences in particular do not develop. The religious sciences taught in Islamic University nowadays are those taught in classic era. The slogan of modern Islam “ the door of Ijtihad must be open ” changes that of middle era “ The door of Ijtihad must closed ” really be campaigned, but has no longer effect. Consequently, Islamic religious sciences have no relevance to their users. They taste very heavenly not worldly. That is what the writer means as the gap in Islamic sciences. Abstrak: Sejak para pemabaharu Muslim di abad 19 M mendengungkan ajakan untuk mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana yang telah dicapai di era klasik, ajakan itu seperti belum menghasilkan apa yang diharapkan. Ke¬terpuruk¬an, keterbelakangan di berbagai bidang yang mereka sejak era pertengahan belum bisa sepenuhnya teratasi. Bidang keilmuan yang mestinya menjadi lokomotif dan garda depan untuk menggapai kejayaan yang bisa mengusir keterpurukan dan keterbelakangan tersebut, juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada gilirannya, tidak terjadi apa yang disebut oleh Thomas S. Kuhn sebagai Shifting Paradigm, karena anomali-anomali yang di dalamnya tidak bisa diatasi sehingga krisis menumpuk namun tidak terjadi revolusi ilmiah. Secara demikian rupa, sehingga ilmu-ilmu keislaman terutama ilmu agama menjadi mandeg. Ilmu-ilmu agama yang diajarkan di Perguruan Tinggi Agama Islam adalah juga masih yang digagas para pendahulu di era klasik. Semboyan era modern “ Pintu Ijtihad harus dibuka “ menggantikan semboyan era pertengahan “ Pintu Ijtihad Tertutup “ memang sudah dicanangkan, namun nuansanya Pintu Ijtihad itu masih terus tertutup. Akibatnya, ilmu-ilmu agama Islam seperti putus relevansi dengan masyarakat penggunanya. Ilmu-ilmu agama terasa melangit, padahal penggunanya ada di bumi. Itulah yang dimaksud dengan gap dalam ilmu-ilmu Islam.
BERTUHAN TANPA AGAMA? Suyono, Yusuf
Jurnal THEOLOGIA Vol 22, No 2 (2011): ILMU-ILMU USHULUDDIN
Publisher : Fakulta Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/teo.2011.22.2.608

Abstract

Manusia adalah makhluk misterius, karena dibekali fakultas akal yang bisa melahirkan pemikiran-pemikiran yang sangat menge-jutkan penalaran awam. “Against religion, why we should try to live without it? “, “Spirituality yes, organized religion no “, “God is dead “ dan be¬la¬¬kangan “Bertuhan tanpa agama" adalah contoh-contoh pemi¬kir¬an yang dilahirkan oleh manusia lewat fakultas akal yang dimilikinya itu. Contoh-contoh itu bisa diambil nilai po¬sitif¬nya yaitu ba¬gaimana menjadikan agama resmi yang di¬peluk manusia ini fungsional untuk kebaikan ma¬nusia. Agama harus mem¬bawa kebaikan bagi peme¬luk¬nya khususnya dan manusia umum¬nya, kare¬na agama haki¬kat¬nya adalah ajaran-ajaran berupa petunjuk-petunjuk yang misinya mem¬ba¬ha¬gia¬kan manu¬sia. Sebab kalau tidak diambil nilai posi¬tifnya, pernyataan-pernyataan seperti itu akan mem¬buat para agamawan keba¬karan jenggot. Demi¬kian juga, pernyataan-pernyataan tersebut harus dipahami secara filosofis karena per¬nyataan-per¬¬nyataan ter¬sebut dalam dunia filsafat merupakan hal yang abash-absah saja. Kata Kunci: Impossible being, necessary being, al-Iktinah, eksis¬ten¬¬sialisme, Prima Causa
MENYOAL KESENJANGAN ANTARA DAS SOLLEN ISLAM DENGAN DAS SEIN PRAKSIS KEHIDUPAN KAUM MUSLIMIN Suyono, Yusuf
Jurnal THEOLOGIA Vol 25, No 1 (2014): FILSAFAT ISLAM
Publisher : Fakulta Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/teo.2014.25.1.338

Abstract

Abstract:This paper embarks from the question why the valuable Islamic ethics cannot be ethos grounded in the nation-state Muslim majority country-including in Indonesia? Phenomena such as the majlis taklim, majlis dhikr, interest pilgrimage exceeds the quota, the Islamic banking activity is equally excited, is real. However, it is not enough. Muslims should master the science, economics, and the strategic role of national politics. Islamic ethics is Dassollen, the Muslims condition is DasSein. ProphetMuḥammad has abled to unite Das sein andDassollenin his life, because Islam hasbecomehis bloodso that he is a mirror and store front of Islampar excellence. Muslims, as his follower, not been able todo like him. Al-Amir ArsalanSyākib, Muḥammad ‘Abduh, MohammadIqbal, Muḥammadal-Ghazālī, Ḥassan Ḥanafihavetried to formulatehow tobridge the gapbetween Das sollenandDasSein forMuslims. Theyhave adeep concern about thewide gapbetweenDasSeinpraxis in life of Muslims with DassollenIslamicteachings in slogan ya’lu walā yu’la ‘alaih. Whileatthe same timetheyseehowthe berufethos of Calvinismcouldencouragethe ethos ofmoderncapitalismto its adherentsin Western Europe, a Zen Buddhistethoscouldpushthe Japaneseintothe Asiantigers, andspirit Confucius encouragethe Korean peopleintothe Asiandragon. Abstrak:Tulisan ini berangkat dari pertanyaan mengapa etika Islam yang adiluhung itu tidak bisa membumi menjadi etos bangsa di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim–termasuk di Indonesia. Fenomena seperti majlis taklim, majlis zikir, minat menunaikan ibadah haji melebihi kuota, aktivitas perbankan syariah tak kalah bersemangat, adalah nyata. Namun, itu tidak cukup. Umat Islam seharusnya lebih dari itu dalam penguasaan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan peran strategis politik kebangsaan. Etika Islam itulah Das Sollen, keadaan kaum Muslimin itulah Das Sein. Muhammad Rasulullah telah mampu menyatukan Das Sein dan Das Sollen dalam hidupnya. Hal itu dikarenakan Islam telah menjadi darahnya sehingga beliau adalah cermin dan etalase Islam par excellence. Kaum Muslimin, sebagai pengikutnya, belum mampu berbuat seperti uswah mereka itu. Al-Amir Syakib Arsalan, Muhammad Abduh, Mohammad Iqbal, Muhammad al-Ghazali, Hassan Hanafi telah berusaha menformulasikan bagaimana menjembatani jurang pemisah antara Das Sollen dan Das Sein kaum Muslimin itu. Semuanya itu karena didorong oleh keprihatinan melihat betapa dalam dan menganganya jurang antara Das Sein praksis kehidupan Umat Islam dengan Das Sollen ajaran Islam yang ya’lu wa lā yu’lā ‘alaih itu. Sementara di saat yang bersamaan mereka melihat betapa etos beruf Calvinisme bisa mendorong etos Kapitalis¬me modern bagi pemeluknya di Eropa Barat, etos Buddha Zen bisa mendorong bangsa Jepang menjadi macan Asia, dan spirit Konfucian (Kong Hu Cu) mendorong bangsa Korea menjadi dragon Asia. Keywords:filsafat Islam, dialektika sirkular, etika Islam, filsafat Iqra’, Das Sollen, dan Das Sein.