Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Pembatalan Qanun Aceh Melalui Executive Review Dan Judicial Review Asmaul Husna; Eddy Purnama; Mahdi Syahbandar
Media Syari'ah Vol 21, No 2 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i2.3411

Abstract

Qanun merupakan pengganti dari istilah peraturan daerah yang dikhususkan untuk Provinsi Aceh sebagai salah satu bentuk otonomi khusus. Di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Qanun merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang tata urutannya di bawah Undang-Undang. Oleh karena qanun merupakan peraturan perundang-undangan sejenis perda, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk membatalkannya jika qanun tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada pertengahan tahun 2016, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia telah membatalkan 3.143 Perda karena dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi. Selain itu, peraturan tersebut juga dianggap menghambat proses perizinan dan investasi serta menghambat kemudahan berusaha. Dari jumlah tersebut terdapat 65 qanun Aceh yang ikut dibatalkan, yang terdiri dari 6 Qanun Provinsi dan 59 Qanun Kabupaten/Kota. Mengenai kewenangan siapa yang sebenarnya berwenang menguji Perda/Qanun tidak ada sebuah kesepakatan pendapat diantara para pakar. Ni’matul Huda dan Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian terhadap peraturan daerah hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 . Berbeda dengan pandangan mereka, Sri Soemantri menyatakan bahwa ada beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. Hak uji dilakukan bukan hanya oleh Mahkamah Agung, tetapi juga oleh Pemerintah, ada yang oleh Presiden dan ada juga oleh Menteri Dalam Negeri. Oleh karena itu, Mendagri harus lebih berhati-hati dalam mengeluarkan keputusan pembatalan qanun mengingat sejak berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tidak ada lagi upaya mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung dan pemerintah harus lebih cermat dalam melihat kekhususan dan keistimewaan masing-masing daerah terutama daerah Aceh mengingat daerah Aceh adalah daerah yang berlandaskan syari’at Islam.
Kewajiban Pemerintah Aceh dalam Penyediaan Fasilitas Pemberian ASI di Ruang Publik: Pengalaman Kota Banda Aceh Devi Faradila; Eddy Purnama; Mahdi Syahbandar
Media Syari'ah Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i1.4570

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan kewajiban penyediaan fasilitas khusus terhadap pemberian ASI Eksklusif menurut PP No. 33 Tahun 2012 dan implikasi hukum dari tidak dilaksanakannya kewajiban penyediaan fasilitas pemberian ASI Eksklusif. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kewajiban penyediaan fasilitas khusus terhadap pemberian ASI Eksklusif di Kota Banda Aceh telah diupayakan merespon ketentuan ketentuan PP Nomor 33 Tahun 2012 melalui ketentuan Pergub Nomor 49 Tahun 2016 sebagai bentuk pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2006 dan beberapa qanun lainnya yang terkait perempuan dan anak. Upaya yang dilakukan Pemerintah Aceh dalam penyediaan fasilitas khusus terhadap pemberian ASI Eksklusif menurut PP Nomor 33 Tahun 2012 belum berjalan dengan baik dan pihak pemerintah belum melakukan upaya berupa komunikasi dengan SKPD diwilayahnya guna pengambilan kebijakan penyediaan fasilitas pemberian ASI Eksklusif diwilayah kerjanya serta pengawasan kepada perusahaan swasta dalam penyediaan ruang laktasi bagi ibu menyusui. Implikasi hukum dari tidak dilaksanakannya kewajiban penyediaan fasilitas pemberian ASI Ekslusif tidak dapat dilaksanakan mengingat belum adanya ketentuan pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam penerapan sanksi hukum bagi lembaga atau instansi maupun badan usaha swasta yang terkena ruang lingkup PP Nomor 33 Tahun 2012 walaupun terhadap hal tersebut telah ada ketentuan sanksinya yaitu dapat dikenakan sanksi pidana akibat menghalangi ibu dalam memberikan ASI Eksklusif. Selain itu juga membawa implikasi terhadap pelaksanaan program pemberian ASI Ekslusif terhadap instansi maupun badan usaha yang mempekerjakan wanita dalam penyelenggaraan perusahaannya. Abstract: This study discusses to explain the commitment to provide exclusive breastfeeding according to PP No. 33 of 2012 and the legal implications of not implementing the need to provide exclusive breastfeeding facilities. This research uses empirical juridical methods. Exclusive breastfeeding in the city of Banda Aceh has agreed to grant PP No. 33/2012 through Pergub regulation No. 49/2016, as a form of implementation of Law No. 11/2006 and a number of other qanuns related to women and children. Efforts by the Government of Aceh in providing special facilities for the provision Exclusive ASI according to PP No. 33/2012 has not been going well and the government has not made efforts to provide communication with the SKPD in the region. provide space for nursing mothers. The legal implications of not implementing the requirements for the provision of breastfeeding sanctions are punishable by the approval of the mother in providing exclusive breastfeeding. It also has implications for the implementation of exclusive breastfeeding programs for agencies and business entities that employ women in the organization of their companies.