Harold F. Tambajong
Universitas Sam Ratulangi Manado

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

GAMBARAN SKALA NYERI PADA PASIEN PASCABEDAH CAESAR DENGAN PENGGUNAAN OBAT KETAMIN DOSIS RENDAH Posumah, Richi M.; Tambajong, Harold F.; Kumaat, Lucky T.
e-CliniC Vol 4, No 1 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v4i1.11018

Abstract

Abstract : Pain is an uncomfortable sensorical feeling and emotional experience that relate to the destruction of tissue actually or potentially. Pain management is an important thing for the postoperative patients. Postoperative pain causing the change of body hormones that eventually lead to pain, nausea and vomitting. Postoperative pain management is an important aspect and therefore the analgetic drugs will be administered to overcome the pain. Not only function as an anaesthetic agent, low dose ketamine also has an analgetic effect. This study was aimed to determine the pain scale of the caesarean section patients using low – dose ketamine. This is an descriptive prospective study and the samples were the postoperative caesarean section patients from Prof. DR. R.D Kandou Hospital, Bhayangkara Hospital and GMIM Pancaran Kasih Hospital in Manado from December 2015 – January 2016. Patient that has been finished the operation were administered low dose ketamine as bolus 0,1 mg/kg and continuous IV 0,1 mg/kg/hour for 6 hours then the pain were assessed by using the Numerical Rating Scale (NRS) and FACES Pain Scale (FPS) starts from two hours, four hours and six hours after the ketamine was administered. Conclusion : Low dose ketamine was able to lower postoperative pain on caesarean section patients.Keywords : Postoperative Pain, Pain Scale, Caesarean Section, Low – Dose KetamineAbstrak : Nyeri merupakan perasaan sensorik dan pengalaman emosional yang tidak nyaman dan berhubungan dengan kerusakan jaringan secara actual maupun potensial. Manajemen nyeri merupakan hal yang penting dalam penganganan pasien pascabedah. Nyeri yang disebabkan oleh pembedahan terjadi karena perubahan hormon – hormon dalam tubuh dan hasilnya berupa rasa nyeri, mual dan muntah. Manajemen nyeri pascabedah merupakan aspek penting maka diberikan obat analgetik untuk mengatasinya. Selain sebagai obat anestetik, obat ketamin dengan dosis rendah memiliki fungsi analgetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran skala nyeri pada pasien pascabedah caesar dengan menggunakan obat ketamin dosis rendah. Penelitian ini bersifat deskriptif prospektif dan sampel merupakan pasien pascabedah caesar diambil di RSUP. Prof. DR. R. D. Kandou Manado, RS Bhayangkara Mando dan RSU GMIM Pancaran Kasih Manado yang dilaksanakan pada bulan Desember 2015 – Januari 2016. Pasien setelah selesai operasi diberikan ketamin dosis rendah dengan dosis bolus 0,1 mg/kg dan infus kontinyu IV 0,1 mg/kg/jam selama 6 jam kemudian penilaian nyeri pasien menggunakan skala nyeri Numerical Rating Scale (NRS) dan FACES Pain Scale (FPS) pada jam II, jam IV dan jam VI setelah pemberian obat ketamin. Simpulan : Ketamin dengan dosis rendah mampu menurunkan nyeri pascabedah pada pasien bedah caesar.Kata Kunci : Nyeri Pascabedah, Skala Nyeri, Bedah Caesar, Ketamin Dosis Rendah
Pola Pemberian Antimikroba pada Pasien Sepsis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari - Juni 2019 Taroreh, Reinhard C.; Tambajong, Harold F.; Lalenoh, Diana Ch.
e-CliniC Vol 7, No 2 (2019): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v7i2.26784

Abstract

Abstract: Sepsis is defined as organ dysfunction that threatens life due to disregulated response of vulnerable host to the infection agent. Antimicrobial therapy is one of the main therapies in the management of septic cases. Survival sepsis campaign guidelines in 2016 recommended antimicrobial administration in one hour after being diagnosed as sepsis. This study was aimed to determine the pattern of antimicrobial administration among septic patients in the Intensive Care Unit of RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. This was an observational analytical study with a cross-sectional design. Samples were intensive care unit patients of RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado diagnosed as sepsis and its classification obtained from the Medical Record Installation data for the period of January to June 2019. The results showed a total of 35 septic patients consisting of 16 females (45.7%) and 19 males (54.3%). The time of antimicrobial administration ≤1 hour was found in 21 cases (60%). The most frequent antimicrobial administered was ceftriaxone in 13 cases (37.1%). The mortality rate after >48 hours was 13 cases (59%). In conclusion, most antimicrobial administration was in 1 hour after being diagnosed as sepsis and ceftriaxone was the most frequent antimicrobial given. Mortality rate after administration of antimicrobial was still high.Keywords: sepsis, ICU, antimicrobial, mortality rate Abstrak: Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat disregulasi respon penjamu terhadap infeksi. Terapi antimikroba merupakan salah satu terapi utama dalam penatalaksanaan kasus sepsis. Pedoman Survival Sepsis Campaign tahun 2016 menyatakan pemberian antimikroba yang direkomendasikan ialah satu jam setelah terdiagnosiss sepsis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemberian antimikroba pada pasien sepsis di Intensive Care Unit RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jenis penelitian ialah analitik observasional dengan desain potong lintang. Sampel penelitian ialah pasien ICU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dengan diagnosis sepsis dan klasifikasinya, diperoleh dari data Bagian Instalasi Rekam Medik periode Januari-Juni 2019. Hasil penelitian mendapatkan total 35 pasien dengan diagnosis sepsis, terdiri dari 16 orang perempuan (45,7%) dan 19 orang laki-laki (54,3%). Waktu pemberian antimikroba ≤1 jam pada sebanyak 21 kasus (60%). Penggunaan antimikroba yang sering diberikan ialah ceftriaxone pada 13 kasus (37,1%). Angka kematian setelah >48 jam sebanyak 13 kasus (59%). Simpulan penelitian ini ialah sebagian besar pemberian antimikroba 1 jam setelah didiagnosis sepsis dengan ceftriaxone sebagai antimikroba yang paling sering diberikan. Angka kematian pasca pemberian antimikroba masih tinggi.Kata kunci: sepsis, ICU, antimikroba, angka kematian
Perbandingan Perubahan Kadar Gula Darah Sebelum Pembedahan, 30 Menit dan 60 Menit Saat Pembedahan dengan Anestesi Umum dan Anestesi Spinal Yaqin, Muh A.N; Tambajong, Harold F.; Kambey, Barry I.
e-CliniC Vol 5, No 2 (2017): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v5i2.18539

Abstract

Abstract: Anesthesia and surgery could cause stress response within the body that affects blood glucose level. This study was aimed to compare blood glucose levels at 30 minutes and 60 minutes during surgery using general anesthesia and spinal anesthesia. This as an observational prospective analytical stdy with a cross-sectional design performed on 12 patients gathered through consecutive sampling that fulfilled inclusion and exclusion criteria. The patients were divided into 2 groups: those undergoing surgery with general anesthesia and those with spinal anesthesia. Measurement of blood glucose level was done 3 times, 2 hours before premedication induction, 30 minutes and 60 minutes during surgery. Data were analyzed statistically by using the Shapiro-Wilk test, the T-independent test, and the Mann Whitney. The results showed that there was no significant difference between blood glucose level at 30 minutes during surgery using general anesthesia and spinal anesthesia (P = 0.23), however, there was a significant difference between blood glucose level at 60 minutes during surgery using general anesthesia and spinal anesthesia (P=0.03). Mean blood glucose level at30 minutes during surgery with general anesthesia was 103 mg/dl and at 60 minutes during surgery was 116.7 mg/dl, while mean blood glucose level at 30 minutes during surgery using spinal anesthesia was 93.50 mg/dl and at 60 minutes during surgery was 94.50 mg/dl. Conclusion: There was a significant difference in blood glucose level between general anesthesia and spinal anesthesia at 60 minutes during surgery.Keywords: stress response, blood glucose level, general anesthesia, spinal anesthesia Abstrak: Anestesi dan pembedahan dapat menyebabkan terjadinya suatu respon stres pada tubuh yang memengaruhi kadar gula darah. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar gula darah 30 menit dan 60 menit saat pembedahan dengan anestesi umum dan anestesi spinal. Jenis penelitian ialah observasional analitik prospektif dengan desin potong lintang. Penelitian dilakukan terhadap 12 pasien yang didapatkan secara consecutive sampling dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, lalu dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang menjalani pembedahan dengan anestesi umum dan kelompok yang menjalani menjalani pembedahan dengan anestesi spinal. Pengukuran kadar gula darah dilakukan 3 kali, yaitu 2 jam sebelum induksi premedikasi, serta 30 menit dan 60 menit saat pembedahan. Analisis statistik dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk, uji T-Independen,, dan uji Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar gula darah 30 menit saat pembedahan dengan anestesi umum dan anestesi spinal (P=0,23) sedangkan pada 60 menit saat pembedahan menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kadar gula darah 60 menit saat pembedahan dengan anestesi umum dan anestesi spinal (P=0,03). Rerata kadar gula darah 30 menit saat pembedahan dengan anestesi umum yaitu 103 mg/dl dan 60 menit saat pembedahan yaitu 116,7 mg/dl, sedangkan rerata kadar gula darah 30 menit saat pembedahan dengan anestesi spinal yaitu 93,50 mg/dl dan 60 menit saat pembedahan yaitu 94,50 mg/dl. Simpulan: Perubahan kadar gula darah yang bermakna antara anestesi umum dan anestesi spinal terjadi pada 60 menit saat pembedahan.Kata kunci: respon stres, kadar gula darah, anestesi umum, anestesi spinal
GAMBARAN PERUBAHAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN PRA-PASCABEDAH DENGAN ANESTESI SPINAL MENGGUNAKAN BUPIVAKAIN DI IBS RSUP PROF. dr. R.D. KANDOU PERIODE DESEMBER 2015 – JANUARI 2016 Lubis, Fajrian R.; Kumaat, Lucky T.; Tambajong, Harold F.
e-CliniC Vol 4, No 1 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.4.1.2016.11004

Abstract

Abstract: Surgical procedure could evoke stress response which will further increase blood glucose levels resulted in hyperglycemia. Spinal anesthesia is assumed to reduce the increase in blood glucose levels. This study was aimed to obtain the profile of blood glucose alterations in pre and postoperative patients with spinal anesthesia using bupivacaine at Central Surgery Installation of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado period December 2015-January 2016. This was a descriptive prospective study with an observational method. Blood glucose levels were examined at pre-operation, as well as 1 hour and 6 hour postoperation at Central Surgery Installation of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado, GMIM Pancaran Kasih Hospital, and Bhayangkara. The results showed that there were 18 patients of spinal anesthesia with bupivacaine. The most frequent percentages were: female (83.3%), age group 26-35 years old (55.6%), sectio caesaria as the type of surgery (83.3%), duration of surgery 90 minutes (89.9%), pre-operative blood glucose levels ≤70 mg/dL (55.6%), 1 hour postoperative blood glucose levels 70-125 mg/dL (61.1%), and 6 hour postoperative blood glucose levels 70-125 mg/dl (82.2%). Conlusion: There was an alteration in blood sugar levels pre-postoperative manifested as an increased blood sugar level.Keywords: blood glucose level, spinal anesthesia Abstrak: Tindakan pembedahan dapat menyebabkan timbulnya respon stres yang selanjutnya dapat meningkatkan kadar gula darah bahkan sampai hiperglikemi. Anestesi spinal diduga dapat mengurangi terjadinya peningkatan kadar gula darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perubahan kadar gula darah pra-pascabedah pada pasien dengan anestesi spinal menggunakan bupivakian di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Desember 2015-Januari 2016. Jenis penelitian ialah deskriptif prospektif dengan metode observasional. Pengukuran kadar gula darah dilakukan saat pra-bedah, serta 1 jam dan 6 jam pascabedah di IBS RSUP Prof. Dr.R.D. Kandou Manado, RSU GMIM Pancaran Kasih dan RS Bhayangkara. Pada hasil penelitian didapatkan 18 pasien dengan anestesi spinal menggunakan bupivakain selama periode Desember 2015-Januari 2016. Distribusi terbanyak pada jenis kelamin perempuan (83,3%), kelompok usia 26-35 tahun (55,6%), jenis operasi sectio caesarea (83,3%), durasi pembedahan 90 menit (89,9%), kadar gula darah pra-bedah ≤70 mg/dL (55,6%), kadar gula darah 1 jam pascabedah 70-125 mg/dL (61,1%), dan kadar gula darah 6 jam pascabedah 70-125 mg/dL (82,2%). Simpulan: Terdapat perubahan kadar gula darah pra-pascabedah berupa peningkatan kadar gula darah. Kata kunci: kadar gula darah, anestesi spinal
Perbandingan kadar gula darah pasca pembedahan dengan anestesia umum dan anestesia spinal Lumanauw, Fabiola I.; Tambajong, Harold F.; Kambey, Barry I.
e-CliniC Vol 4, No 2 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.4.2.2016.14484

Abstract

Abstract: Anesthesia and surgery could evoke stress response that can affect blood glucose levels. The purpose of this study is to compare the blood glucose levels after surgery with general anesthesia and spinal anesthesia. This was an analytic prospective observational research with cross-sectional design. Researched on 32 patients by consecutive random sampling who meet inclusion and exclusion criteria, then divided into two groups, namely the group undergoing surgery with general anesthesia and the group undergoing surgery with spinal anesthesia. Measurements of blood glucose levels was done in 1 hour before induction of premedication and 4 hours after surgery. The statistical analysis were done using Shapiro-Wilk Test to determine the normal distribution of samples, and independent t-test to compare blood glucose levels after surgery with general anesthesia and spinal anesthesia. The result showed there was significantly different between blood glucose levels after surgery with general anesthesia and spinal anesthesia (p-value = 0.006 or p <0.05). Mean of blood glucose level after surgery in general and spinal anesthesia were 96 mg/dl and 79,4 mg/dl. Conclusion: General anesthesia had more influence on the increase in blood glucose levels after surgery compared to spinal anesthesia.Keywords: stress response, blood glucose levels, general anesthesia, spinal anesthesia Abstrak: Anestesia dan pembedahan akan menyebabkan timbulnya respon stres yang dapat mempengaruhi kadar gula darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar gula darah pasca pembedahan dengan anestesia umum dan anestesia spinal. Metode penelitian ini menggunakan desain observasional analitik prospektif dengan rancangan cross-sectional. Penelitian dilakukan terhadap 32 pasien yang didapatkan secara consecutive random sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, lalu dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang menjalani pembedahan dengan anestesia umum dan kelompok yang menjalani pembedahan dengan anestesia spinal. Pengukuran kadar gula darah dilakukan 2 kali, yaitu 1 jam sebelum induksi premedikasi dan 4 jam setelah pembedahan. Analisis statistik dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui normalitas distribusi sampel, dan uji-t independen untuk membandingkan kadar gula darah pasca pembedahan dengan anestesia umum dan anestesia spinal. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kadar gula darah pasca pembedahan dengan anestesia umum dan anestesia spinal (nilai p = 0,006 atau p < 0,05). Rerata kadar gula darah pasca pembedahan dengan anestesia umum sebesar 96 mg/dl, sedangkan pada anestesia spinal sebesar 79,4 mg/dl. Simpulan: Anestesia umum lebih berpengaruh terhadap peningkatan kadar gula darah pasca pembedahan dibandingkan dengan anestesia spinal. Kata kunci : respon stres, kadar gula darah, anestesia umum, anestesia spinal
Gambaran skala visual analog dan hemodinamik pada pasien yang diberikan kombinasi tramadol dan ketorolak pasca bedah laparotomi Mufti, Galuh R.; Tambajong, Harold F.; Lalenoh, Diana
e-CliniC Vol 4, No 1 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v4i1.12133

Abstract

Abstract: Pain as an unpleasant sensory and emotional experience associated with tissue damage or potential tissue damage or a condition that indicates tissue damage. This study aimed to describe the visual analogue scale (VAS) and hemodynamic among patients given combination of tramadol and ketorolac post laparotomy. Evaluation of pain was assessed by using VAS. This was a descriptive prospective study and was carried out in the recovery room (RR) postoperation and in inpatient A and D instalations of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from December 2015 to March 2016. There were 20 respondents that were handled with laparotomy and had met the inclusion criteria. The results showed that the average VAS score at the 2nd hour was 5, while the average VAS score at the 4th hour and the 6th hour were 6.4 and 8.5 respectively. The average systolic pressure at the 2nd hour was 124 mmHg, the 4th hour was 126 mmHg, and the 6th hour was 131.6 mmHg. The average diastolic pressure at the 2nd hour was 78 mmHg, at the 4th was 80 mmHg, and at the 6th was 85 mmHg. The average pulse rate at the 2nd hour was 85.4 per minute, at the 4th was 86.7 per minute, and at the 6th was 90.3 per minute. The average MAP at the 2nd hour was 91 mmHg, at the 4th was 91.3 mmHg, and at the 6th was 94 mmHg. Keywords: visual analog scale, haemodynamic, ketorolac, tramadol Abstrak: Nyeri adalah suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan dihubungkan dengan adanya kerusakan jaringan atau potensial terjadinya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukan kerusakan jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran skala analog visual dan hemodinamik pada pasien yang diberikan kombinasi tramadol dan ketorolak pascabedah laparotomi. Gambaran nyeri dinilai dengan menggunakan visual analog scale (VAS). Jenis penelitian ini deskriptif prospektif dan dilakukan di ruang pemulihan recovery room (RR) pascabedah dan di Instalasi Rawat Inap A dan D RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada bulan Desember 2015-Maret 2016. Jumlah sampel yaitu 20 orang yang dilakukan operasi laparotomi yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor VAS pada jam ke-2 ialah 5 sedangkan rerata skor VAS pada jam ke-4 dan jam ke-6 ialah 6,4 dan 8,5 secara berurutan. Rerata tekanan sistolik pada jam ke-2 ialah 124 mmHg, jam ke-4 ialah 126 mmHg dan jam ke-6 menjadi 131,6 mmHg. Rerata tekanan diastolik pada jam ke-2 ialah 78 mmHg, jam ke-4 ialah 80 mmHg, dan jam ke-6 menjadi 85 mmHg. Rerata laju nadi pada jam ke-2 ialah 85,4 x/menit, jam ke-4 ialah 86,7 x/menit, dan jam ke-6 menjadi 90,3 x/menit mmHg. Rerata MAP pada jam ke-2 ialah 91 mmHg, jam ke-4 ialah 91,3 mmHg, dan jam ke-6 menjadi 94 mmHg.Kata kunci: visual analog scale, hemodinamik, ketorolak, tramadol
MULA KERJA ROKURONIUM Tompodung, Sadrakh; Tambajong, Harold F.; Lalenoh, Diana
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.1.2013.2636

Abstract

Abstract: Endotracheal intubation needs a muscle relaxant to permit the pipe to get easily into the trachea. Injury of the respiratory tract during this procedure can be avoided by being cognizant of the onsets of action of certain muscle relaxants. Rocuronium is a non-depolarization muscle relaxant with intermediate duration of action and fewer side effects. This study aimed to find out the onset of action of rocuronium. This was an observational study conducted in the operation rooms of Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital from November 2012 to January 2013. Samples were patients with ASA 1-2, aged 18 40 years who had been selected by using simple random sampling methods. Midazolam 0,7 mg/kg BW and fentanyl 2 µg/kg BW were used as premedication agents; propofol 2 mg/kg BW as an anaesthetic induction agent; and rocuronium 0,6 mg/kg BW as the muscle relaxant. The rocuronium?s onset of action was measured by using TOF-Watch after the injection of rocuronium until the percentage of muscle relaxation was 0. The results showed that the onset of action in 17 samples (14 females and 3 males) was 151 seconds. The onset of action in females was 65 seconds shorter than in males. A correlation test (P = 0.857) and the chi-square test (P = 0.434) showed no significant correlation between age and the onset of action. There was a significant difference (P < 0.05) between the onset of action and sex showed by the t-test (P = 0.023) and the chi-square test (P = 0.035). Conclusion: The average onset of action of rocuronium was 2 minutes and 31 seconds, with  females having a shorter onset of action of rocuronium. Keywords: onset of action, rocuronium.     Abstrak: Pemasangan pipa trakea memerlukan obat pelumpuh otot untuk memudahkan pipa ini masuk ke saluran napas. Cedera saluran napas akibat pemasangan pipa trakea dapat dihindari dengan mengetahui mula kerja (onset of action) dari obat pelumpuh otot. Rokuronium merupakan obat pelumpuh otot jenis non-depolarisasi dengan lama kerja sedang tanpa efek samping bagi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mula kerja rokuronium dan dilakukan di ruang operasi Rumah Sakit Prof Dr. R.D. Kandou Manado sejak bulan Nopember 2012 hingga Januari 2013. Sampel ialah pasien dengan ASA 1-2, berusia 18-40 tahun, yang dipilih secara simple random sampling. Pasien dipremedikasi dengan midazolam 0,7 mg/kg BB dan fentanil 2 µg/kg BB, diinduksi dengan propofol 2 mg/kg BB dan kemudian diberikan rokuronium 0,6 mg/kg BB secara intra vena. Mula kerja rokuronium diukur antara selesai penyuntikan hingga persentase kelumpuhan otot pada TOF-watch mencapai 0. Hasil penelitian memperlihatkan pada 17 sampel (14 orang perempuan dan 3 orang laki-laki), rerata mula kerja rokuronium 151 detik. Mula kerja rokuronium pada perempuan 65 detik lebih singkat daripada laki-laki. Hasil uji korelasi (P = 0,857) dan uji chi-square (P = 0,434) memperlihatkan tidak terdapat korelasi bermakna antara usia dan mula kerja rokuronium. Terdapat perbedaan bermakna (P < 0,05) antara mula kerja rokuronium dan jenis kelamin yang ditunjukkan dengan uji t (P = 0,023) dan uji chi-square (P = 0,035). Simpulan: Rerata mula kerja rokuronium dengan dosis 0,6 mg/kg BB untuk kedua jenis kelamin 2 menit 31 detik. Perempuan mempunyai mula kerja rokuronium lebih singkat daripada laki-laki. Kata kunci: mula kerja, rokuronium.
Perbandingan antara ondansetron 4 mg iv dan deksametason 5 mg iv dalam mencegah mual-muntah pada pasien laparotomi dengan anestesia umum Yanhil, Sitti I.; Kambey, Barry I.; Tambajong, Harold F.
e-CliniC Vol 4, No 2 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v4i2.14559

Abstract

Abstract: Nausea and vomiting are the most frequent side effects which occur postoperatively as a result of general anesthesia. Postoperative nausea and vomiting may increase morbidity and extend the duration of patient to stay at the recovery room. Ondansetron drug that has the effect as 5-HT3 antagonist receptor and dexamethasone administration might be the drug of choice in preventing postoperative nausea and vomiting. This study was aimed to compare the effect of 4 mg ondansetron and 5 mg dexamethasone administration on the incidence of postoperative nausea and vomiting in laparotomy surgery with general anesthesia. This was a prospective analytical study with an experimental method. Samples were obtained by using consecutive random sampling. There were 32 patients aged 18 to 60 years old, ASA I-II clasification, divided into two treatment groups as follows: ondansetron group given at the end of operation and dexamethasone group given before the induction of anesthesia. The resultas showed that complaints of postoperative nausea and vomiting mostly occured at the 5 mg dexamethasone group (37.5%) rather than 4 mg ondansetron group (12.5%). The Mann-Whitney test showed that there were no significant difference between both groups (p>0.05). Conclusion: Administration of 4 mg ondansetron intravenously has the same effectivity as 5 mg dexamethasone intravenously in reducing the incidence of postoperative nausea and vomiting after laparotomy with general anesthesia. Keywords: nausea and vomiting, ondansetron, dexamethasone Abstrak: Mual-muntah merupakan efek samping yang paling sering didapatkan pasca operasi akibat pemberian anestesia umum. Mual-muntah pasca operasi dapat meningkatkan morbiditas dan memperpanjang masa rawat pasien dari ruang pulih. Pemberian obat ondansetron yang berefek 5-HT3 reseptor dan deksametason dapat menjadi obat pilihan dalam mencegah terjadinya mual muntah pascaoperasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pemberian ondanetron 4 mg dan deksametason 5 mg terhadap kejadian mual-muntah pasca operasi pada bedah laparotomi dengan anestesia umum. Jenis penelitian ialah analitik prospektif dengan metode eksperimental. Sampel didapatkan secara consecutive random sampling yang dilakukan pada 32 pasien dengan rentang usia 18-60 tahun, klasifikasi ASA I-II, yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan: kelompok ondansetron yang diberikan di akhir operasi dan kelompok deksametason sebelum induksi anestesia. Hasil penelitian mendapatkan keluhan mual muntah pascaoperasi lebih banyak terjadi pada kelompok deksametason 5 mg (37,5%) dibandingkan kelompok ondansetron 4 mg (12,5%). Uji Mann-Whitney mendapatkan tidak ada perbedaan bermakna antara keduanya (p >0,05). Simpulan: Pemberian ondansetron 4 mg intravena memiliki efektivitas yang sama dengan deksametson 5 mg iv dalam menurunkan kejadian mual-muntah pasca operasi laparotomi dengan anestesia umum.Kata kunci: mual muntah, ondansetron, deksametason
PERBANDINGAN SKALA NYERI PASIEN PASCA OPERASI SEKSIO SESAREA YANG DIBERIKAN MORFIN INTRATEKAL DENGAN MORFIN INTRATEKAL DITAMBAH KETOROLAK INTRA Sandy, Indra F.; Posangi, Iddo; Tambajong, Harold F.
e-CliniC Vol 3, No 1 (2015): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.3.1.2015.12740

Abstract

Abstract: Caesarean section is one of the most common procedures performed. It is estimated that 15% of births worldwide and 21.1% of those in developed countries occur via cesarean section. Surgery causes tissue damage and pain in the abdomen. Postoperative pain is acute pain that occurs after the surgery with a rapid onset. Postoperative pain indicates damages or injuries have occurred with mild-to-severe intensity. Pharmacologic therapies that can be given is an analgesic that can be administered through several routes: parenteral, oral, rectal, transdermal, and intraspinal. This study aimed to determine the patient's postoperative pain scale for caesarean section and compared the pain scale after administration of intrathecal morphine with intrathecal morphine plus ketorolac intravena at the hour 2, 4, and 8. This was a prospective analytical study using a cross sectional approach. Samples were 32 people. The data collected were measured by using VAS pain scale and analyzed using by independent t test and Man Whitney U test. The results showed that at the 2nd hours the average value (mean) pain scale after intrathecal morphine use after surgery was 2.20, while the value of morphine + ketorolac is 0.00. At the 4th hour, the average value (mean) pain scale after intrathecal morphine use after surgery was 4.75, while the value of morphine + ketorolac was 4.55. At the 8th hour average value (mean) pain scale after postoperative intrathecal morphine use was 7.30, while the value of morphine + ketorolac was 5.85. Conclusion: At the 2nd hour, there was a difference in scale of postoperative pain in patients of caesarean section with intrathecal morphine and morphine + ketorolac (p = 0.002). At the 4th, there was no difference in the pain scale postoperative caesarean section patients with intrathecal morphine and morphine + ketorolac (p = 0.363). At the 8th, there were differences in scale of postoperative pain in patients of caesarean section with intrathecal morphine and morphine + ketorolac (p = 0.001). Keywords: caesarean section, scale pain, intrathecal morphine, ketorolac Intravenous Abstrak: Operasi sesar adalah salah satu prosedur yang paling umum dilakukan. Diperkirakan bahwa 15% dari kelahiran seluruh dunia dan 21,1% dari mereka di negara maju terjadi melalui operasi sesar. Tindakan pembedahan menyebabkan kerusakan jaringan dan menimbulkan nyeri pada bagian abdomen.Nyeri pasca operasi merupakan nyeri akut yang terjadi setelah proses pembedahan yang memiliki awitan yang cepat. Nyeri pasca operasi mengindikasikan kerusakan atau cedera telah terjadi dengan intensitas ringan sampai berat.Terapi farmakologis ialah analgesik yang dapat diberikan melalui rute parenteral, oral, rektal, transdermal, atau intraspinal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui skala nyeri pasien pasca operasi seksio sesarea dan membandingkan skala nyeri setelah pemberian morfin intratekal dengan morfin intratekal ditambah ketorolak inttavena pada jam ke 2, 4, 8. Rancangan penelitian ini bersifat analitik prospektif dengan menggunakan pendekatan potong lintang. Sampel penelitian ini berjumlah 32 orang. Data yang dikumpulkan diukur dengan skala nyeri VAS, kemudian data dianalisis dengan menggunakan uji independent dan uji Man Whitney U. Hasil penelitian memperlihatkan pada jam ke-2 nilai rata-rata (mean) skala nyeri setelah penggunaan morfin intratekal pasca bedah 2,20, sedangkan nilai morfin + ketorolak 0,00.Pada jam ke-4 nilai rata-rata (mean) skala nyeri setelah penggunaan morfin intratekal pascabedah 4,75, sedangkan nilai morfin + ketorolak 4,55. Pada jam ke-8 nilai rata-rata (mean) skala nyeri setelah penggunaan morfin intratekal pasca bedah 7,30, sedangkan nilai morfin + ketorolak 5,85. Simpulan: Pada jam ke-2, terdapat perbedaan skala nyeri pada pasien pasca operasi seksio sesarea dengan pemberian morfin intratekal dan morfin + ketorolac (p=0,002). Pada jam ke-4, tidak terdapat perbedaan skala nyeri pada pasien pasca operasi seksio sesarea dengan pemberian morfin intratekal dan morfin + ketorolac (p=0,363). Pada jam ke-8, terdapat perbedaan skala nyeri pada pasien pasca operasi seksio sesarea dengan pemberian morfin intratekal dan morfin + ketorolak (p = 0,001).Kata kunci: seksio sesarea, skala nyeri, morfin intratekal, ketorolak intravena