Zainul Arifin
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Korupsi Perizinan Dalam Perjalanan Otonomi Daerah Di Indonesia Zainul Arifin; Irsan Irsan
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.156 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.138

Abstract

Perizinan di indonesia masih menyisakan tugas yang cukup banyak. Hal ini terkait dengan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh kepala daerah bersama dengan birokrat dalam memudahkan perizinan tambang, alih fungsi lahan dan sederet persoalan perizinan lainnya.Cukup banyak kasus korupsi perizinan yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lihat saja, berdasarkan peringkat dalam ease of doing business (EoDB) atau kemudahan berusaha 2016 versi World Bank Group, Indonesia berada pada posisi 109 dari 189 negara. Tak heran jika pemerintah berupaya "menggenjot" dengan menyederhanakan sistem perizinan.Sebab jika tidak diperbaiki sistem perizinan di daerah masih menjadi lahan empuk bagi pejabat daerah dalam melakukan korupsi perizinan, sehingga mempersulit pelaku usaha melakukan ekspansi maupun pengembangan bisnis. Kata Kunci : Korupsi Perizinan, Otonomi Daerah, Pejabat Daerah Abstract: Licensing in Indonesia still leaves a lot of tasks. This is related to the abuse of authority carried out by regional heads together with bureaucrats in facilitating mining permits, land conversion and a range of other licensing issues. There are quite a lot of licensing corruption cases handled by the Corruption Eradication Commission (KPK). Just look, based on the ranking of ease of doing business (EoDB) or business ease 2016 version of the World Bank Group, Indonesia is in the position of 109 out of 189 countries. No wonder the government seeks to "boost" by simplifying the licensing system. Because if it is not repaired, the licensing system in the regions is still an easy area for local officials to conduct licensing corruption, making it difficult for businesses to expand and develop their business. Daftar Pustaka Buku-Buku : Budi Setiyono, Memahami Korupsi Di Daerah Pasca Desentralisasi: Belajar Dari Empat Studi Kasus, Politika, Vol. 8, No. 1, April 2017. Chazawi Adami, Hukum Pidana Materil Dan Formil Korupsi Di Indonesia, Banyumedia, Malang, 2003. Muladi dan Barda Nawawi, Teori–Teori Dan Kebijakan Pidana, Cetakan ke 3, Alumni, Bandung, 2005. Natal Kristiono, Buku Ajar Otonomi Daerah, Universitas Negeri Searang, 2015. Oce Madril, Membatalkan perizinan Koruptif, Kompas Kolom Opini. Sulardi, Menyelamatkan Negara dari Bencana Korupsi, Setara Pers, 2013. Yusrianto Kadir, Membangun Zona Integritas Dalam Upaya Pencegahan Korupsi Di Kabupaten Gorontalo, Researchgate. Internet : Andi Saputra, Jejak 5 Bupati yang Terlibat Korupsi di Kasus Pengurusan Perizinan, dalam : https://news.detik.com, diakses pada tanggal 2 Januari 2018. Ika Vera Tika, Laporan Akhir Tahun 2017 Hukum dan Kriminalitas: Kepala Daerah, Korupsi, dan Modus Baru, https://www.pikiran-rakyat.com, diakses pada tanggal 2 januari 2018.
PERAN PERANGKAT DESA TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF GREEN CONSTITUTION Zainul Arifin; Yunial Laily Mutiari; Irsan Irsan; Muhammad Syahri Ramadhan
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2020: Volume 6 Nomor 2 Juni 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (735.951 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v6i2.186

Abstract

Abstrak Aparat desa sebagai salah satu unsur aktor desa memiliki peran penting dalam mengembangkan kemajuan bangsa melalui desa. Salah satu masalah utama terkait dengan peran aparat desa adalah, antara lain, masalah penyelesaian masalah lingkungan di wilayah desa sangat penting. Aparat desa yang merupakan perwakilan dari masyarakat desa, tentu saja memahami kondisi aspek ekonomi, sosial, politik dan geografis wilayah desa. Penyelesaian perselisihan lingkungan sebenarnya merupakan bagian dari implementasi konsep konstitusi hijau dalam konstitusi Republik Indonesia pada tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945). Konsep konstitusi hijau itu sendiri adalah kebijakan hukum dari negara dalam mengekspresikan gagasan perlindungan lingkungan ke dalam undang-undang. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran aparat desa dalam menyelesaikan sengketa lingkungan dalam perspektif konstitusi hijau dan bagaimana keleluasaan pejabat desa dalam menyelesaikan masalah sengketa lingkungan dalam litigasi dan non-litigasi. Sifat penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau dapat disebut penelitian kepustakaan. Jenis penelitian hukum adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan memeriksa bahan pustaka atau data sekunder. Analisis penelitian dilakukan secara kualitatif dengan disajikan secara deskriptif. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa pejabat desa dari kepala desa kepada stafnya dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar masyarakat desa, harus memprioritaskan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan ketentuan mengenai hak asasi manusia untuk lingkungan yang baik dan sehat atau yang biasa dikenal ( konstitusi hijau). Dalam aspek non-litigasi peran dan fungsi Kepala Desa sebagai mediator dalam hal ini ada perselisihan di masyarakat dan perusahaan terkait dengan perselisihan lingkungan. Dalam aspek litigasi, setidaknya ada tiga bidang hukum yang selalu terjadi dalam praktik perselisihan tentang lingkungan, yaitu penyelesaian melalui hukum perdata, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana. Keyword : Perangkat Desa; Sengketa Lingkungan; Konstitusi Hijau Abstract The village apparatus as one of the elements of village actors has its own important role in developing the progress of the nation through the village. One of the main problems related to the role of village officials is, among other things, the issue of resolving environmental problems in the village area is very important. Village officials who are representatives of the village community, of course understand the conditions of the economic, social, political and geographical aspects of the village area. The resolution of environmental disputes is actually part of the implementation of the concept of green constitution in the constitution of the Republic of Indonesia in 1945 (hereinafter abbreviated as the 1945 Constitution). The concept of green constitution itself is a legal policy from the state in expressing the idea of environmental protection into legislation. The formulation of the problem in this study is how the role of village officials in solving environmental disputes in the perspective of green constitution and how the discretion of village officials in resolving environmental dispute issues in litigation and non-litigation. The nature of this research is normative legal research or it can be called library research. This type of legal research is legal research conducted by examining library materials or secondary data. The analysis of the research was conducted qualitatively by being presented descriptively. The conclusions in this study are that village officials from the village head to his staff in making policies related to the environment around the village community, must prioritize the principles of sustainable development and provisions regarding human rights to a good and healthy environment or commonly known (green constitution). In the non-litigation aspect the role and function of the Village Head as a mediator in this case there is a dispute in the community and the company related to environmental disputes. In the aspect of litigation, there are at least three legal fields which always occur in the practice of disputes regarding the environment, namely settlement through civil law, State Administrative Law and Criminal Law.