Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search
Journal : Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM

Penyadapan dalam Hukum Internasional dan Implikasinya terhadap Hubungan Diplomatik Indonesia dengan Australia Jawahir Thontowi
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 22 No. 2: APRIL 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol22.iss2.art1

Abstract

The first and foremost issue in this study is the general principles and legal arrangements of tapping into national and international human rights law. Second, as lex specially can tappin be prosecuted to national or international law? Third, why is the wiretapping of Australia against Indonesia not considered as a crime but a violation of the diplomatic code of conduct. This is a normative research. The study reveals that first: legally tapping is prohibited by law and international human rights based on the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) in 1948, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) in 1966, the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (1958) and the 1961 Vienna Convention. While in the national law, the prohibition of tapping is provided in Article 28G paragraph (1) of the 1945 Constitution, Article 32 of law No. 39 of 1999, Article 40 of Law No. 36 of 1999, Article 31 paragraph (1) of Law No. 11 of 2008, and Article 31 paragraph (2) of Law No. 11 Year 2008. Tapping is allowed when the order and security of the country is being threatened as stipulated in the Law on Combating Criminal Acts of Terrorism, Narcotics Law, the Law on the Corruption Eradication Commission, and the Law on State Intelligence. Second, the ban on wiretapping in international criminal law can be excluded for particular crimes as stipulated by Rome Statute of 1998, and Transnational Organized Crime. Thirdly, in the context of the behavior relations between countries, Australia tapping against Indonesia has shifted meaning from a crime  into a violation of the diplomatic code of conduct. Indonesia acted diplomatically towards Australia’s violation by forgiveness.
Kekerasan di Sulawesi Selatan: Interaksi Budaya Lokal denan Hukum Pidana Nasional Jawahir Thontowi
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 6 No. 11 (1999)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gambaran Mengenai kekerasan di Sulawesi Selatan sangat menarik untuk dicermati. Selain karena kuantitasnya yang sangat banyak dan bertentangan dengan peraturan hukum. Lebih dari itu karena adanya kontradiksi antara peraturan hukum kebiasan masyarakat Sulawesi Selatan dengan peratruan hukum pidana khususnya Pasal 2 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951. Berikut ini diuraikan tentank interaksi Budaya Lokal dengan Hukum Pidana Nasional
Kebijakan Presiden Trump dan Respon Masyarakatnya terhadap Larangan Muslim Arab Tinggal di Amerika Serikat Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 24 No. 3: JULI 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol24.iss3.art2

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk menjawab dua rumusan permasalahan, pertama, bagaimana kebijakan Presiden Trump terkait pelarangan imigran Muslim untuk tinggal di Amerika Serikat dari perspektif hukum dan HAM Internasional, dankedua, bagaimana respon dan upaya masyarakat AS terhadap nasib imigran Muslim di AS. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan studi pustaka. Adapun penelitian menyimpulkan sebagai berikut: pertama, kebijakan Presiden Trump terkait pembatasan imigran Muslim sebagian telah melanggar peraturan hukum dan HAM internasional, utamanya Konvensi UNHCR 1951, Kovenan ICCPR, dan Kovenan ICESCR 1966; kedua, respon masyarakat AS tidak saja ditujukan oleh sikap menentang kebijakan Presiden Trump, melainkan juga para pengacara telah memperjuangkan hak-hak dasar dan kebebasan para imigran Muslim baik dengan menyediakan konsultasi dan pembelaan di pengadilan secara cuma-cuma, maupun dengan melakukan lobi dan negosiasi terhadap lembaga legislatif di tingkat negara bagian dan pemerintahan federal.Â