Robi Muharsyah
Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG)

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

PRAKIRAAN CURAH HUJAN TAHUN 2008 MENGGUNAKAN TEKNIK NEURAL NETWORK DENGAN PREDIKTOR SEA SURFACE TEMPERATURE (SST) DI STASIUN MOPAH MERAUKE Robi Muharsyah
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 10, No 1 (2009)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (743.949 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v10i1.29

Abstract

Banyak faktor yang memepengaruhi terjadinya hujan, salah satunya adalah Suhu Muka Laut atau Sea Surface Temperature (SST). Dibuat suatu hubungan bahwa SST bulan ke-n-1 mempengaruhi curah hujan bulan ke-n. Data SST kemudian dikorelasikan dengan data curah hujan, sehigga diperoleh SST Terpilih yang berpengaruh banyak terhadap besarnya curah hujan di suatu wilayah. Besarnya curah hujan dapat diprediksi dengan teknik neural network. Pada teknik ini digunakan data masa lampau untuk mempelajari sifat hubungan antara SST dan curah hujan sehingga nanti dapat digunakan untuk memprediksi curah hujan di masa yang akan datang. Teknik neural network terdapat pada Add-In Forecaster X. Dengan Add-In Forecaster XL ini  akan diprediksi besarnya curah hujan pada tahun 2008 di Stasiun Meteorologi Mopah Merauke. Data curah hujan selama 10 tahun (1998 – 2007) digunakan sebagai data target dan data SST Terpilih selama 10 tahun (1998-2007) digunakan sebagai data input. Untuk mendapatkan prediksi curah hujan tahun 2008 digunakan data SST Terpilih untuk tahun 2008 sebagai data input. Validasi dilakukan terhadap hasil prediksi dengan data observasi tahun 2008 untuk menguji keakuratan Add-In forecaster XL dalam memprediksi curah hujan bulanan. Many factors can make rainfall, such as sea surface temperature (SST). We made a relationship that SST in this month will influence the rainfall in the next month. SST data and rainfall data will make a correlation. It makes a preference SST and it influences to rainfall at an area. An immensity rainfall can make a prediction by neural network technique. We used the last data to know the relationship trait between SST and rainfall for this technique. It will be use to make a rainfall prediction in the next time. Neural network technique obtains in Add –In Forecaster XL. It can make a rainfall prediction in 2008 at Meteorology Station of Merauke. Rainfall data used by data target and preference SST used by data input since 10 years (1998-2007). A preference SST in 2008 as a data input used to get a rainfall prediction in 2008. A validation made by prediction process with observation data in 2008 to try an Add-In forecaster XL accuracies when make rainfall prediction in the next time.
PENENTUAN BATAS ATAS NORMAL DAN BAWAH NORMAL CURAH HUJAN BULANAN SETARA TERCILE DENGAN KOEFISIEN REGRESI LINIER SEDERHANA Robi Muharsyah
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 15, No 1 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3194.837 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v15i1.175

Abstract

WMO mendefenisikan kategori sifat hujan Atas Normal (AN) dan Bawah Normal (BN) berdasarkan nilai Tercile (P66 dan P33). Sedangkan BMKG menggunakan kategori 1.15Ẍ dan 0.85Ẍ sebagai batas AN dan BN. Penelitian dilakukan di 120 stasiun BMKG menggunakan data curah hujan bulanan. Uji-t berpasangan (α = 0.01) digunakan untuk menguji 1.15 Ẍ dengan P66 dan0.85 Ẍ dengan P33. Hasilnya 1.15Ẍ berbeda dengan P66 pada 6 stasiun dan 0.85 Ẍ berbeda dengan P33 pada 108 stasiun. Regresi Linier Sederhana dengan metode kuadrat terkecil dilakukan antara Ẍ (peubah bebas) dengan P66 dan P33 (peubah tak bebas) sehingga didapatkan koefisien regresi βɑ dan βƅ. Selanjutnya dipilih nilai tengah dari setiap kelas distribusi frekuensi βɑ dan βƅ yang disebut sebagai faktor skala terbaik β*ɑ dan β*ƅ. Uji-t berpasangan kembali digunakan untuk menguji β*ɑẌ dengan P66 dan β*ƅẌ dengan P33. Hasilnya pada tingkat kepercayaan 99%  β*ɑẌ tidak berbeda dengan P66 dan β*ƅẌ tidak berbeda dengan P33 untuk 120 stasiun. Sehingga β*ɑẌ dan β*ƅẌ direkomendasikan sebagai batas AN dan BN yang lebih mendekati standar WMO. WMO defines a category for above normal (AN) and below normal (BN) as Tercile (P66 dan P33). On the other hand, BMKG uses 1.15Ẍ and 0.85Ẍ to determining AN and BN respectively. Monthly rainfall data in 120 BMKG’s stations are used in this research. A paired t-test (α = 0.01) is used for determining 1.15Ẍ and P66 as well as 0.85Ẍ and P33. As a result, 1.15Ẍ is not equivalent to P66 in 6 stations and 0.85Ẍ do not equal to P33 in 108 stations. The least-square method in Simple Linear Regression is examined between Ẍ as an independent variable and P66 as well as P33 as the dependent variable. Therefore, βɑ and βƅ have been found as coefficient regression. The next step is choosing β*ɑ, β*ƅ as a median for classes of frequency distribution βɑ and βƅ. β*ɑ and β*ƅ are the best scale factor. Finally, a paired t-test is used also to determining β*ɑẌ and P66 and β*ƅẌ and P33. As a result, β*ɑẌ is the same as P66and β*ƅẌ equals to P33 in 120 stations for confidence level 99%. Consequently, β*ɑẌ and β*ƅẌ are strongly recommended as new above normal and below normal which are similar to WMO standards.
KAJIAN VERIFIKASI PRODUK PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN (2003-2012) Robi Muharsyah
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 18, No 1 (2017)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v18i1.265

Abstract

Kajian ini bertujuan untuk mengukur kualitas produk prakiraan curah hujan (PCH) bulanan dengan cara melakukan verifikasi PCH selama 10 tahun pada periode 2003-2012. Berdasarkan bentuk prakiraan yang dipublikasikan maka metode verifikasi yang sesuai adalah verifikasi prakiraan berkategori. Ukuran verifikasi yang digunakan yaitu Ketepatan, Keunggulan dan Keandalan.  Ketepatan diukur dengan nilai Proportion of Correct (PC), Keunggulan dengan nilai Heidke Skill Score (HSS) dan Keandalan dengan nilai Frequency Bias Index (FBI).  Hasilnya secara temporal dan spasial, PCH pada periode JJA (musim kemarau) lebih baik dari pada PCH pada periode DJF (musim hujan). Nilai rata-rata PC, HSS dan FBI pada musim kemarau berada pada kriteria: ketepatan tinggi, unggul dan handal. Peningkatan kualitas PCH pada musim kemarau umumnya terdapat pada pos hujan di wilayah Monsunal seperti Sumatera bagian tengah hingga selatan, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi Selatan bagian barat, Jawa bagian tengah dan timur hingga ke pulau Bali, dan Nusa Tenggara. Namun demikian, selama periode 2003-2012, kualitas PCH pada musim kemarau 2010 adalah yang paling buruk. Hal ini disebabkan karena adanya fenomena La Nina Kuat yang berpengaruh pada peningkatan jumlah curah hujan pada saat musim kemarau di Indonesia.
DURASI DAN KEKUATAN KEKERINGAN MENGGUNAKAN INDEKS HUJAN TERSTANDARISASI DI PULAU BALI Robi Muharsyah; Dian Nur Ratri
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 16, No 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v16i2.272

Abstract

Analisis kekeringan di pulau Bali pada studi ini dilakukan menggunakan Indeks Hujan Terstandarisasi (SPI). Penelitian dilakukan pada data curah hujan bulanan di 29 pos hujan dengan periode data 30 tahun (1984-2013). Nilai SPI pada skala waktu 3 bulan (SPI3) digunakan untuk memantau kekeringan dengan cara menganalisis faktor-faktor ; kategori Sangat Kering, puncak kekeringan, durasi dan kekuatan kekeringan serta frekuensi relatif kekeringan. Faktor-faktor tersebut dihubungkan dengan kondisi El Nino yang merupakan salah satu penyebab kekeringan di P. Bali selama ini.  Dari analisis yang dilakukan, terlihat bahwa SPI3 dapat memantau kekeringan di P. Bali dengan proporsi kekeringan yang tejadi lebih dari 23% selama 30 tahun (1984-2013). Selain itu, diketahui jumlah pos hujan dengan kategori Sangat Kering paling banyak  terjadi pada Mei 1997, puncak kekeringan terbesar terjadi  di pos hujan  Kerambitan, Ngurahrai, Baturiti, Tampaksiring, Sukasada, Tejakula dan  Abang serta kekeringan dengan durasi dan kekuatan paling besar terjadi di pos hujan  Palasari, Pulukan, Buruan, Besakih, Amlapura, Celuk, Kapal dan Ngurahrai. Selanjutnya, periode ulang untuk waktu 5, 10, 20, 50 dan 100 tahun juga dihitung dengan tujuan untuk  merancang durasi dan besarnya kekuatan kekeringan yang dapat terjadi di P. Bali. Hasil perhitungan periode ulang lima tahun menunjukan pos hujan Busungbiu, Pupuan, Buruan, Besakih dan Dawan  mempunyai durasi dan kekuatan kekeringan lebih besar dari pos-pos hujan lainnya. Durasi dan kekuatan kekeringan tersebut meningkat sesuai sebaran Log Normal. Drought analysis in Bali Island in this study has been done using the Standardized Precipitation Index (SPI). This research is conducted on monthly rainfall data in 29 stations for 30 years period of data (1984-2013). SPI for a 3-month rainfall total time scale (SPI3) is used to monitor drought by analyzing some factors such as the Extremely Dry category, drought peak, and drought duration and magnitude as well as drought relative frequency. Those factors are related to the El Nino condition which is one of the causes of drought in Bali Island for all this time. The result shows that SPI3 can monitor drought in Bali Island with drought proportion which occurs more than 23% for 30 years periods (1984-2013). The most Extremely Dry category is obtained in May 1997, the biggest drought peak occurs in Kerambitan, Ngurahrai, Baturiti, Tampaksiring, Sukasada, Tejakula and Abangstations and drought with the greatest duration and magnitude occurs in stations: Palasari, Pulukan, Buruan, Besakih, Amlapura, Celuk, Kapal dan Ngurahrai. Then the return period for 5, 10, 20, 50 and 100 years are counted to design the drought duration and magnitude which may occur in Bali Island. The result of 5 years returns period shows that Busungbiu, Pupuan, Buruan, Besakih dan Dawanstations have greater drought duration and magnitude than other stations. That drought duration and magnitude increase with Log-Normal distribution.
PENERAPAN MODEL WRF UNTUK PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI INDONESIA Robi Muharsyah
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 17, No 3 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v17i3.329

Abstract

Selama ini model WRF telah digunakan di BMKG untuk prediksi hujan harian dalam skala jangka pendek (1-7 hari kedepan). Penggunaan data CFSv2 sebagai boundary condition atau inputan memungkinkan WRF untuk menghasilkan prediksi hujan harian dalam skala jangka panjang (1-6 bulan ke depan). Pada penelitian ini dipilih inisial data CFSv2 selama enam bulan berturut-turut dari Mei hingga Oktober 2014 untuk menghasilkan prediksi hujan 3 bulanan: JJA, JAS, ASO, SON, OND dan NDJ. Selanjutnya diperoleh prediksi hujan 24 dasarian (Jun I 2014 s.d Jan III 2015). Keluaran WRF diatur pada resolusi ~20 Km. Berdasarkan hal tersebut sebanyak 300 dari 342 ZOM dapat dibuat prediksi awal musim hujan 2014/15. Hasil verifikasi keluaran WRF terhadap data observasi menunjukan 148 ZOM (49.33%) SESUAI, 74 ZOM (24.67%) MAJU dan 78 ZOM (26%) MUNDUR. Persentase keluaran WRF untuk kategori SESUAI masih lebih rendah dari prediksi AMH 14/15 yang dibuat oleh BMKG yaitu sebesar 54%.
KAJIAN VERIFIKASI PRODUK PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN (2003-2012) Robi Muharsyah
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 18 No. 1 (2017)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v18i1.265

Abstract

Kajian ini bertujuan untuk mengukur kualitas produk prakiraan curah hujan (PCH) bulanan dengan cara melakukan verifikasi PCH selama 10 tahun pada periode 2003-2012. Berdasarkan bentuk prakiraan yang dipublikasikan maka metode verifikasi yang sesuai adalah verifikasi prakiraan berkategori. Ukuran verifikasi yang digunakan yaitu Ketepatan, Keunggulan dan Keandalan.  Ketepatan diukur dengan nilai Proportion of Correct (PC), Keunggulan dengan nilai Heidke Skill Score (HSS) dan Keandalan dengan nilai Frequency Bias Index (FBI).  Hasilnya secara temporal dan spasial, PCH pada periode JJA (musim kemarau) lebih baik dari pada PCH pada periode DJF (musim hujan). Nilai rata-rata PC, HSS dan FBI pada musim kemarau berada pada kriteria: ketepatan tinggi, unggul dan handal. Peningkatan kualitas PCH pada musim kemarau umumnya terdapat pada pos hujan di wilayah Monsunal seperti Sumatera bagian tengah hingga selatan, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi Selatan bagian barat, Jawa bagian tengah dan timur hingga ke pulau Bali, dan Nusa Tenggara. Namun demikian, selama periode 2003-2012, kualitas PCH pada musim kemarau 2010 adalah yang paling buruk. Hal ini disebabkan karena adanya fenomena La Nina Kuat yang berpengaruh pada peningkatan jumlah curah hujan pada saat musim kemarau di Indonesia.
DURASI DAN KEKUATAN KEKERINGAN MENGGUNAKAN INDEKS HUJAN TERSTANDARISASI DI PULAU BALI Robi Muharsyah; Dian Nur Ratri
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 16 No. 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v16i2.272

Abstract

Analisis kekeringan di pulau Bali pada studi ini dilakukan menggunakan Indeks Hujan Terstandarisasi (SPI). Penelitian dilakukan pada data curah hujan bulanan di 29 pos hujan dengan periode data 30 tahun (1984-2013). Nilai SPI pada skala waktu 3 bulan (SPI3) digunakan untuk memantau kekeringan dengan cara menganalisis faktor-faktor ; kategori Sangat Kering, puncak kekeringan, durasi dan kekuatan kekeringan serta frekuensi relatif kekeringan. Faktor-faktor tersebut dihubungkan dengan kondisi El Nino yang merupakan salah satu penyebab kekeringan di P. Bali selama ini.  Dari analisis yang dilakukan, terlihat bahwa SPI3 dapat memantau kekeringan di P. Bali dengan proporsi kekeringan yang tejadi lebih dari 23% selama 30 tahun (1984-2013). Selain itu, diketahui jumlah pos hujan dengan kategori Sangat Kering paling banyak  terjadi pada Mei 1997, puncak kekeringan terbesar terjadi  di pos hujan  Kerambitan, Ngurahrai, Baturiti, Tampaksiring, Sukasada, Tejakula dan  Abang serta kekeringan dengan durasi dan kekuatan paling besar terjadi di pos hujan  Palasari, Pulukan, Buruan, Besakih, Amlapura, Celuk, Kapal dan Ngurahrai. Selanjutnya, periode ulang untuk waktu 5, 10, 20, 50 dan 100 tahun juga dihitung dengan tujuan untuk  merancang durasi dan besarnya kekuatan kekeringan yang dapat terjadi di P. Bali. Hasil perhitungan periode ulang lima tahun menunjukan pos hujan Busungbiu, Pupuan, Buruan, Besakih dan Dawan  mempunyai durasi dan kekuatan kekeringan lebih besar dari pos-pos hujan lainnya. Durasi dan kekuatan kekeringan tersebut meningkat sesuai sebaran Log Normal. Drought analysis in Bali Island in this study has been done using the Standardized Precipitation Index (SPI). This research is conducted on monthly rainfall data in 29 stations for 30 years period of data (1984-2013). SPI for a 3-month rainfall total time scale (SPI3) is used to monitor drought by analyzing some factors such as the Extremely Dry category, drought peak, and drought duration and magnitude as well as drought relative frequency. Those factors are related to the El Nino condition which is one of the causes of drought in Bali Island for all this time. The result shows that SPI3 can monitor drought in Bali Island with drought proportion which occurs more than 23% for 30 years periods (1984-2013). The most Extremely Dry category is obtained in May 1997, the biggest drought peak occurs in Kerambitan, Ngurahrai, Baturiti, Tampaksiring, Sukasada, Tejakula and Abangstations and drought with the greatest duration and magnitude occurs in stations: Palasari, Pulukan, Buruan, Besakih, Amlapura, Celuk, Kapal dan Ngurahrai. Then the return period for 5, 10, 20, 50 and 100 years are counted to design the drought duration and magnitude which may occur in Bali Island. The result of 5 years returns period shows that Busungbiu, Pupuan, Buruan, Besakih dan Dawanstations have greater drought duration and magnitude than other stations. That drought duration and magnitude increase with Log-Normal distribution.
PENERAPAN MODEL WRF UNTUK PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI INDONESIA Robi Muharsyah
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 17 No. 3 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v17i3.329

Abstract

Selama ini model WRF telah digunakan di BMKG untuk prediksi hujan harian dalam skala jangka pendek (1-7 hari kedepan). Penggunaan data CFSv2 sebagai boundary condition atau inputan memungkinkan WRF untuk menghasilkan prediksi hujan harian dalam skala jangka panjang (1-6 bulan ke depan). Pada penelitian ini dipilih inisial data CFSv2 selama enam bulan berturut-turut dari Mei hingga Oktober 2014 untuk menghasilkan prediksi hujan 3 bulanan: JJA, JAS, ASO, SON, OND dan NDJ. Selanjutnya diperoleh prediksi hujan 24 dasarian (Jun I 2014 s.d Jan III 2015). Keluaran WRF diatur pada resolusi ~20 Km. Berdasarkan hal tersebut sebanyak 300 dari 342 ZOM dapat dibuat prediksi awal musim hujan 2014/15. Hasil verifikasi keluaran WRF terhadap data observasi menunjukan 148 ZOM (49.33%) SESUAI, 74 ZOM (24.67%) MAJU dan 78 ZOM (26%) MUNDUR. Persentase keluaran WRF untuk kategori SESUAI masih lebih rendah dari prediksi AMH 14/15 yang dibuat oleh BMKG yaitu sebesar 54%.