I Gede Arya Sugiartha
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Gamelan Ketug Bumi The Dialectics Of Culture, Modernity, And Educational Media | Gamelan Ketug Bumi Dialektika Kultur, Modernitas, Dan Media Pendidikan I Gede Arya Sugiartha
GHURNITA: Jurnal Seni Karawitan Vol 1 No 3 (2021): September
Publisher : Pusat Penerbitan LPPMPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jurnalsenikarawitan.v1i3.353

Abstract

Penelitian ini mengangkat topik tentang gamelan Ketug Bumi sebuah gamelan Bali barungan besar yang didominasi oleh alat-alat pukul dan tiup. Sengaja diformat sebagai musik prosesi, Ketug Bumi digunakan untuk mengiringi berbagai even budaya, seperti pawai, arak-arakan, karnaval yang memerlukan kemeriahan. Permasalahannya menjadi menarik karena gamelan Ketug Bumi merupakan karya kolektif akademisi ISI Denpasar yang kehadirannya langsung mendapat apresiasi dari masyarakat Bali. Ia merupakan wujud baru sekaligus menggantikan peran gamelan Adi Merdangga yang selama 30 tahun digunakan untuk mengawali pawai Pesta Kesenian Bali. Berbagai aspek menarik tentang dan sekitar gamelan Ketug Bumi mulai dari pembentukan, konsep kekaryaan dan repertoar, serta penelusuran berbagai peta makna yang menyertai kehadirannya dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini berada dalam wilayah Ilmu Kajian Seni Budaya berparadigma konstruktivistik dengan Etnomusikologi sebagai pendekatan utama dalam membedah persoalan-persoalan musical maupun ekstra musikalnya. Dapat disimpulkan bahwa secara fisik, musikalitas, dan tata penyajiannya gamelan Ketug Bumi menunjukkan sifat yang fleksibel dan progresif karena selalu berkembang sesuai selera zaman. Instrumentasi dan konsep garap berbasis dialektika kearifan local berbagai kultur namun dikemas inovatif dan berwawasan modernitas. Hal inilah menjadikan gamelan Ketug Bumi menarik dijadikan media pembelajaran komposisi oleh generasi muda. Dengan berbagai kebaruan yang ada gamelan Ketug Bumi tetap mengidentitas sebagai musik Bali.
The Nyama (kinship) Documentary as an Intolerant Comparative Discourse in Pegayaman Village, Buleleng, Bali I Komang Arba Wirawan; I Gede Arya Sugiartha
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol. 3 No. 2 (2020): October
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/lekesan.v3i2.1172

Abstract

The Nyama documentary is as a counter-discourse on intolerant attitudes in Indonesia. Nyama film was the result of research and creation of written and audio-visual data documentation of the acculturation of art and culture in the Muslim village of Pegayaman Buleleng, Bali. It was an observational/direct cinema-style documentary film acculturation of Hindu and Islamic arts and culture in Pegayaman Village, Buleleng, Bali. The Nyama film identified the perceptions and acculturation of art and culture in Pegayaman Village, Buleleng, Bali. It was a qualitative descriptive research method. Sources of data obtained through a purposive sampling method were done by accidental sampling technique. The location of the sampling was carried out in Pegayaman Village, Buleleng, Bali. The method used in achieving these goals was Representing reality. The documentary tells an event or reality (facts and data). Principally, documentary films are based on facts and are demanded to be loyal to those facts. Discussion of research and creation of this movie is the observational/direct cinema documentaries. This film tells the story of several people in Pegayaman Village. The subjects in this film are not in the same condition but are equally struggling to preserve the acculturation of Hindu and Islamic arts and culture in the Bali region. The information building in this film was a combination of interviews with selected subjects. The results of the research and creation were in the form of Nyama documentary films. The Nyama documentary is an acculturation campaign for arts and culture and a counter-discourse on the intolerant attitude of Indonesian society that is multicultural and has the character of Indonesian nationality.
Gamelan Ketug Bumi The Dialectics Of Culture, Modernity, And Educational Media | Gamelan Ketug Bumi Dialektika Kultur, Modernitas, Dan Media Pendidikan I Gede Arya Sugiartha
GHURNITA: Jurnal Seni Karawitan Vol 1 No 3 (2021): September
Publisher : Pusat Penerbitan LPPMPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jurnalsenikarawitan.v1i3.353

Abstract

Penelitian ini mengangkat topik tentang gamelan Ketug Bumi sebuah gamelan Bali barungan besar yang didominasi oleh alat-alat pukul dan tiup. Sengaja diformat sebagai musik prosesi, Ketug Bumi digunakan untuk mengiringi berbagai even budaya, seperti pawai, arak-arakan, karnaval yang memerlukan kemeriahan. Permasalahannya menjadi menarik karena gamelan Ketug Bumi merupakan karya kolektif akademisi ISI Denpasar yang kehadirannya langsung mendapat apresiasi dari masyarakat Bali. Ia merupakan wujud baru sekaligus menggantikan peran gamelan Adi Merdangga yang selama 30 tahun digunakan untuk mengawali pawai Pesta Kesenian Bali. Berbagai aspek menarik tentang dan sekitar gamelan Ketug Bumi mulai dari pembentukan, konsep kekaryaan dan repertoar, serta penelusuran berbagai peta makna yang menyertai kehadirannya dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini berada dalam wilayah Ilmu Kajian Seni Budaya berparadigma konstruktivistik dengan Etnomusikologi sebagai pendekatan utama dalam membedah persoalan-persoalan musical maupun ekstra musikalnya. Dapat disimpulkan bahwa secara fisik, musikalitas, dan tata penyajiannya gamelan Ketug Bumi menunjukkan sifat yang fleksibel dan progresif karena selalu berkembang sesuai selera zaman. Instrumentasi dan konsep garap berbasis dialektika kearifan local berbagai kultur namun dikemas inovatif dan berwawasan modernitas. Hal inilah menjadikan gamelan Ketug Bumi menarik dijadikan media pembelajaran komposisi oleh generasi muda. Dengan berbagai kebaruan yang ada gamelan Ketug Bumi tetap mengidentitas sebagai musik Bali.