Ika Dwi Mayangsari
Faculty of Medicine Universitas Indonesia/Dr Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Financing hearing aids for patients with congenital deafness in Indonesia Indra Zachreini; Jenny Bashiruddin; Semiramis Zizlavsky; Susyana Tamin; Harim Priyono; Ika Dwi Mayangsari; Widayat Alviandi; Natasha Supartono; Damayanti Soetjipto; Respati Ranakusuma; Heditya Damayanti; Dina Alia; Tengku Siti Hajar Haryuna; Juliandi Harahap; Nirza Warto; Hidayatul Fitria
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 52, No 1 (2022): VOLUME 52, NO. 1 JANUARY - JUNE 2022
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v52i1.550

Abstract

ABSTRACTBackground: The appropriate management of patients with congenital deafness is installing hearing aids, either external hearing aids or implanted in the ear (cochlear implant), aiming to reduce the medical and social burden, besides improving the quality of life of the sufferers. Objective: To ascertain the cost of hearing aids in patients with congenital deafness, in the form of external hearing aids or cochlear implants. Method: A descriptive study with cross-sectional design using questionnaires through interviews. The sample size was 535 mothers whose children had congenital deafness at 24 hospitals with facilities for establishing a diagnosis of congenital deafness in 17 provinces in Indonesia. Result: Most respondents were aged 30-39 years (55%), occupations were housewives (71.8%), and education level was high school (52.5%). The type of hearing aid used mostly was external (92.7%), with 45.9% paid by personal expense. The surgically planted hearing aids in 22 children was mostly cochlear implants (95.5%), which were financed by the Indonesian Healthcare and Social Security Agency (BPJS) plus personal costs (50%). Discussion: This study found that the most common type of hearing aid used by children with hearing impairments was external hearing aids (92.7%) through independent financing (45.9%). Only 7.3% of patients chose surgery in hearing habilitation, and 95.5% were cochlear implants. The small percentage of surgery were due to the high-priced of cochlear implants, and the government did not cover all financial expenses. Conclusion: Most external hearing aids were paid independently-out-of-pocket, while cochlear implant surgeries were funded by BPJS, plus extra costs independently. ABSTRAKLatar belakang: Penatalaksanaan terbaik untuk penderita tuli kongenital adalah pemasangan alat bantu dengar (ABD), baik berupa ABD eksternal maupun ABD yang ditanam dalam telinga (implan koklea), dengan tujuan untuk mengurangi beban medis dan sosial, serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Tujuan: Untuk mengetahui seberapa besar biaya pemasangan ABD pada penderita tuli kongenital, baik berupa ABD eksternal maupun implan koklea. Metode: Penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional study menggunakan kuesioner melalui wawancara. Besar sampel 535 ibu yang anaknya menderita tuli kongenital pada 24 rumah sakit yang memiliki fasilitas penegakkan diagnosis tuli kongenital di 17 provinsi di Indonesia. Hasil: Sebagian besar responden berusia 30-39 tahun (55%), pekerjaan terbanyak adalah ibu rumah tangga (71.8%), dan tingkat pendidikan SMA (52.5%). Jenis ABD yang terbanyak adalah ABD eksternal (92,7%) dengan pembiayaan secara mandiri 45,9%. Pemasangan ABD dengan tindakan operasi dilakukan pada 22 anak, yang terbanyak adalah implan koklea (95,5%) yang dibiayai oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditambah dengan biaya sendiri (50%). Diskusi: Penelitian ini mendapati bahwa ABD yang terbanyak digunakan oleh anak dengan gangguan pendengaran adalah ABD eksternal (92,7%) dengan biaya mandiri (45,9%). Habilitasi pendengaran dengan tindakan operasi hanya dilakukan pada 7,3% pasien, berupa implantasi koklea 95,5%. Kecilnya persentase habilitasi bedah dikarenakan tingginya harga implant koklea, dan bantuan dari BPJS tidak meliputi keseluruhan biaya. Kesimpulan: Sebagian besar pembiayaan alat bantu dengar eksternal secara mandiri, sedangkan operasi implan koklea menggunakan biaya BPJS ditambah biaya sendiri.
Accuracy of Centor scoring system in diagnosing group a-beta haemolytic streptococcal (GABHS) infection Niken Lestari Poerbonegoro; Joanna Erin Hanrahan; Indira Amelia; Viharsyah Aulia Akbar; Raditya Putra Djohan; Ika Dwi Mayangsari; Dini Widiarni Widodo
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 52, No 1 (2022): VOLUME 52, NO. 1 JANUARY - JUNE 2022
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v52i1.430

Abstract

ABSTRACTBackground: At present, the standard examination for diagnosing streptococcal upper respiratory tract infection is throat culture. As throat culture is time-consuming and relatively expensive, efforts are made to develop certain criteria that will still lead to proper diagnosis and rational use of antibiotics, that is Centor score. Even so, the accuracy of Centor score is still debatable. Purpose: To provide evidence on the accuracy of Centor scoring system compared to throat culture in diagnosing GABHS upper respiratory tract infection. Case Report: A 25-years old male came to primary health care with primary complain of sore throat. Centor score was used to diagnose GABHS infection and as a guide to give antibiotics. Clinical question: “In patients with sore throat, how accurate is the Centor score compared to throat culture in diagnosing Group A Beta-Haemolytic Streptococcal (GABHS) Infection?” Methods: Literature searching was conducted through 4 databases. Critical appraisal based on the Centre of Evidence-Based Medicine (CEBM)-University of Oxford University, Diagnostic Critical Appraisal Sheet and Systematic Review Sheet. Results: All the selected studies were considered valid. They revealed a high specificity, low sensitivity, high negative predictive value (NPV), and low positive predictive value (PPV) in the importance aspect assessment. The Centor scoring system was applicable to our patient. It was available, affordable, and accurate in adult patients, yet less accurate in children. Conclusion: In conclusion,Patient with sore throat and suspicion of GABHS infection could be diagnosed with Centor scoring system as the first line diagnosis in primary care and as a guide to whether to give giving antibiotics or not.ABSTRAKLatar belakang: Saat ini, kultur tenggorok merupakan pemeriksaan baku emas yang digunakan untukmendiagnosis infeksi saluran napas atas yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus. Namun, kulturtenggorok merupakan pemeriksaan yang mahal dan hasilnya memakan waktu yang lama, sehinggaberbagai kriteria dikeluarkan untuk dapat dipakai sebagai alat diagnostik dan sebagai panduanpenggunaan antibiotik yang rasional pada kasus infeksi saluran napas atas. Salah satunya yaitu Centorscore, tetapi akurasinya masih kontroversial. Tujuan: Menyediakan laporan kasus berbasis buktiterhadap akurasi dari Centor score sebagai alat diagnostik infeksi saluran napas atas yang disebabkanoleh bakteri Streptococcus dibandingkan dengan pemeriksaan kultur tenggorok. Laporan kasus: Seorang laki-laki berusia 25 tahun datang ke fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan keluhan utama nyeri tenggorokan. Centor score digunakan untuk mendiagnosis pasien ini dan sebagai panduan pemberian antibiotik. Pertanyaan klinis: Pada pasien dengan radang tenggorok,seberapa akurat Centor score dibandingkan dengan kultur tenggorok dalam diagnosis GABHS? Metode: Pencarian literatur dilakukan melalui 4 database dan telaah kritis literatur menggunakan tilikan dari CEBM, University of Oxford University. Hasil: Seluruh studi yang ditelaah valid. Seluruh studi menunjukkan spesifisitas dan negative predictive value (NPV) yang tinggi, serta sensitivitas dan positive predictive value (PPV) yang rendah. Centor score dapat diaplikasikan untuk pasien pada skenario klinis karena bersifat mudah digunakan, biaya yang dikeluarkan terjangkau, dan akurat khususnya pada pasien dewasa. Kesimpulan: Pasien dengan nyeri tenggorok yang dicurigai memiliki infeksi saluran napas atas yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus dapat ditegakkan diagnosisnya melalui penilaian Centor score di fasilitas layanan tingkat pertama, serta dapat menjadi panduan dalam pemberian antibiotik.