Dyah Indrasworo
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan, Bedah Kepala Dan Leher, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

HUBUNGAN ANTARA IL-6 ADENOID DAN TONSILA PALATINA DENGAN IL-6 SERUM PADA ADENOTONSILITIS KRONIS HIPERTROFI Novita, Khuznita Dasa; Handoko, Edi; Indrasworo, Dyah
Majalah Kesehatan FKUB Vol 5, No 2 (2018): Majalah Kesehatan Fakultas Kedokteran
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (377.365 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.005.02.4

Abstract

 Adanya inflamasi lokal persisten pada Adenotonsilitis Kronis Hipertrofi (ATKH) menyebabkan perubahan histomorfologi berupa hiperplasi dan hipertrofi limfoid yang berhubungan dengan proliferasi sel T dan sel B. IL-6 berperan pada inflamasi kronis melalui rekrutmen monosit ke daerah inflamasi dan mengubah keseimbangan Th1/Th2 menuju dominasi Th2. Kadar IL-6 jaringan dan serum meningkat pada ATKH, namun hubungan kadar IL-6 pada adenoid dan tonsila palatina dengan kadar IL-6 serum belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar IL-6 adenoid dan tonsila palatine dengan kadar IL-6 serum. Penelitian ini melibatkan 8 anak dengan kasus ATKH (rata-rata umur: 9,63 ± 3,23  tahun dan 8 anak kontrol sehat (rata-rata umur: 10,6 ± 3.02 tahun). Kadar IL-6 diperiksa dari serum, adenoid, dan tonsila palatina dengan metode ELISA. Data penelitian dianalisis dengan independent t-test, uji korelasi, dan regresi linear. Hasil penelitian ini kadar IL-6 serum kelompok kasus lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kontrol sehat (p < 0,05). Terdapat hubungan positif yang bermakna antara kadar IL-6 adenoid dengan serum (r = 0,881, p = 0,004). Sedangkan antara kadar IL-6 tonsila palatina dengan serum menunjukkan adanya hubungan yang tidak bermakna (r = 0,556, p = 0,197). Dapat disimpulkan bahwa kadar IL-6 pada adenoid berhubungan positip dengan kadar IL-6 serum. 
Hubungan ototoksisitas dan kemoterapi neoadjuvan pada karsinoma nasofaring berdasarkan ASHA, CTCAE, dan DPOAE Putri, Meyrna Heryaning; Rahaju, Pudji; Indrasworo, Dyah
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 2 (2017): Volume 47, No. 2 July - December 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (380.65 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i2.219

Abstract

Latar belakang: Kemoterapi neoadjuvan adalah induksi kemoterapi sebelum radioterapi dengan regimen cisplatin dan 5-Fluorouracil. Kemoterapi cisplatin bersifat ototoksik pada pendengaran sensorineural bilateral progresif dan bersifat irreversible. Kriteria dari American Speech-Language Hearing Association (ASHA) dan Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) merupakan kriteria untuk mengidentifikasi ototoksisitas dengan menggunakan audiometri, selain pemeriksaan Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE). Tujuan: Mengidentifikasi hubungan ototoksisitas dengan kemoterapi neoadjuvan pada penderita karsinoma nasofaring (KNF) WHO tipe III menggunakan ASHA, CTCAE, serta DPOAE. Metode: Studi ini adalah penelitian observasional dengan desain cohort. Kriteria inklusi penelitian yaitu penderita baru KNF WHO tipe III, yang mendapatkan kemoterapi regimen standar dan berusia <60 tahun. Kriteria pemeriksaan DPOAE adalah penderita dengan ambang dengar ≤40 dB. Percontoh dilakukan pemeriksaan timpanometri, audiometri, dan DPOAE. Hasil: Terdapat 9 sampel percontoh penelitian. Uji repeated-ANOVA menunjukkan tidak ditemukan perbedaan bermakna pada tiga hasil pengukuran audiometri antara pascakemoterapi pertama, kedua, dan ketiga (p>0,05). Deteksi awal ototoksisitas menggunakan kriteria ASHA menunjukkan sensitivitas sebesar 67% dan dan CTCAE 44%, dibandingkan baku emas menggunakan DPOAE. Kesimpulan: Ototoksisitas cisplatin ditemukan sejak kemoterapi pertama dengan menggunakan pemeriksaan DPOAE walaupun tidak bermakna secara statistik. Kemampuan DPOAE untuk mendeteksi awal ototoksisitas lebih baik dibandingkan kriteria ASHA dan CTCAE yang menggunakan audiometri nada murni.Kata kunci: Karsinoma nasofaring, ototoksisitas sisplatin, DPOAE, CTCAE, ASHA ABSTRACT Introduction: Neoadjuvant chemotherapy is induction chemotherapy before radiotherapy with cisplatin and 5-Fluorouracyl regiment. Chemotherapy cisplatin is ototoxic, leads to frequently progresive and irreversible bilateral sensorineural hearing loss. American Speech-Language Hearing Association (ASHA) and Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) are the criteria to determine ototoxicity with audiometry, beside Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE). Purpose: To identify the relationship between ototoxicity with neoadjuvant chemotherapy in patients NPC WHO type III using ASHA, CTCAE, and DPOAE. Method: This observational study approach with cohort design. Inclusion criteria: new patients NPC WHO type III who consented to undergo standard regiment chemotherapy, and age <60 year-old. For DPOAE examination: hearing level ≤40 dB. Exclucion criteria: NPC WHO type III patients who underwent chemotherapy with unconventional standard regiment. Examinations for hearing function conducted with tympanometry, pure tone audiometry, and Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE). Result: There were 9 sample in this study. The result of Repeated-ANOVA test showed no significant difference in three audiometry measurements among three series of chemotherapies. Early detection of ototoxicity using ASHA and CTCAE criterias showed sensitivity of 67% and 44% (compared with DPOAE as a gold standard). Conclusion: Cisplatin ototoxicity had occured since the first chemotherapy and detected with DPOAE, but statistically was not significantly related. Early detection of cisplatin ototoxicity with DPOAE was much better than with criteria American Speech-Language Hearing Association (ASHA) and Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE), which used pure tone audiometry.Keywords: Nasopharyngeal carcinoma, cisplatin ototoxicity, DPOAE, CTCAE, ASHA
Hubungan Pemberian Kanamisin dengan Kejadian Ototoksik pada Penderita Tuberkulosis Multi Drug Resistance Wahyudin, William; Indrasworo, Dyah; Wahyudiono, Ahmad Dian
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 48, No 2 (2018): Volume 48, No. 2 July - December 2018
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.043 KB) | DOI: 10.32637/orli.v48i2.266

Abstract

Latar Belakang: Ototoksik merupakan salah satu efek samping kanamisin yang sulit dihindari. Ototoksisitas kanamisin ditandai dengan gangguan pendengaran sensorineural yang progresif dan sering irreversible dimulai dari frekuensi lebih dari 8000 Hz yang akhirnya akan mengenai frekuensi yang lebih rendah jika terapi dilanjutkan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kanamisin pada pasien tuberkulosis multi drug resistance (TB MDR) terhadap munculnya ototoksik dengan pemeriksaan audiometri. Metode: Penelitian observasional longitudinal dengan pendekatan cohort ini mengevaluasi fungsi pendengaran sebelum dan setelah pemberian kanamisin pada pasien TB MDR. Pemeriksaan fungsi pendengaran menggunakan audiometri nada murni. Kanamisin adalah aminoglikosida pilihan pada pasien dengan TB MDR yang akan diberikan secara injeksi intramuskular. Hasil: Uji Friedman’s menunjukkan ditemukan perubahan yang bermakna pada hasil pengukuran audiometri pada frekuensi tinggi antara pasca injeksi kanamisin bulan pertama, kedua, hingga kelima dengan hasil pengukuran sebelum terapi (p>0,05). Diagnosis ototoksisitas menggunakan kriteria American-Speech-Language-Hearing-Association (ASHA) dapat dideteksi sejak bulan pertama pemberian kanamisin (25%). Kesimpulan: Ada hubungan antara kejadian ototoksik dengan pemberian kanamisin pada penderita TB MDR. Telah terjadi ototoksisitas sejak injeksi kanamisin bulan pertama yang dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan audiometri, dan bermakna secara statistik. Introduction: Ototoxicity is one of common side effects of kanamycin which is hard to avoid. Ototoxicity can be detected by a progressive and irreversible high frequency sensorineural hearing loss that can further affect low frequency if the therapy is continued. Kanamycin is the drug-of-choice  for TB MDR through intramuscular (IM)  injection. Purpose: This study aims to determine whether kanamycin can cause ototoxicity in patient with MDR TB  by using audiometry examination. Method: An observational longitudinal study with cohort design, evaluating patient’s hearing threshold before and after kanamycin IM injection once per month using pure tone audiometry. Result: A significant alteration in high pitch before and after injection of kanamycin was revealed with Friedman’s test (p<0.05) for hearing threshold using pure tone audiometry. Furthermore, using American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) the diagnosis of ototoxicity can be established since the first month of kanamycin injection in 25% of the subjects, and also 25% in the second month of injection. Conclusion: There is a significant connection between ototoxicity with kanamycin injection in MDR TB patients, statistically proven.  The ototoxicity can happen since the first month of injection, which can be detected using pure tone audiometry.   
Tuli sensorineural pada penderita leukemia mielositik kronik Dyah Indrasworo; Hengky Wijaya Harto
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 45, No 2 (2015): Volume 45, No. 2 July - December 2015
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (239.335 KB) | DOI: 10.32637/orli.v45i2.120

Abstract

Latar belakang: Leukemia adalah salah satu penyakit yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran pada penderita leukemia adalah kasus yang jarang terjadi, terutamabila gangguan pendengaran tersebut merupakan tanda awal dari proses penyakit leukemia. Tujuan:Pelaporan kasus jarang yaitu tuli sensorineural akibat leukemia mielositik kronik (LMK). Kasus:Dilaporkan laki-laki usia 26 tahun dengan tuli sensorineural bilateral yang diduga berhubungan denganLMK. Hiperviskositas dapat merupakan penyebab terjadinya gangguan pada fungsi pendengaran telingadalam. Hiperviskositas dan leukostasis pada arteri labirintin dan kapiler koklea merupakan patogenesisterjadinya tuli sensorineural pada LMK. Penatalaksanaan: Diagnosis tulisensorineural bilateralditegakkan dengan audiometri dan timpanometri sesudah pasien menjalani terapi leukapheresis. Penurunanpendengaran yang terjadi secara perlahan-lahan merupakan gejala yang terjadi akibat LMK pada kasusini. Kesimpulan: Terjadinya tuli sensorineural harus diwaspadai pada penderita LMK sebagai tandaawal dari penyakit yang mendasari. Hilangnya fungsi pendengaran bersifat permanen, sehingga dapatdisarankan pemasangan alat bantu dengar pada kasus tuli sensorineural  akibat LMK. Kata kunci : leukemia mielositik kronik, tuli sensorineural, hiperviskositas ABSTRACTBackground: Leukemia is one of the etiologic causes of hearing loss. Hearing loss in leukemia patients is rare, especially when the hearing loss presents as early sign of leukemia. Purpose: Reportinga rare case of sensorineural hearing loss in a chronic myelocytic leukemia (CML) patient. Case Report:We present a case of a 26-year-old man suffering from bilateral sensorineural hearing loss allegedlyassociated with CML. Hiperviscosity might be the cause of hearing dysfunction of the inner ear. Thepathogenesis of sensorineural hearing loss in CML patients involves hyperviscosity and leucostasis oflabyrinthine arteries and capillaries of the cochlea. Management: Bilateral sensorineural deafnessdiagnosis was confirmed by audiometry and tympanometry after patient underwent leucapheresis therapy.Gradual hearing loss was a symptom that occurred as a result of CML in this case. Conclusion: The occurrence of sensorineural hearing loss in patients with CML should be considered as an early sign of an underlying disease. Since the hearing loss is permanent, hearing aids are required in cases ofsensorineural hearing loss as a result of CML. Keywords : chronic myelocytic leukemia, sensorineural hearing loss, hyperviscosity