Paramita Rahayu
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

TRANSPORTASI UMUM SEBAGAI PENDUKUNG MOBILITAS SISWA: STUDI KASUS BATIK SOLO TRANS DI KOTA SURAKARTA Wiwit Nugroho; Paramita Rahayu; Tendra Istanabi
Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Urban and Regional Planning Program Faculty of Engineering Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/desa-kota.v4i1.48009.116-127

Abstract

Kota Surakarta merupakan kawasan perkotaan yang memiliki peran sebagai pusat pemerintahan, pusat pelayanan sosial, dan juga pusat kegiatan ekonomi. Berdasarkan peran tersebut, Kota Surakarta telah memenuhi salah satu fungsi pelayanan sosial yaitu dalam bentuk aktivitas pendidikan. Aktivitas pendidikan ini memunculkan mobilitas aktivitas yang didasarkan dari pergerakan pengguna sarana pendidikan yaitu para pelajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pelayanan Batik Solo Trans (BST) dalam mendukung aktivitas pendidikan di Kota Surakarta. Dalam menganalisis kinerja Batik Solo Trans sebagai penunjang mobilitas aktivitas pendidikan di Kota Surakarta, penilaian dilakukan dengan menjelaskan seberapa jauh jangkauan BST serta pelayanan BST terhadap aktivitas pendidikan di Kota Surakarta berdasarkan variabel sebagai berikut, yaitu (1) keamanan; (2) kenyamanan; (3) kecepatan; (4) tarif dan biaya; (5) keandalan; (6) jangkauan pelayanan. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah tingkat persepsi pengguna BST serta kondisi sarana dan prasarana dari angkutan BST ini. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data statistika deskriptif yang menggunakan teknik analisis jangkauan pelayanan dan analisis kinerja BST dalam melayani aktivitas pendidikan. Kinerja BST dalam melayani aktivitas pendidikan di Kota Surakarta ini dapat dikatakan sudah baik, namun terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan agar tingkat pelayanan dari BST ini dapat menjadi lebih maksimal. Faktor ini adalah ketepatan jadwal pelayanan, integrasi rute trayek BST, sarana prasarana BST yang perlu ditingkatkan, dan juga jangkauan pelayanan dari rute trayek BST.
PROSES URBANISASI PADA KORIDOR PURWOKERTO-PURBALINGGA Bayu Laksono Jati; Paramita Rahayu; Tendra Istanabi
Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Urban and Regional Planning Program Faculty of Engineering Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/desa-kota.v4i1.53274.103-115

Abstract

Tren urbanisasi beberapa tahun terakhir mengalami pergeseran ke kota-kota sekunder, khususnya pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Purwokerto dan Purbalingga yang masing-masing merupakan ibukota Kabupaten Banyumas dan Purbalingga memiliki sejarah panjang dalam proses pembangunan Regional Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen (Barlingmascakeb). Kedua kota ini dihubungkan oleh sebuah jalan provinsi yang dilengkapi dengan transportasi umum penghubung kedua kota dimana hal tersebut menjadi dua faktor utama terjadinya urbanisasi pada sebuah koridor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik urbanisasi pada koridor Purwokerto-Purbalingga. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deduktif kuantitatif dengan metode analisis statistika deskriptif. Hasil kajian terhadap keempat indikator yaitu persentase penduduk nonpertanian, kepadatan penduduk perkotaan, proporsi daerah terbangun di daerah perkotaan, serta perubahan aktivitas ekonomi perkotaan menunjukkan kawasan mengalami proses urbanisasi yang disebabkan oleh  peningkatan persentase penduduk nonpertanian (15%), proporsi daerah terbangun (4%), kepadatan penduduk perkotaan (384 penduduk/km2) serta perubahan aktivitas ekonomi dari pertanian menjadi nonpertanian yang terjadi di koridor Purwokerto Purbalingga. Penelitian ini menemukan bahwa persentase penduduk nonpertanian menjadi indikator yang paling dominan diantara seluruh indikator yang digunakan dengan perubahan sebanyak 10 desa dalam kurun waktu 10 tahun.
POTENSI PENERAPAN TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT (TOD) DI KAWASAN SEKITAR STASIUN LEMPUYANGAN Adi Janatra; Paramita Rahayu; Tendra Istanabi
Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Urban and Regional Planning Program Faculty of Engineering Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/desa-kota.v4i1.55017.87-102

Abstract

Transit oriented development merupakan konsep pengembangan lokasi dengan beragam penggunaan lahan di kawasan stasiun transit untuk mengurangi tingkat ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi. Tujuan penelitian adalah mengetahui potensi penerapan Transit Oriented Development di Kawasan Sekitar Stasiun Lempuyangan. Menurut Peraturan Daerah DIY Nomor 5 Tahun 2019 tentang RTRW Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2019 – 2039 pasal 14 Nomor 4, Stasiun Lempuyangan akan dikembangkan sebagai kawasan transit oriented development seiring dengan dibangunnya Bandara Yogyakarta International Airport di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Namun, ada beberapa permasalahan yang terdapat di Kawasan Sekitar Stasiun Lempuyangan, yaitu kurang teraturnya kepadatan bangunan di seluruh Kawasan Sekitar Stasiun Lempuyangan yang mengakibatkan kepadatan bangunan eksisting di kawasan tersebut tidak merata. Penataan penggunaan lahan eksisting di kawasan tersebut juga bermasalah karena terbatasnya ketersediaan lahan yang mengakibatkan fungsi dari masing-masing penggunaan lahan kurang maksimal. Metode penelitian yang diterapkan adalah kuantitatif dan metode analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk mengukur kesiapan Kawasan Stasiun Lempuyangan sebagai kawasan Transit Oriented Development (TOD) berdasarkan penggunaan lahan dan intensitas pemanfaatan ruang. Kesesuaian tersebut dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut: persentase penggunaan lahan, ketersediaan fasilitas umum, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, kepadatan hunian, tinggi bangunan, jumlah hunian, dan tipe hunian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi lapangan dan data sekunder dari instansi terkait. Berdasarkan dari hasil skoring, didapatkan persentase indikator yang sesuai dengan konsep transit oriented development sebesar 41,6%. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Kawasan Stasiun Lempuyangan belum siap sebagai kawasan transit oriented development dan masih harus dilakukan peningkatan pemenuhan indikator, yaitu koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dimensi blok, tinggi bangunan, dan tipe hunian untuk mencapai kesesuaian dengan konsep transit oriented development.
PERI-URBANISASI DAN DINAMIKA PERKEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN SEKUNDER (STUDI KASUS: BOSUKAWONOSRATEN) Suci Astin Kurniati; Paramita Rahayu; Tendra Istanabi
Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman Vol 4, No 2 (2022)
Publisher : Urban and Regional Planning Program Faculty of Engineering Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/desa-kota.v4i2.55247.167-180

Abstract

Pada abad ke-21, gelombang urbanisasi melaju dengan cepat memicu transformasi kawasan menjadi lebih modern dan city-oriented. Lebih dari 50% penduduk dunia adalah penduduk perkotaan. Fenomena ini membuat terjadinya proses perluasan kawasan perkotaan ke daerah pinggiran kota-kota administratif, yang dikenal sebagai proses peri-urbanisasi. Proses ini melahirkan kawasan-kawasan baru dengan fungsi dan peran yang berbeda-beda, diantaranya kawasan perkotaan sekunder. Sebagai kawasan penyangga, kawasan perkotaan sekunder memiliki peluang pengembangan tinggi, yang dibuktikan dengan pesatnya laju urbanisasi di kawasan tersebut dibandingkan di kota intinya. Kawasan perkotaan sekunder Bosukawonosraten (Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Klaten) memiliki laju urbanisasi sebesar 5,2%, terpaut jauh dari kota intinya yang hanya sebesar 0,2%. Kawasan ini memiliki tiga klaster utama dengan karakteristik yang beragam. Masing-masing klaster berinteraksi secara intensif, baik eksternal maupun internal kawasan. Hal ini berdampak pada kapasitas masing-masing klaster dalam menerima pengaruh peri-urbanisasi dari pusat kota maupun kawasan di sekitarnya. Akan tetapi, pemerintah belum mampu mengoptimalkan peluang ini sebagai dasar pengembangan kawasan perkotaan sekunder ke depannya. Minimnya inventaris data mengenai karakter kawasan perkotaan sekunder hingga tidak dipetakannya arah urbanisasi menjadi sejumlah tantangan yang harus dihadapi pemerintah agar pembangunan di kawasan perkotaan sekunder Bosukawonosraten dapat terintegrasi dengan baik. Melalui penelitian ini, karakteristik kawasan perkotaan sekunder akan digali menggunakan pendekatan multisektoral, diantaranya karakter demografi, karakter ekonomi, dan karakter spasial. Selain itu, tren peri-urbanisasi yang terjadi di dalamnya akan dijelaskan menggunakan data lintas tahun dari 2010 hingga 2019, sehingga akan diperoleh gambaran secara mendalam mengenai karakteristik dan proses perkembangan kawasan perkotaan sekunder Bosukawonosraten.
POTENSI PENERAPAN KONSEP KOTA KOMPAK DI KOTA DEPOK DARI ASPEK TATA GUNA LAHAN DAN SISTEM TRANSPORTASI Navrida Ratnaningtyas; Paramita Rahayu; Tendra Istanabi
Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman Vol 4, No 2 (2022)
Publisher : Urban and Regional Planning Program Faculty of Engineering Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/desa-kota.v4i2.55498.181-195

Abstract

Urbanisasi yang terus terjadi tanpa perencanaan akan berakibat negatif pada pergeseran perkembangan kota ke arah pinggiran kota atau urban sprawl. Konsep compact city atau kota kompak menjadi solusi dari perkembangan kota yang sprawl dengan adanya intensifikasi lahan dan pemerataan sistem transportasi. Kota Depok merupakan salah satu wilayah yang memiliki kecenderungan sprawl dengan isu-isu guna lahan dan transportasi. Kota Depok memiliki strategi pengembangan kota yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tahun 2018-2029 dengan meningkatkan keterpaduan antara tata guna lahan dan transportasi melalui penerapan konsep kota kompak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi guna lahan dan sistem transportasi Kota Depok dalam penerapan konsep kota kompak. Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif kuantitatif dengan metode analisis spasial dan statistik deskriptif. Penelitian ini menggunakan delapan indikator konsep kota kompak yang dilihat dari aspek tata guna lahan dan sistem transportasi. Dari hasil analisis aspek tata guna lahan, persentase wilayah dengan kepadatan tinggi di Kota Depok sebesar 50%, kepadatan perumahan dan permukiman tinggi sebesar 23%, wilayah yang memiliki guna lahan campuran sebesar 41%, serta keterjangkauan dan ketersediaan sarana sebesar 46%. Sementara itu, dari aspek transportasi, aksesibilitas tinggi berada pada persebaran guna lahan perkotaan dan peribadatan. Konektivitas jalan di Kota Depok memiliki rasio 1.6, dan terdapat tujuh nodal multimoda di Kota Depok. Penelitian menemukan bahwa 2.422 Ha atau 12% wilayah Kota Depok sudah memiliki potensi kota kompak karena wilayahnya mendukung keseluruhan indikator perkembangan konsep kota kompak.
POTENSI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) SEMPADAN SUNGAI DARI ASPEK FISIK REVITALISASI Benediktus Ariel Santoso; Paramita Rahayu; Tendra Istanabi
Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman Vol 4, No 2 (2022)
Publisher : Urban and Regional Planning Program Faculty of Engineering Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/desa-kota.v4i2.53511.196-209

Abstract

Isu lingkungan hidup terkait Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan ruang publik merupakan permasalahan yang ditemui pada mayoritas perkotaan di Indonesia, khususnya terkait ketersediaan RTH yang kurang dari 10% dari luasan kota. Kota Surakarta memiliki persentase jumlah RTH yang tidak sesuai, yakni masih berkisar 8,47% atau 373 hektar. Salah satu bagian RTH yang mampu berkontribusi terhadap ketersediaan RTH adalah sempadan sungai. Sungai Bengawan Solo yang melintasi Kota Surakarta memiliki potensi untuk menyumbang ketersediaan RTH, akan tetapi terdapat alih fungsi lahan di daerah sempadan Sungai Bengawan Solo. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan atau mengembalikan fungsi sempadan Sungai Bengawan Solo antara lain adalah dengan revitalisasi sempadan sungai. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis spasial dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan analisis statistik deskriptif untuk mengetahui kontribusi sempadan Sungai Bengawan Solo sebagai RTH Kota Surakarta melalui proses revitalisasi fisik. Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui bahwa kontribusi sempadan Sungai Bengawan Solo belum optimal karena masih terdapat bangunan di sempadan sungai. Berdasarkan analisis revitalisasi pada aspek fisik, revitalisasi fisik yang dilakukan di Kawasan Semanggi, sebagai salah satu area di Kota Surakarta yang berada di sempadan sungai Bengawan Solo, adalah dengan melakukan penataan kembali bangunan pada kawasan permukiman di dalam tanggul parapet yang dilengkapi infrastruktur penunjang dan mengembalikan fungsi sempadan Sungai Bengawan Solo di luar parapet menjadi RTH seluruhnya. Revitalisasi fisik yang dilakukan mampu menambah luasan RTH di Kawasan Semanggi. Dari hasil analisis tersebut, diketahui bahwa potensi sempadan sungai sebagai RTH mampu ditingkatkan dengan melakukan revitalisasi fisik. Selanjutnya, hasil analisis revitalisasi fisik pada kawasan Semanggi menjadi asumsi dalam memperkirakan potensi kontribusi sempadan sungai pada seluruh Sungai Bengawan Solo di Kota Surakarta. Berdasarkan hasil analisis kontribusi, diketahui bahwa potensi sempadan Sungai Bengawan Solo sebagai RTH terhadap kebutuhan RTH di Kota Surakarta mampu meningkat jika dilakukan revitalisasi fisik di seluruh sempadan sungai.