Asuransi atau proteksi asuransi muncul dari kebutuhan dasar manusia untuk mengelola risiko yang mungkin terjadi, baik secara sadar maupun tidak sadar, dalam kehidupannya. Untuk mengatasi risiko tersebut, berbagai produk asuransi telah dikembangkan, khususnya produk asuransi jiwa unit link yang menggabungkan fitur proteksi dan investasi. PT Kresna Life merupakan salah satu perusahaan yang menawarkan produk asuransi unit link ini, yang dikenal dengan nama *Asuransi Jiwa Kresna Link Investor (K-LITA)*. Namun, seiring berjalannya waktu, PT Kresna Life mengalami kendala likuiditas yang menyebabkan perusahaan tersebut gagal memenuhi kewajibannya. Akibatnya, perusahaan tersebut dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2018, sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 647 K/Pdt.Sus-Pailit/2021 yang dikeluarkan pada tanggal 8 Juni 2021. Artikel ini membahas mengenai gugatan pailit yang diajukan terhadap PT Kresna Life dalam putusan Mahkamah Agung tersebut, serta akibat hukum yang timbul, khususnya bagi pemegang polis. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian hukum normatif, yaitu dengan menelaah berbagai literatur hukum seperti peraturan perundang-undangan, jurnal, buku, putusan pengadilan, dokumen, dan karya akademis lain yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasca pailit PT Kresna Life, perusahaan kehilangan kendali atas aset pemegang polisnya. Pengelolaan aset tersebut dialihkan kepada pengurus pailit, sehingga pemegang polis semakin sulit memperoleh manfaat asuransi. Proses likuidasi oleh pengurus pailit biasanya memakan waktu yang cukup lama. Setelah likuidasi, biaya-biaya tambahan seperti honorarium pengurus dan pajak dipotong dari hasil likuidasi, sehingga mengakibatkan berkurangnya jumlah yang diterima pemegang polis sebesar 4,444%. Kepailitan PT Kresna Life berdampak signifikan terhadap pemegang polis, dengan proses likuidasi yang panjang dan berkurangnya jumlah klaim asuransi yang dibayarkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, debitur dapat menyampaikan Rencana Pemulihan Keuangan (RPK) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam upaya memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis.