Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

KEJADIAN PENDEK-GEMUK PADA ANAK BERUSIA BAWAH DUA TAHUN BERHUBUNGAN DENGAN KONSUMSI LEMAK DAN PENDIDIKAN IBU Nur Handayani Utami; Dwi Siska Kumala Putri; Bunga Ch Rosa
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 37 No. 1 (2014)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v37i1.4003.1-10

Abstract

ABSTRACTLinear growth retardation (stunting) is still prevalent in developing countries. On the other hand, the prevalence of overweight and obesity also increases. The result of the situation is double burden of child nutrition status, both stunted and obese/overweight at time same. The objective of the study is to assess the prevalence of children under two years of age who are stunted and overweight at the same time and its associated factors in Indonesia. The study used secondary data from the National Basic Health Research in 2010. The samples were 2116 under two year of age from all provinces in Indonesia. Anthropometry indices were generated using 2005 WHO standards for children. A child that categorized as stunted and overweight were those with a length-for-age z-score <-2 SD and a weight-for-length z-score >2SD from the median of the reference standard adjusted for the relevant sex and age group. Logistic regression and sample weighting factors were performed for the data analysis. The result wasthe prevalence of stunting with concurrent overweight 19.8 percent. Factors that significantly associated with stunting overweight were fat intake and maternal education. Low fat intake was associated with stunting and overweight (OR 0.52, 95% CI 0.29-0.94). Mother with no schooling is also associated with stunting and overweight of their children (OR 3.24, 95% CI 1.35-7.78). This analysis emphasizes that there had been double burden of child nutrition among children in Indonesia.However, eventhough low fat intake was one of the factors associated with stunting and overweight among under two children, restriction of fat intake in first year of life is not recommended.Keywords: stunting overweight, factors, under two years old children, IndonesiaABSTRAKGangguan pertumbuhan linear (pendek) masih lazim di negara-negara berkembang. Namun, transisi gizi telah membuat prevalensi gemuk dan obesitas juga meningkat. Ini membawa efek pada masalah gizi ganda pada anak-anak. Mereka menjadi pendek dan obes/kelebihan berat badan (pendek-gemuk) pada saat yang bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi anak di bawah dua tahun yang pendek dan gemuk pada waktu yang bersamaan dan faktor-faktor yang terkait di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 sebagai bahan pengolahan dan analisis, dengan sampel 2116 anak dibawah usia dua tahun dari seluruh provinsi di Indonesia. Perhitungan z-skor dilakukan menggunakan acuan standar WHO 2005. Anak yang pendek-gemuk memiliki panjang badan menurut umur (TB/U) <-2 SD dan nilai z-skor berat badan menurut panjang badan >2 SD dari median populasi acuan untuk jenis kelamin dan umur yang relevan. Uji statistik menggunakan uji regresi logistik dan faktor pembobotan sampel. Hasil analisis menunjukkan prevalensi anak di bawah dua tahun yang pendek dan gemuk sebesar 19,8 persen. Faktor yang berhubungan secara signifikan adalah asupan lemak dan pendidikan ibu. Asupan lemak yang rendah berhubungan dengan terjadinya pendek dan gemuk (OR 0,52, 95% CI 0,29-0,94). Ibu yang tidak bersekolah juga berhubungan dengan terjadinya pendek dan gemuk pada anak (OR 3,24, 95% CI 1,35-7,78). Analisis ini menekankan bahwa telah terjadi masalah gizi ganda pada anak berusia di bawah dua tahun (baduta) di Indonesia. Walaupun asupan lemak berhubungan dengan terjadinya pendek dan gemuk pada baduta, namun berdasarkan beberapa literatur pembatasan konsumsi lemak pada tahun pertama kehidupan tidaklah dianjurkan.[Penel Gizi Makan 2014, 37(1): 1-10]Kata kunci: pendek-gemuk, anak berusia di bawah dua tahun, Indonesia
DETERMINAN PEMBERIAN MAKANAN PRELAKTAL PADA BAYI BARU LAHIR DI KELURAHAN KEBON KELAPA DAN CIWARINGIN, KOTA BOGOR (DETERMINANTS OF PRELACTEAL FEEDING AMONG NEWBORN BABIES IN KEBON KELAPA AND CIWARINGIN VILLAGES, BOGOR) Bunga Ch Rosha; Nur Handayani Utami
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 36 No. 1 (2013)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v36i1.3395.54-61

Abstract

ABSTRACT Breast milk is the appropriate for babies for the first six months after birth. Although it has been known that exclusive breastfeeding has many benefits and encouraged by the government, but the proportion of exclusive breasfeeding is still low, including Bogor. One of the the reason for the failure in exclusive breastfeeding is the prelacteal feeding practice among newborn babies. This analysis was conducted to provide information on the determinants of prelacteal feeding practice in Kebon Kelapa and Ciwaringin Village in Bogor, in 2012. The data for this analysis was came from the child growth and development cohort study conducted in Kebon Kelapa and Ciwaringin, Bogor in 2012. Participants of the study were 91 mothers with her newborn babies. The data were analysed with descriptive analysis, bivariate analysis with chi square, and multivariate analysis using logistic regression. The results showed that mode of delivery, rooming-in care and time of breastfeeding after delivery were significantly associated with prelacteal feeding practice (p<0,05). The major determinant factor of prelacteal feeding practice was non rooming-in care (OR: 5.86; 95% CI: 1.17, 29.35) after controlling the time of breastfeeding after delivery. Postpartum mothers that not cared in the same room with the baby had risk 5.86 times for give the baby prelacteal food compared with postpartum mothers that cared in the same room with their baby. Mothers who breastfeed their baby more than 1 hour after delivery had risk of 4.87 times for give the baby prelacteal food compared with mothers who breastfeed less than 1 hour after delivery. Therefore, it is necessary to improve the implementation of Baby Friendly Hospitals program in maternal and child health services, especially the implementation of rooming-in care for mother and child, so that the mother can breastfeed immediately after birth so that the baby does not need to be given food or prelacteal liquids. The government should provide strict sanctions for hospitals that have not held a rooming-in care for mother and child.   Keywords: breastfeeding, prelacteal feeding, early breastfeeding, rooming-in   ABSTRAK Air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang paling baik diberikan kepada anak pada awal kehidupannya sampai berumur 6 bulan, tetapi prevalensi pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah, termasuk di Kota Bogor. Salah satu penyebab kegagalan praktik ASI eksklusif adalah pemberian makanan prelaktal pada anak. Analisis ini dilakukan untuk memberikan informasi mengenai determinan pemberian makanan prelaktal pada bayi di Kelurahan Kebon Kelapa dan Kelurahan Ciwaringin, Kota Bogor. Analisis ini menggunakan data penelitian Kohor Tumbuh Kembang Anak di Kelurahan Kebon Kelapa dan Ciwaringin, Kota Bogor, tahun 2012. Responden dalam analisis ini adalah 91 ibu yang memiliki bayi baru melahirkan. Analisis data dilakukan secara deskriptif, bivariat dengan uji chi-square, dan multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa cara persalinan, ruang rawat ibu-anak tidak gabung, dan waktu menyusui pasca-persalinan berhubungan bermakna dengan pemberian makanan prelaktal (p<0,05). Determinan utama  pemberian makanan  prelaktal  adalah ruang rawat ibu-anak tidak gabung (OR: 5,86; 95% CI; 1,17, 29,35) setelah dikontrol faktor waktu awal menyusui (OR: 4,87; 95% CI: 1,89, 12,57). Ibu yang pasca-persalinan tidak dirawat gabung dengan anak berisiko 5,86 kali untuk anaknya diberikan makanan prelaktal dibandingkan dengan ibu yang pasca-persalinan dirawat gabung bersama anak. Ibu yang waktu menyusui pertama lebih dari 1 jam pasca-persalinan berisiko 4,87 kali untuk anaknya diberikan makanan prelaktal dibandingkan dengan ibu yang waktu menyusui pertama kurang dari 1 jam pasca-persalinan. Oleh karena itu perlu meningkatkan pelaksanaan program Rumah Sakit Sayang Bayi pada tempat pelayanan kesehatan ibu dan anak, terutama pada pelaksanaan ruang rawat gabung ibu-anak sehingga ibu dapat menyusui bayinya sesegera mungkin setelah persalinan sehingga bayi tidak perlu diberikan makanan atau cairan prelaktal. Pemerintah hendaknya memberikan sanksi yang tegas kepada rumah sakit yang belum menyelenggarakan ruang rawat gabung ibu-anak. [Penel Gizi Makan 2013, 36(1):54-61] Kata kunci: ASI, makanan prelaktal, inisiasi menyusu dini, ruang rawat gabung ibu-anak