Jembris Mou
Unknown Affiliation

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

KONFLIK WILAYAH ANTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA DENGAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT Mou, Jembris
JURNAL POLITICO Vol 4, No 1 (2015): Februari 2015
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKSIKonflik merupakan salah satu fenomena sosial yang lumrah terjadi dalam masyarakat. Begitu juga halnya di provinsi Maluku Utara. Konflik yang muncul adalah berhubungan dengan wilayah perbatasan antara Kabupaten Halmahera Utara dengan Kabupaten Halmahera Barat. Konflik batas wilayah inilah mendorong peneliti tertarik untuk meneliti gejala sosial yang terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan faktor-faktor penyebab konflik, mendiskripsikan dampak-dampak yang ditimbulkan dari terjadinya konflik, dan mendeskripsikan prospek penyelesaian batas wilayah.Manfaat penelitian adalah untukmemberikan sumbangsi pemikiran bagi Pemerintah Provinsi Maluku Utara dalam upaya penyelesaian konflik wilayah antara kabupaten halmahera Utara dengan kabupaten halmahera Barat, serta menjadi bahan acuan kerjasama antar kedua kabupaten untuk menyelesaikan tapal batas.Dengan melihat masalah ini peneliti menggunakan teori Lewis Coser. Konflik merupakan perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berkonflik bukan hanya berniat untuk memperoleh barang yang dimaksud tetapi juga berniat untuk menghancurkan lawannya. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tipe pendekatan deskriptifserta lokasi penelitian di kantor Gubernur Maluku Utara dan desa-desa penyangga. Pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi dan wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh masyarakat enam desa serta pejabat pemerintah sebagai informan.Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa faktor penyebab konflik yakni meliputi: faktor Potensi Alam,faktor lahirnya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1999tentang Pembentukan dan Penataan Beberapa Kecamatan Di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara Dalam Wilayah Provinsi Tingkat I Maluku, dan faktor lahirnya Undang-undang No 1 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara.Sehingga konflik wilayah berkepanjangan yang selanjutnya berakibat pada timbulnya ?dampak konflik? berupa terjadinya dualisme sistem pemerintahan tingkat desa maupun kecamatan, dampak Dalam Bidang Politik. dampak dalam pelaksanaan pelayanan administrasi pendataan kependudukan dan pelayanan KTPdan dampak dalam bidang sosial. Prospek penyelesaian konflik wilayah ini harus ada ketegasan Pemprov Malut dalam menyelesaikan serta merevisi PP No 42 tahun 1999 yang tidak merekrut aspirasi rakyat enam desa.1 Merupakan skripsi penulis2 Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNSRATKata kunci: Konflik, batas wilayah, konflik/antagonisme.A. PendahuluanSebelum era otonomi daerah, di Indonesia hanya terdapat 27 provinsi dan 277 kabupaten/kotamadya. Setelah otonomi daerah, jumlah tersebut membengkak menjadi 34 provinsi dan 511 kabupaten/kota bahkan lebih dengan tingkat akselerasi pemekaran yang terhitung luar biasa dan sebagaimana diduga sebelumnya, menciptakan ruang-ruang potensi masalah baru. Pemekaran suatu daerah menjadi beberapa daerah otonom baru berakibat berubahnya batas-batas wilayah daerah baik secara administratif maupun geospasial (keruangan), yang menjadi esensi munculnya permasalahan serius. Permasalahan tersebut adalah Konflik batas wilayah (Harmantyo, 2007).Sekilas tidak ada persoalan terkait batas-batas administratif dan geografi ini karena di setiap Undang-Undang yang memayungi pembentukan daerah otonom baru tersebut selalu dicantumkan batas-batas antara daerah satu dengan daerah lain walaupun batas-batas tersebut sangat makro. Akan tetapi kondisi di lapangan seringkali lebih rumit dari pada yang diperkirakan sebelumnya.Dalam praktiknya, proses Penyelesaian konflik batas wilayah tidak selalu dapat dilaksanakan dengan lancar, bahkan ada kecenderungan jumlah sengketa/konflik batas antar daerah meningkat. Dari melihat kenyataan praktis, teridentifikasi beberapa penyebab konflik terkait batas wilayah ini, antara lain :1. Yuridis, yakni tidak jelasnya batas daerah dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah.2. Ekonomi, yakni Perebutan Sumber Daya (SDA, Kawasan Niaga/ Transmigrasi, Perkebunan).3. Kultural, yakni Isu terpisahnya etnis atau sub etnis.4. Politik & Demografi, yakni Perebutan pemilih & perolehan suara bagi anggota Legislatif/Eksekutif.5. Sosial, yakni Munculnya kecemburuan sosial, riwayat konflik masa lalu, isu penduduk asli dan pendatang.6. Pemerintahan, yakni Jarak ke pusat pemerintahan, diskriminasi pelayanan, keinginan bergabung ke daerah tetangga.Provinsi Maluku Utara juga rupanya tidak terhindar dari konflik daerah pemekaran. Paling tidak ada beberapa titik konflik yang hingga saat kenyataan ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Salah satu Titik konflik yang rawan adalah yang terjadi antara Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat yang melibatkan wilayah enam desa sengketa, yaitu Desa Pasir Putih, Desa Bobane Igo, Desa Tetewang, Desa Akelamo Kao, Desa Akusahu, dan Desa Dum-Dum. Konflik ini sifatnya menahun semenjak terbentuknya Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2003 hingga saat ini, persoalan tidak kunjung usai.Konflik dapat dirasakan dalam proses interaksi antara kedua belah pihak (aksi-reaksi) dalam upaya mencapai kesepakatan yang diperlukan dalam menentukan beberapa titik batas yang selama inisulit dicapai kesepakatannya. Intensitas konflik semakin meningkat dan jelas seiring dengan bergulirnya ?era otonomi daerah? ketika Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara mulai mengintensifkan kegiatan penataan batas wilayah dan mendapatkan reaksi dari Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat berupa disepakatinya titik batas daerah.Sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999, Indonesia sering disebut dalam era otonomi daerah. Daerah otonom diberi kewenangan dengan prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab. Demikian juga setelah UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004, prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab tetap menjadi prinsip dalam penyelenggaraan kewenangan daerah otonom. Berbagai implikasi kemudian muncul karena implementasi UU yang baru tersebut, satu diantaranya yaitu bahwa daerah menjadi memandang sangat penting perlunya penegasan batas daerah. Salah satu sebabnya juga seperti disampaikan diatas adalah karena daerah menjadi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayahnya. Daerah melaksanakan kewenangan masing-masing dalam lingkup batas daerah yang ditentukan, artinya kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh melampaui batas daerah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Apabila batas daerah tidak jelas akan menyebabkan dua kemungkinan akibat negatif. Pertama, suatu bagian wilayah dapat diabaikan oleh masing-masing daerah karena merasa itu bukan daerahnya atau dengan kata lain masing-masing daerah saling melempar tanggung jawab dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat maupun pembangunan di bagian wilayah tersebut. Kedua, daerah yang satu dapat dianggap melampaui batas kewenangan daerah yang lain sehingga berpotensi timbulnya konflik antar daerah.Dalam hal ini persoalan batas daerah menjadi sebuah konflik kelembagaan yang berkepanjangan antara Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan Kabupaten Halmahera Barat. Sentrum konflik terkait Enam Desa Pasca pemekaran daerah di Provinsi Maluku Utara itulah yang sampai hari ini belum mampu terselesaikan meskipun berbagai pihak telah berupaya memfasilitasi. Konflik selain pemekaran kabupaten juga Konflik yang terjadi diperbatasan ini ketika adanya pembentukan kecamatan malifut. Akibat dari pemekaran kecamatan malifut dengan menggabungkan enam desa wilayah wilayah kecamatan jaiololo maka penolakan di enam desa terjadi. Penolakan masyarakat enam desa tersebut dikarenakan ketidak inginan untuk menjadi wilayah bagian dari kecamatan malifut. Namun penolakan dari enam desa ini tidak mendapat tanggapan apa-apa dari pemerintah. Ada juga menjadi dampak terjadinya konflik sosial akibat lambannya respon pemerintah atas aspirasi masyarakat enam desa, dampak selanjutnya masyarakat enam desa menolak mendapat pelayanan dari kecamatan malifut dan hanya menerima pelayanan dari kecamatan jailolo. Walaupun demekian realitasnya secara administrastif wilayah enam desa menjadi bagian dari wilayah administrasi kecamatan malifut.Penolakan masyarakat enam desa ini didasari bahwa sejak awal mereka telah menolak bergabung dengan kecamatan malifut dan tetap menjadi bagian dari kecamatan jailolo, sehingga masyarakat menganggap bahwa sangat realistis jika enam desa menjadi bagian dari kabupaten Halmahera Barat. Dengan dasar itulah, maka pemerintah kabupaten Halmahera Barat memberikan pelayanan kepada enam desa. Disinilah konflik perebutan wilayah enam desa semakin mencuat baik antar Pemerintah maupun antar masyarakat. Jelas ini memancing banyak pertanyaan untuk bisa dijawab. Ada banyak faktor, aktor dan kepentingan yang bermain sehingga upaya penyelesaian konflik tidak sesederhana yang dibayangkan banyak pihak. Rumusan masalah, yakni faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya Konflik Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Utara dengan Halmahera Barat ? Dampak-dampak apakah yang timbul dari terjadinya konflik Tersebut ? dan Bagaimanakah prospek penyelesaian batas wilayah ini dari prespektif politik ? Tujuan penelitian untuk Mendiskripsikan faktor-faktor penyebab dari terjadinya konflik Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Utara dengan Halmahera Barat, Mendiskripsikan dampak-dampak yang ditimbulkan dari terjadinya konflik Tersebut dan mendiskripsikan prospek penyelesaian Konflik wilayah ini dari prespektif politik.Adapun manfaat penelitian secara teoritis, yakni dimanfaatkan bagi pengembangan kajian-kajian Ilmu Politik dan Pemerintahan, khususnya yang terkait dengan Manajemen Konflik, Dinamika Politik Lokal, dan Sosialogi Politik dan Ilmu pengetahuan secara umum, sedangkan secara Praktis, manfaat hasil penelitian ini sebagai sumbangsi pemikiran bagi Pemerintah Provinsi Maluku Utara dalam upaya penyelesaian konflik wilayah antara skabupaten halmahera Utara dengan kabupaten halmahera Barat, serta menjadi bahan acuan kerjasama antar kedua kabupaten untuk menyelesaikan tapal batas yang disengketakan.B. Tinjauan PustakaKonflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi. Istilah konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan. Menurut asal katanya, istilah ?konflik? berasal dari bahasa Latin ?confligo?, yang berarti bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang, berselisih, atau berperang.Lewis Coser. Konflik merupakan perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berkonflik bukan hanya berniat untuk memperoleh barang yang dimaksud tetapi juga berniat untuk menghancurkan lawannyakan, bertanding, berjuang, berselisih, atau berperang.Hubungan yang konfrontatif antar kelompok sosial maupun Institusi Pemerintahan yang terjadi karena benturan kewenangan, tujuan serta ketidakcocokan dalam kehidupan sosial meliputi nilai budaya, geografi maupun sejarah. Begitu juga konflik yang terjadi di wilayah perbatasan antara kabupaten Halmahera Utara dengan Kabupaten Halmahera Barat. Dilihat dari unsur yang terlibat secara umum, konflik di Perbatasan kabupaten Halmahera Utara dengan Kabupaten Halmahera Barat dapat di kategorikan sebagai berikut. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah, konflik antara masyarakat dengan masyarakat serta konflik antara Pemerintah dengan Pemerintah (Zaiyardam dan Efendi, 2009: 11).C. Metodologi PenelitianMetode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode deskriptif, yang mana penelitian ini untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian dengan mengadakan akumulasi data yang relevan, menerangkan hubungan serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatau masalah yang ingin dipecahkan. pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode penelitian Deskriptif Kualitatif mengacu pada pengumpulan dan penyusunan data, serta meliputi analisis, interpretasi tentang arti data tersebut, selain itu data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti (Moleong, 2007).Pada dasarnya penelitian ini mempergunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer, data yang didapatkan langsung dari sumber pertama, seperti data hasil wawancara atau kuesioner. Sementara itu data sekunder yakni dokumen-dokumen dan data-data pelengkap lainnya. Dalam penelitian ini, yang akan menjadi informan kunci adalah Pejabat Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Halut-Halbar sementara informan biasa adalah Warga Masyarakat di Wilayah Desa Penyangga yaitu Desa Pasir Putih, Desa Bobane Igo, Desa Tetewang, Desa Akelamo Kao, Desa Akusahu, dan Desa Dum-Dum. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini yakni dilakukan dengan cara wawancara berdasarkan pedoman wawancara atau daftar wawancara bahkan dilakukan dengan cara proses pengamatan atau observasi. Lokasi dalam penelitian ini adalah Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara. Dalam penelitian ini penulis juga menambahkan lokasi penelitian untuk mencari data pelengkap sesuai dengan masalah yang dibahas yang bertempat di Kantor Bupati Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat dan pada wilayah perbatasan yang menjadi sentral sengketa perebutan antara kedua Kabupaten yang meliputi: Desa Dumdum, Desa Akesahu, Desa Akelamo, Desa Tetewang, Desa Bobane Igo dan Desa Pasir Putih.Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model interaktif dari Miles dan Heuberman (2001), yakni analisis data yang dilakukan secaraterus menerus sejak awal sampai selesainya penelitian secara bersamaan, yaitu sebagai berikut :1. Reduksi DataData yang diperoleh dari lapangan dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan rinci. Laporan lapangan oleh peneliti direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, kemudian dicari tema atau polanya yang terfokus pada masalah yang kaji.2. Display DataLangka ini memudahkan peneliti melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain hal ini merupakan pengorganisasian data kedalam bentuk tertentu, yakni sistematis dan sederhana dengan sosoknya yang lebih mantap dan utuh.3. VerifikasiVerifikasi data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara terus-menerus sepanjang proses penelitian berlansung sejak awal dan selama proses pengumpula data, peneliti menganalisis data yang dikumpulkan, yaitu mencari tema, pola, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul dan berkaitan dengan masalah yang menjadi focus penelitian.D. PembahasanBerdasarkan temuan dari penilitian di lapangan maka faktor penyebab konflik wilayah antara Kabupaten Halmahera Utara dengan Kabupaten Halmahera Barat, yakni :1. Faktor Potensi AlamSejak 2003 pemekaran kabupaten Halmahera Utara dan kabupaten Halmahera Barat (pemindahan wilayah administratif dari Kota Ternate Kabupaten Maluku Utara (Dahulu) ke Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat (sekarang) wilayah enam desa yang disengketakan antara Pemda Kabupaten Halmahera Utara dengan Pemda Kabupaten Halmahera Barat merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam (seperti emas dan perak) yang masih belum tereksplorasi dengan maksimal. PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) merupakan perusahaan eksploitasi tambang di sekitar Kawasan Gosowong, tepatnya di tiga lokasi, yakni Toguraci (Gosowong Barat), Gosowong Utara, dan Gosowong Selatan.Perusahaan tambang yang bekerja sama dengan pihak asing (Australia) yang diduga merupakan sumber keuangan daerah dan bahkan sumber pendapatan para elit lokalsehingga menjadi menarik dipihak Pemkab. Halut maupun Pemkab Halbar untuk diperebutkan. Sejak dari eksplorasi awal di tahun 1992 dan mengetahui kandungan di sana ada 20 ribu ton deposit biji logam dengan kadar emas dan perak yang tinggi, maka kontra karya antara pemerintah RI dan PT NHM di tandatangani pada tanggal 28 April 1997. persetujuan kontrak karya berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor B 143 / Press/ 3/ 1997 tertanggal 17 Maret 1997. luas wilayah kontrak karya pada waktu ditandatangani adalah 1.6772.967 Ha. dan memulai eksploitasi di awal tahun 1999 silam sebelum Maluku Utara berpisah dengan Maluku Ambon. NHM merupakan perusahaan asing yang mengusai saham untuk melakukan eksploitasi tambang mineral di Kawasan sengketa enam desa oleh Pemda Kab. Halut dengan Kab. Halbar, sehingga sebagian besar masyarakat Maluku Utara menganggap bahwa konflik batas wilayah ini karena adanya sumber daya alam yang dikelola PT. NHM. argumentasi ini sebagaimana dinyatakan oleh informan di enam desa sengketa.Menurut, Abyan Sofyan (Biro Pemerintahan Halbar) mengatakan penyebab konflik adalah kepentingan sumber daya alam, namun itu berada pada level pemerintah untuk kepentingan pendapatan daerah, sedangkan penyebab konflik di level masyarakat, yakni munculnya PP No. 42 Tahun 1999 yang sejak awal sudah terjadi penolakan oleh masyarakat enam desa, namun tidak ditanggapi oleh pemerintah.Camat (versi Halut), mengatakan konflik batas wilayah antara Kabupaten Halut dengan Halbar sesunggunya adalah konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam yang dikelola oleh salah satu perusahan tambang emas (PT. Nusa Halmahera Mineral), yang eksistensinya sejak tahun 2003 berada dalam wilayah administratif Pemda Halut. Konflik wilayah ini juga terkait dengan perebutan royalty dari pihak PT. NHM untuk meningkatkan pendapatan daerah yang selama ini diperoleh oleh Pemda Halut sebagai pemilik wilayah eksploitasi tambang emas.2. Peraturan PemerintahAturan hukum merupakan arah kompas dan sandaran kehidupan bagi aktivitas manusia yang dibuat berdasarkan kepentingan semua pihak secara bersama. Oleh sebab itu menghasilkan sebuah aturan hukum oleh pemerintah harus mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat.Sekian lama aturan hukum selalu dibanggakan yang dianggap sebagai master dasar pacuan untuk melangka ke arah yang lebih baik. Namun terkadang luntur dan tidak semanis arti hukum yang sesungguhnya sebagaimana dinikmati masyarakat enam desa sengketa antara Kab. Halut-Halbar.Sebelum PP No. 42 Tahun 1999 dikeluarkan oleh Pemerintah, di era tahun 1970-an, tepatnya pada tahun 1975 di wilayah Kabupaten Maluku Utara diadakan transmigrasi lokal, yaitu penduduk dari 16 desa dari kecamatan Makian pulau yang dipindahkan ke wilayah kecamatan Kao, sebagai akibat bahaya meletusnya gunung KieBesi di pulau Makian Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara sebagaimana termaktub pada permulaan diktum PP. Perpindahan ini dilakukan secara bedol atau mengangkat semua sarana dan prasarana baik perangkat pemerintahan maupun masyarakat untuk dipindahkan ke daratan Halmahera yang merupakan bagian dari tanah adat masyarakat Kao.Sejak mendiami di wilayah baru daratan Halmahera masyarakat Makian pulau telah menjalani hubungan baik dengan warga disekitarnya, termasuk dengan masyarakat Kao, kondisi ini terpelihara dengan baik diantara masyarakat sudah ikatan kekeluargaan akibat perkawinan yang terjalin antar komunitas. Namun kondisi yang sudah terjalin baik ini akhirnya harus sirna ditelan zaman akibat kepentingan elit politik lokal untuk kekuasaan dan penguasaan dengan mendorong sebuah PP No. 42/1999 tentang Pembentukan Kecamatan Malifut dan selanjutnya akan diperjuangkan menjadi Kabupaten Malifut masa depan.Menurut Ichwan Hamza (Biro Pemerintaha Prov. Malut) mengatakan penyeban konflik di enam desa dan sekitarnya adalah munculnya PP No. 42 tahun 1999 tentang pembentukan Kecamatan Malifut yang memasukan enam desa menjadi wilayah administratifnya. Sementara warga masyarakat enam desa menolak masuk ke kecamatan malifut karena alasan factor sejarah dan kedekatan emosional.Munculnya PP No. 42 Tahun 1999 ini dianggap sebagai pemicu kasus yang terjadi pada enam desa sengketa yang diperebutkan oleh Pemkab. Halmahera Utara dengan Pemkab. Halmahera Barat hingga saat ini. Penolakan warga masyarakat enam desa atas gagasan pemekaran dan penggabungan wilayah lebih disebabkan aspirasi masyarakat enam desa yang sejak awal menolak untuk menjadi bagian dari wilayah kecamatan Malifut (yang selanjutnya menjadi wilayah administratif Kab. Halut) dipaksakan oleh pemerintah untuk tetap menjadi bagian dari kecamatan Malifut.3. Undang-Undang Pembentukan DaerahDengan lahirnya Undang-undang ini tahun 2003 konflik kembali mencuat ke permukaan, yakni konflik level pemerintah dalam perebutan wilayah antara Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat tentang wilayah enam desa yang juga telah dipermasalahkan saat pembentukan Kecamatan Malifut tahun 1999. Demikian juga kasus yang terjadi saat itu hingga kini mengenai penolakan masyarakat untuk bergabung dengan Kecamatan Malifut yang adalah wilayah administratif Pemerintahan Kab. Halmahera Utara menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara. Pada konteks itu, maka masyarakat enam desa terus menyuarakan protes bahwa mereka tetap menolak bergabung atau digabungkan dengan Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara dan menganggap bahwa sangat realistis jika enam desa menjadibagian dari Kabupaten Halamhera Barat karena faktor historis dan kedekatan emosional. Dengan dasar tersebut maka Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat memberikan pelayanan ke enam desa.Dampak konflik yang terjadi meliputi:1. Dampak Dalam Dualisme Sistem PemerintahanHal ini berdasarkan temuan lapangan bahwa Realitas menunjukan wilayah enam desa memiliki dua pusat pemerintahan (ada dualisme kepemimpinan), yakni pemerintah Kecamatan Kao Teluk dengan pusat ibu kota Kecamatan di Desa Dum dum (Versi Halut) dan pemerintah Kecamatan Jailolo Timur dengan pusat ibu kota kecamatan berada di Desa Akelamo Kao (Versi Halbar) yang dilengkapi dengan fasilitas kantor camat. Pada tingkat desa juga terjadi hal yang sama, yakni setiap desa memiliki dua kepala desa yang mewakili masing-masing kabupaten, yakni Kades versi Halut dan Kades versi Halbar. Adanya dualisme kepemimpinan ini, maka system pemerintahan desa di wilayah penyangga Kab. Halut dan Halbar memiliki dua belas kepala desa.Dalam study penelitian yang dilakukan juga bahwa dari jumlah enam desa yang berada di Kecamatan Kao Teluk dan Jailolo Timur, dapat diklasifikasikan 4 desa memiliki kecenderungan lebih besar bergabung ke Kabupaten Halmahera Barat dan hanya 2 desa yang bergabung ke Kabupaten Halmahera Utara. Tabel dibawah ini dapat menjelaskan kondisi dimaksud.2. Dampak Dalam Bidang PolitikDalam hal pemilihan kepala daerah dan Pemilu Legislatif terjadi dua kubu Panitia Pemilu yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum tingkat Kabupaten. Warga yang setuju pada Kabupaten Halmahera Utara mengikuti KPU Halmahera Utara dan warga yang setuju dengan Kabupaten Halmahera Barat mengikuti KPU Halmahera Barat. Hal ini nampak hingga pada Pemilukada tahun 2010 yang lalu, sebagaimana pernyataan informan berikut. Demikian juga ribuan warga yang berada dalam enam desa sengketa tidak bisa menyalurkan hak pilihnya alias golput dalam pemilihan presiden 2014, akibat tidak disalurkan sejumlah logistik pemilu ke desa tersebut. angka golongan putih (golput) dalam pilpres di enam desa disebabkan karena warga enam desa tidak mendapat surat suara maupun kotak suara. Hak pilih mereka sudah dialihkan ke kabupaten Halmahera Utara (Halut).Menurut Hamid Londo (Ketua Pemuda Enam Desa) pada wawancara telpon mengatakan, pemerintah Halut sengaja mendramatisi warganya untuk tidak memberikan hak politik melalui TPS yang disalurkan dari pemerintah Halbar. "Untuk surat suara maupun anggota dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) maupun Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa tidak disediakan oleh KPU Halbar dan KPUMalut. KPU ingin kami dari enam desa berikan hak politiknya di kabupaten Halut, sedangkan KTP dan jiwa pilih kami kebanyakan dari kabupaten Halbar.3. Dampak Dalam Pelaksanaan Pelayanan Administrasi Pendataan Kependudukan dan Pelayanan Pengadaan KTPKesulitan pendataan penduduk oleh Kabupaten Halmahera Utara di enam desa menyebabkan mereka tidak memiliki status kependudukan yang jelas. Padahal realitas menunjukan bahwa wilayah enam desa merupakan wilayah administratif Kab. Halut, namun pelayanan baik pelayanan publik maupun pelayanan pemerintahan juga dilakukan oleh pemerintah Kab. Halbar. Fakta tersebut terlihat pada akses masyarakat enam desa dalam pembuatan KTP dan Akte Kelahiran dominan dilayani oleh Pemkab. Halbar. Bahkan dalam akses pembuatan KTP oleh masyarakat di enam desa sebagian besar memiliki KTP domisili Kabupaten Halmahera Barat, walaupun terdapat sebagian masyarakat yang juga memiliki KTP Kab. Halut.4. Dampak Dalam Bidang SosialBerdasarkan temuan lapangan bahwa Pemda Halbar membangun SD, SMP dan SMA di Bone Igo. dan oleh Pemda Halut masyarakat diberikan bantuan melalui dana community development dari PT. NHM berupa, seng rumah, semen dan beras. Sarana kesehatan merupakan salah satu komponen yang sangat vital dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk. Karena didasari begitu pentingnya aspek kesehatan, maka pemerintah di berbagai level selalu memberikan perhatian khusus pada dimensi ini. Tak terkecuali kedua Pemda, yakni Pemda Halut dan Halbar juga turut memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat di enam desa adalah dengan membangun berbagai sarana infrastruktur di wilayah enam desa.berdasarkan temuan lapangan bahwa presentase keberpihakan pelayanan kesehatan lebih tinggi dilaksanakan oleh Pemda Kab. Halbar dengan banyaknya fasilitas 14 yang terbagi dari 1 puskesmas, 1 Pustu dan 12 Posyandu, sementara Kab. Halut dengan jumlah 8 unit yang terbagi 2 Puskesmas pembantu/pustu dan 6 Posyandu.Prospek Penyelesaian konflik wilayahsangatlah dibutuhkan ketegasan Pemprov Malut dalam menetapkan persoalan batas wilayah antar kabupaten di Maluku Utara, karena pendapat informan lebih menyentuh pada perhatian Pemerintah Provinsi bahwa untuk persoalan batas wilayah khususnya 6 desa yang menjadi rebutan Pemda Halut dan Halbar harus diselesaiakan oleh Pemprov sebagaimana diisyaratkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni apabila ada sengketa antar kabupaten/kota dalam suatu wilayah Provinsi maka menjadi kewenangan Provinsi untuk menetapkan dan bersifat final dan Pemerintah kabupaten/kota wajib hukumnya untuk tunduk dan mentaatinyadan apapun isi keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah.Menurut Obyan Sofyan (Biro Kab. Halbar), mengatakan selain sebagai kepala pemerintah Daerah, Gubernur Malut juga sebagai wakil dari pemerintah pusat yang menerima pelimpahan wewenang pemerintahan sebagai wakil pemerintah di wilayah tertentu sebagai asas dekonsentrasi.Menurut Kades Desa Dum-dum (versi Halbar), mengatakan bahwa Pemkab harus membuat dan menegakan penetapan batas wilayah antar desa serta harus dengan melibatkan pihak kesultanan, karena persoalan batas wilayah ini sudah ditetapkan sejak masa pemerintahan 4 (empat) kesultanan sehingga untuk menyesuaikan dan menetapkan tapal batas harus melibatkan pihak kesultanan serta merevisi PP No 42 tahun 1999E. PenutupA. KesimpulanBerdasarkan uraian pembahasan dan analisis diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:1. Bahwa persoalan batas desa penyangga yang masih menggunakan batas alamiah memang masih relevan sampai saat ini dan digunakan sebagai dasar penataan batas desa sebagaimana isyarat Pemendagri No. 27 Tahun 2006 yang kemudian dituangkan dalam sebuah regulasi daerah untuk dijadikan legitimasi bagi masing-masing pemerintah kabupaten, karena batas desa terutama desa-desa penyangga, sangat berpotensi memunculkan konflik karena menyangkut dengan pengelolaan SDA di areal desa penyangga kecamatan, serta kabupaten tersebut.2. Adanya dualisme pemerintahan dalam satu desa sehingga mengganggu aktifitas pelayanan publik oleh pemerintah desa, dan mengacaukan administrasi kependudukan dan hal-hal administrasi lainnya karena hampir di semua desa penyangga tidak memiliki data tentang peta wilayah.3. Adanya potensi dan pengelolaan SDA di wilayah-wilayah desa penyangga antar kecamatan serta kabupaten sebagai pemicu (sumber) munculnya persoalan batas desa, kecamatan serta kabupaten.4. Persoalan batas wilayah sangat berpengaruh pada efektivitas pemerintahan dan pelayanan publik yang menyangkut dengan perolehan hak-hak masyarakat di bidang pemerintahan, politik, sosial karena merupakan urusan yang sifatnya wajib dijalankan oleh pemerintah daerah.5. Dampak yang dapat diidentifikasi terjadi pada aspek pelayanan administrasi KTP yaitu terjadinya dualisme kewenangan pemberian data yuridis atas identitas kependudukan pada sebagian besar masyarakat enam desa.Disamping itu adanya ketidakpastian kewenangan dalam pelayanan public lainnya karena kekaburan batas wilayah.6. Terdapat dua faktor hukum yang menjadi permasalahan yaitu pertama substansi hukum disebabkan oleh proses pembentukan Undang-undang/PP yang terlalu tergesa, kaburnya pengaturan tentang batas wilayah, dan kedua kurangnya sosialisasi Undang-undang pemekaran wilayah.B. Saran1. Butuh kearifan bersama pemerintah daerah yang wilayahnya berbatasan untuk menata batas-batas wilayahnya dengan mempertimbangkan faktor-faktor non hukum yang diyakini oleh masyarakat desa sejak turun temurun berupa penggunaan tanda alamiah sebagai pembatasan suatu wilayah. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pemendagri No. 27 tahun 2006 tentang Penegasan Batas Desa, Jo. Pemendagri No. 1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.2. Pemda Provinsi harus memfasilitasi pemda kabupaten dalam melakukan penetapan dan penegasan batas wilayah pemerintahan antar kabupaten yang berpedoman pada batas-batas alamiah yang telah digunakan masyarakat untuk menandai batas wilayah desa-desa mereka sebagai dasar penegasan batas wilayah kecamatan dan kabupaten, sebagaimana sebagaimana Pemendagri No. 1 tahun 2006. Jo Pemendagri No. 27 tahun 2006.3. Penetapan dan penegasan batas wilayah ini kemudian harus diperdakan oleh pemerintah Provinsi Malut sebagai bentuk legitimasi terhadap batas-batas wilayah kontinental suatu kabupaten dalam wilayah Provinsi Malut, sebagai formula pencegahan terjadinya sengketa antar kabupaten, karena perseturuan batas wilayah ini sangat berimplikasi pada terganggunya pelayanan publik.4. Pemda Provinsi Malut harus memfasilitasi pembentukan badan dan atau nama lainnya tugas pokoknya mengatur kerjasama dalam pengelolaan wilayah perbatasan yang komposisinya melibatkan unsur masing-masing pemda kabupaten dalam rangka menciptakan interkoneksitas antar wilayah dalam wilayah Provinsi Malut, karena pada tataran akar rumput telah dilaksanakan turn temurun.5. Butuh komitmen dan ketegasan dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk secara tegas memutuskan status ke-enam desa tersebut dengan berbagai pendekatan, diantaranya :DAFTAR PUSTAKAAntonius, 2002, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik lokal dan DinamikaInternasional, Yayasan Obor Indonesia, JakartaBest,1982:119.: memahami metode penelitian kualitatif Washington DC, USA Decentralization Support Facility, 2007. Proses dan Implikasi Sosial PolitikPemekaran, Kasus di Sambas dan Buton, Laporan, tidak dipublikasi,Jakarta.Harmantyo, 2007, Pemekaran Daerah dan Konlik Keruangan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia, Makara, Sains, Vol. 11, No.1,April 2007, Dept. Geografi UI, Jakarta.Kausar dan Eko Subowo, 2008. Kebijakan Penataan Batas Antar Daerah, Modul pelatihan Penegasan Batas Daerah, Jurusan Teknik Geodesi FT UGM, tidak dipublikasi, Yogyakarta.Moleong, Lexy J., 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif (Cetakan kedua), PT Remaja Rosdakarya, BandungMilles dan Houberman, 2001, metode penelitian kualitatif, PT, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.Pruit, Dean G. & Jeffrey Z Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial (terjemahan), Pustaka Pelajar, YogyakartaSubowo, E., 2009. Makalah disampaikan pada FGD Permasalahan Konflik BatasTaquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), Menangani Konflik Sumber Daya Alam, Pustaka Pelajar, Bandungn Wilyah, 24 Desember 2009 di Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM.Zaiyardam dan Efendi, 2009 conflict resolution: Anatomy in Indonesia, LIPI, JakartaSumber-Sumber Lainnya :Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan DaerahPeraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pembentukan KecamatanPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006 Tentang Penegasan Batas Desa.Pemendagri RI Nomor 66 Tahun 2011 Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.http://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/faktor-penyebab-konflik-dan-strategipenyelesaian-konflik/http://psychochanholic.blogspot.com/2008/03/teori-teori-konflik.htmlhttp://id.wikipedia.org/wiki/KonflikAnatomi, http://med.unhas.ac.id; 15 September 2013 : 14:23 WITA.Nanang Kristiyono, 2008, Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah Antara Kota Magelang Dengan Kabupaten Magelang. SemarangBadan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Malut, 2009, Kajian Batas Wilayah Administratif Pemerintahan Kabupaten/Kota Di Provinsi Maluku Utara.