Riyadh Firdaus
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Hubungan Waktu Intubasi terhadap Tingkat Mortalitas Pasien dengan COVID-19 Berat: Sebuah Tinjauan Sistematis Riyadh Firdaus; Sandy Theresia; Ryan Austin; Rani Tiara
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 39 No 2 (2021): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (566.547 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v39i2.223

Abstract

Pendahuluan. Severe acute respiratory syndrome coronaviruses 2 (SARS-CoV-2) yang dikenal dengan coronavirus disease 2019 (COVID-19) mulai menginfeksi manusia pada akhir tahun 2019. Orang yang terinfeksi dapat menunjukkan keadaan asimtomatik hingga keadaan mengancam nyawa. Keadaan acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan kondisi berat pada infeksi COVID-19 yang membutuhkan penanganan lebih lanjut, di antaranya adalah pertimbangan untuk dilakukan intubasi. Penelitian ini bertujuan membandingkan hubungan waktu dilakukannya intubasi terhadap tingkat mortalitas dari pasien COVID-19 yang terintubasi. Metode. Penelitian tinjauan sistematik ini dibuat berdasarkan panduan PRISMA-P. Data dikumpulkan dari basis data Pubmed, Cochrane Library, dan ProQuest dengan kriteria inklusi berupa penelitian randomized control trial dan studi kohort yang meneliti tindakan intubasi pada pasien dengan COVID-19. Dari sebanyak sebanyak 8.297, didapatkan 3 artikel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada tinjauan literatur. Hasil. Dari ketiga literatur yang kami lakukan analisis, didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kapan dilakukannya intubasi dengan angka kejadian mortalitas pasien COVID-19. Baik pada intubasi yang dilakukan lebih awal ataupun pada intubasi yang lebih lambat. Karakteristik pasien usia tua dan memiliki komorbiditas dapat memperburuk keadaan yang membuat angka mortalitas pada kelompok tersebut lebih tinggi. Kesimpulan. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, intubasi lebih awal (<8 jam) tidak menurunkan angka mortalitas pada pasien COVID-19, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait faktor prediktif lainnya.
Perbandingan Tanggapan Kardiovaskular dan Kemudahan Intubasi dengan Menggunakan Laringoskop McCoy dan Macintosh pada Ras Melayu di Indonesia Riyadh Firdaus; Nur’aini Alamanda; Aries Perdana
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 39 No 3 (2021): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (387.338 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v39i3.235

Abstract

Latar Belakang : Intubasi endotrakeal dan laringoskopi direk merupakan standar baku emas dalam tatalaksana jalan nafas baik pada keadaan gawat darurat ataupun tidak. Peningkatan tanggapan kardiovaskular karena rangsangan simpatis merupakan komplikasi tersering saat intubasi. Tanggapan kardiovaskular ini dapat berbahaya bagi pasien-pasien yang berisiko, terutama yang memiliki masalah gangguan jantung. Metode pemilihan bilah merupakan salah satu teknik non farmakologi yang digunakan untuk mengurangi tanggapan kardiovaskular yang timbul akibat intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tanggapan kardiovaskular dan kemudahan intubasi antara laringoskop McCoy dan Macintosh. Metode : Uji klinis acak tersamar tunggal, dengan 78 pasien yang akan menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu McCoy dan Macintosh. Kriteria inklusi adalah 18-65 tahun dengan status fisik ASA 1 dan ASA 2 tanpa penyulit jalan nafas. Midazolam 0,05mg/kgBB dan fentanyl 2mcg/kgBB diberikan 2 sebagai agen koinduksi. Induksi anestesia menggunakan propofol 2mg/kgBB, dilanjutkan dengan pemberian rocuronium 0,6mg/kgBB setelah dipastikan hilangnya refleks bulu mata. Tanggapan kardiovaskular yang diukur (tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi). Intubasi dikatakan mudah bila dilakukan dalam waktu kuang dari 10 menit dan tidak lebih dari 3 kali percobaan. Hasil : Pada menit pertama pasca intubasi, tekanan darah sistolik, diastolik, dan lau denyut nadi kelompok McCoy lebih tinggi dibandingkan Macintosh, dengan perbedaan tekanan sistolik -2,38 (-9,93-5,16), tekanan diastolik -1,07(-7,313-5,15 95%IK), laju denyut nadi 2,79(-2,69 – 8,28). Pada menit ke-3 pasca intubasi, tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi kelompok McCoy tetap lebih tinggi dibandingkan dengan Macintosh, dengan perbedaan tekanan sistolik -1,23 (-8,51-6,05), tekanan diastolik -0,97(-6,69-4,75), tekanan arteri rerata -0,65(-6,27-4,97), dan laju denyut nadi 0,89(-3,99-5,78). Kesimpulan : Intubasi dengan laringoskop McCoy tidak mampu menekan tanggapan kardiovaskular yang timbul akibat rangsang nyeri dan stimulasi simpatis.
Efek Akupresur (Sea-Band®) terhadap Penurunan Insiden Mual Muntah Pascaoperatif pada Pasien yang Dilakukan Anestesia Umum Inhalasi: Randomized Controlled Trial Amir Sjarifuddin Madjid; Riyadh Firdaus; Muhammad Arief Fadli
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 40 No 1 (2022): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (546.315 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v40i1.258

Abstract

Latar belakang: PONV dapat terjadi pada 20-30% pasien, bahkan pada pasien-pasien yang berisiko tinggi bisa mencapai sekitar 70%. PONV menyebabkan peningkatan morbiditas, menurunnya kepuasan pasien dan meningkatnya biaya yang dikeluarkan pasien. Salah satu cara nonfarmakologi yang dapat dilakukan untuk menurunkan mual muntah pascaoperasi adalah dengan pemakaian akupresur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemakaian akupresur Sea-Band® untuk menurunkan angka kejadian mual muntah pascaoperasi pada pasien yang menjalani anestesia umum inhalasi. Metode: Dilakukan pembiusan umum pada 88 pasien ASA 1-2 yang menjalani pembedahan risiko tinggi PONV. Tujuh pasien dikeluarkan, akupresur 41 sampel dan kontrol 40 sampel. Pada kelompok perlakukan diberikan lakukan pemasangan akupresur Sea-Band® 30-60 menit sebelum dilakukan pembiusan. Seluruh sampel diberikan antiemetik. Dilakukan pencatatan angka kejadian mual muntah selama 0-2 jam pascaoperasi di ruang pulih dan 2-24 jam di ruang rawat inap. Tidak didapatkan terjadinya efek samping pada kedua kelompok. Hasil: Didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok dalam insidens mual dan muntah di ruang pemulihan (0-2 jam). Insidens mual dalam 0-2 jam antara akupresur vs plasebo adalah 9,75 % vs 25 % (p > 0,05) dan insidens muntah dalam 0-2 jam antara akupresur vs plasebo adalah 4,87 % vs 17,5 % (p> 0,05). Insidens mual dalam 2-24 jam antara akupresur vs plasebo adalah 2,43 % vs 20 % (p < 0,05). Insidens muntah dalam 2-24 jam antara akupresur vs plasebo adalah 0 % vs 7,5 % (p > 0,05). Tidak didapatkan terjadinya efek samping pada kedua kelompok. Tercatat bahwa 90,2% mengatakan puas dengan manfaat penggunaan akupresur dan pemberian ondansetron, bahkan pada kelompok yang sama sebanyak 4,9% menyatakan sangat puas. Kesimpulan: Penggunaan akupresur Sea-Band® dengan Ondansetron terbukti dapat menurunkan angka kejadian mual pada rentang waktu 2-24 jam setelah operasi dengan anestesia umum inhalasi.