Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: SEBUAH PANDANGAN AWAL Truman Simanjuntak; M. Ruly Fauzi; J.C. Galipaud; Redaksi AmertaFadhila A. Azis; Hallie Buckley
AMERTA Vol. 30 No. 2 (2012)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak. Tulisan ini menguraikan gambaran awal tentang kehidupan Penutur Austronesia dankarakter budaya neolitiknya di wilayah Nusa Tenggara Timur, berdasarkan penemuan-penemuan data baru yang dilengkapi dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. Setidaknya di sekitar 3.000 – 2.000 BP berbagai pulau di wilayah ini sudah dihuni Penutur Austronesia. Mereka menghuni wilayah pantai dengan mata pencarian berburu dan meramu dengan penekanan pada pemanfaatan biota laut; mempraktekkan penguburan tempayan dan tanpa wadah; menggunakan peralatan beliung persegi dan peralatan litik lainnya; membuat alat-alat perhiasan (dari cangkang kerang, koral, dan biji-bijian); dan membuat kain dari kulit kayu. Kemiripan bentuk, pola serta variasi tinggalan arkeologis dari situs-situs neolitik di wilayah ini memperlihatkan komunitas antar-pulau telah terlibat kontak dan interaksi yang intensif di kala itu.Kata kunci: Austronesia, Neolitik, Nusa Tenggara Timur, karakter budaya, interaksi Abstract. Prehistoric Austronesian in East Nusa Tenggara Timur: a preliminary view. This articlediscusses a preliminary insight on the presence of the Austronesian Speakers and its neolithic culturein East Nusa Tenggara, based on our new discoveries completed with results from previous studies. At least around 3,000 – 2,000 BP most of islands in this region have been inhabited by Austronesianspeaking people. They inhabited coastal areas; practicing hunting and gathering with an emphasis on the exploitation of marine resources; practicing burial with and without jar; using polished stone adzes and other lithic tools; manufacturing body ornaments made from shells, coral, and seeds; and making cloth from barks. The similarity observed among the shapes, patterns and variations on archaeological remains from neolithic sites in this area reveal an intensive inter-island contacts and interactions between coastal communities during that period. Keywords: Austronesia, Neolitik, East Nusa Tenggara, cultural character, interaction
WACANA BUDAYA MANUSIA PURBA Truman Simanjuntak
AMERTA Vol. 20 (2000)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

.
KEHIDUPAN MANUSIA MODERN AWAL DI INDONESIA: SEBUAH SINTESA AWAL Truman Simanjuntak
AMERTA Vol. 29 No. 2 (2011)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak. Rentang waktu Plestosen Akhir atau paruh kedua Plestosen Atas pada umumnya merupakan periode yang mengait dengan kemunculan dan perkembangan Manusia Modern Awal (MMA) di Indonesia. Bukti-bukti arkeologi sedikit banyaknya telah meyakinkan keberadaannya, berikut rekaman perilakunya yang khas, dalam periode tersebut. Terlepas dari pertanggalan kolonisasi awal yang belum diketahui pasti dari manusia modern awal ini, pertanggalan radiometri yang tersedia menampakkan bahwa mereka telahmenghuni Indonesia, dan Asia Tenggara pada umumnya, paling tidak sejak sekitar 45 ribu tahun lalu hingga akhir kala Plestosen. Beberapa fenomena perilaku yang paling menonjol, yang membedakannya dari perilaku manusia purba yang mendiami Indonesia sejak jutaan tahun sebelumnya, adalah: (1) ekploitasi geografi yang semakin luas di kepulauan; (2) perubahan lokasi hunian dari bentang alam terbuka ke relung-relung alam seperti gua dan ceruk; (3) pengembangan teknologi litik yang menghasilkan alat-alat serpih menggantikan alatalat yang tergolong kelompok kapak perimbas/penetak; dan (4) sistem mata pencaharian yang lebih maju dan beragam dengan eksploitasi lingkungan (flora dan fauna) yang lebih bervariasi. Keseluruhan fenomena perilaku tersebut akan menjadi pokok bahasan tulisan ini. Kata kunci: Manusia Modern Awal (MMA), fenomena perilaku, Plestosen Akhir Abstract. The Life of Early Modern Human in Indonesia: A Preliminary Synthesis. The Late Pleistocene period or, in broader sense, the second half of the Upper Pleistocene, was in general related to the emergence and development of Early Modern Human (EMH) in Indonesia. Archaeological evidences have more or less confirmed their existence - with records of their unique behavior - within the period. In spite of the still obscure date of their initial occupation, the available radiometry dating reveals that this early Homo sapiens had inhabited Indonesia, and Southeast Asia in general, at least since ca. 45 kya up to the end of the Ice Age. Some of the most prominent behavior phenomena, which distinct modern human to early men's behavior who inhabited Indonesia since millions of years previously, are: (I) exploitation of wider geographical area within the archipelago; (2) change of activity orientation from open-air areas to natural niches, such as caves and rock shelters; (3) development of lithic technology that produced flake tools, replacing the chopper/chopping tool groups; and (4) more advanced and diverse systems of subsistence with more varied animals to hunt. The entire phenomena of behavior are the mainfocus of this paper. Keywords: Early Modern Human (EMH), behavior phenomena, Late Pleistocene
CATATAN SINGKAT TENTANG ALAT-ALAT TULANG NGANDONG Truman Simanjuntak
Berkala Arkeologi Vol. 2 No. 1 (1981)
Publisher : BRIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30883/jba.v2i1.283

Abstract

Pengertian alat tulang dalam tulisan ini meliputi alat-alat yang terbuat dari tulang dan tanduk binatang serta alat dari duri ikan. Alat tulang merupakan salah satu jenis basil teknologi manusia purba yang dipergunakan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Alat jenis ini sudah dikenal sejak adanya permulaan kegiatan manusia yang pada muianya berlatar belakang pada perburuan binatang sebagai salah satu sumber makanan. Dalam hal ini tulang-tulang binatang basil buruan dipecahkan untuk mendapatkan sumsumnya dan pecahanpecahan yang baik dipilih untuk dijadikan alat atau setidak-tidaknya untuk dijadikan alat secara insidentil.