Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Keberlakuan Hukum Penodaan Agama di Indonesia Antara Tertib Hukum dan Tantangan Hak Asasi Manusia Heru Susetyo; Farida Prihatini; Abdurakhman; Nurindah Hilimi; Intan Mahabah; Ira Apriyanti; Suri Rahmadhani
Perspektif Hukum VOLUME 20 ISSUE 1
Publisher : Faculty of Law Hang Tuah University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30649/ph.v20i1.78

Abstract

Indonesia with its five pillars of Pancasila binds the State and its citizens to "Believe in Almighty" where the religious identity is the spirit of the State that must be respected. This is proven by the existence of Law No. 1/PNPS/1965 concerning the Prevention of Blasphemy that prohibits blasphemy, atheism, or any belief other than the religious identity recognized by the government and law. Article 156 (a) of the criminal code, known as the Criminal Code, also punishes "the dissemination of information aimed at inciting religious hatred or hostility" for five years in prison. In addition, the Information and Electronic Transaction Law (ITE) Law No. 11 of 2008, regulating criminal sanctions for libel, hate speech, and insulting certain religions/beliefs through electronic devices. On the other hand, the 1945 Constitution, as well as the Human Rights Act of 1999 and Law No. 12/2005 concerning Ratification of the ICCPR guarantees freedom of expression, religion, and belief. Criticism of religion is quite limited and support for atheism is definitely still banned in Indonesia. Therefore, this article yearns to explore the dynamics of law enforcement and defamation in Indonesia in national and international human rights regimes. Then, does the law on blasphemy have a legal basis in the Indonesian legal system, national and international human rights regimes, and the surrounding social values? This study compares the application of religious blasphemy laws in several regions in Indonesia and in several Southeast Asian countries.
Analisis Yuridis Permohonan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 141/Pdt.P/2023/PN Yyk) Nanda Septianingtyas; Farida Prihatini
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 4 No. 9 (2025): COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v4i9.2801

Abstract

Penelitian ini menganalisis permohonan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia berdasarkan undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dalam Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 141/Pdt.P/2023/PN Yyk. Permasalahan yang akan dianalisis adalah bagaimana pengaturan perkawinan beda agama menurut hukum agama dan peraturan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia dan bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam permohonan pencatatan perkawinan beda agama sebagaimana dalam penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 141/Pdt.P/2023/PN Yyk ditinjau dari peraturan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal, tipologi penelitian eksplanatoris, dan menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pengolahan data secara kualitatif dan teknik pengumpulan data diperoleh dari studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan enam agama yang diakui di Indonesia, hanya agama Islam yang melarang secara tegas adanya perkawinan beda agama, sedangkan agama-agama lainnya dapat memberikan izin adanya perkawinan beda agama, namun disertai dengan syarat-syarat tertentu, kecuali Agama Konghucu yang tidak mengenal perkawinan harus sekaum atau seagama. Perkawinan beda agama dalam Agama Konghucu dapat dibenarkan walaupun tidak dapat melaksanakan Li Yuan. Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 141/Pdt.P/2023/PN Yyk mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama antara seorang Muslim dan seorang Katolik, meskipun ada ketentuan dalam KHI Pasal 40 dan 44 serta Fatwa MUI Nomor 4/MUNAS VII.MUI.8/2005 melarang perkawinan antara umat Muslim dan non-Muslim. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Majelis Hakim dalam Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 141/Pdt.P/2023/PN Yyk mengabulkan permohonan para pemohon karena perkawinan sudah dilaksanakan secara Agama Katolik. Saran kepada masyarakat seharusnya sebagai umat yang beragama mengikuti ketentuan agama masing-masing. Jika agama melarang adanya perkawinan beda agama seharusnya mengikuti aturan yang sudah ditetapkan dan saran kepada Majelis Hakim seharusnya majelis hakim tidak mengabulkan permohonan Para Pemohon karena Putusan MK No. 71/PUU-XX/2022 menginstruksikan pengadilan yang lebih rendah untuk menolak setiap permintaan untuk melegalkan perkawinan beda agama sebagai syarat pendaftaran, Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 menolak legalisasi perkawinan beda agama, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang petunjuk bagi hakim untuk tidak mengabulkan permohonan perkawinan antar umat yang berbeda agama, telah memperkuat kepastian hukum bahwa Indonesia melarang perkawinan beda agama