M. Sani Roychansyah, M. Sani
Pengajar Program Pascasarjana Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Heterogenity of Amber and Komin in Shaping Settlement Pattern of Jayapura City Baharuddin, Alfini; Wibisono, B. Hari; Prayitno, Budi; Roychansyah, M. Sani
KOMUNITAS: INTERNATIONAL JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE Vol 7, No 2 (2015): Komunitas, September 2015
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v7i2.3287

Abstract

Jayapura city is the capital of Papua province, located at the eastern end of Indonesia and the borders with neighboring countries, Papua New Guinea. From the results of population census in 2010 the population of the Jayapura city is 256.705 inhabitants with a number of indigenous people as much as 89.773 people (34.97%) and as many as 166.932 nonPapua population (65.03%).  This figure shows that in Jayapura city, the number of migrants is much more than the indigenous people.  The term amber and komin then appears that refers to the indigenous people of Papua (komin) and immigrants nonPapua (amber).  The high migration flows in Jayapura resulting diversity in socio-cultural and economic structure of the population.  This impacted on the formation of the population settlement patterns.  This paper discusses the ethnic heterogeneity in Jayapura city community in shaping the urban spatial pattern.  From the discussion, it is known that the existing settlements in Jayapura city consists of settlements indigenous peoples, settlements inhabited by a mixed population of Papua and nonPapua population, settlements inhabited by ethnic Papuans from outside the city of Jayapura and settlements inhabited by ethnic immigrants certain nonPapua. Settlement indigenous peoples still survive as indigenous settlements that have a spiritual religious meaning that must be maintained and protected. While the settlement of migrants Papua and nonPapua formed by some preferences, namely the ties of kinship, proximity to sources of livelihood (workplace) and social status.Kota Jayapura merupakan ibukota Provinsi Papua yang terletak di ujung timur Indonesia dan berbatasan dengan negara tetangga, Papua Nugini. Dari hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Kota Jayapura adalah 256.705 jiwa dengan jumlah penduduk asli Papua sebanyak 89.773 jiwa (34,97%) dan penduduk nonPapua sebanyak 166.932 (65,03%). Angka ini menunjukkan bahwa di Kota Jayapura, jumlah penduduk pendatang jauh lebih banyak daripada penduduk asli Papua. Istilah amber dan komin kemudian muncul yang menunjuk pada orang asli Papua (komin) dan kaum pendatang nonPapua (amber). Tingginya arus migrasi di Kota Jayapura mengakibatkan kemajemukan dalam struktur sosial budaya dan ekonomi penduduknya. Hal ini berdampak pula pada terbentuknya pola permukiman penduduk. Tulisan ini membahas mengenai heterogenitas etnis pada masyarakat Kota Jayapura dalam membentuk pola keruangan kota. Dari hasil pembahasan diketahui bahwa permukiman yang ada di Kota Jayapura terdiri dari permukiman penduduk asli setempat, permukiman campuran yang dihuni oleh penduduk Papua dan penduduk nonPapua, permukiman yang dihuni oleh etnis Papua dari luar Kota Jayapura dan permukiman yang dihuni oleh etnis pendatang nonPapua tertentu. Permukiman penduduk asli setempat masih tetap bertahan sebagai permukiman adat yang mempunyai makna religius spiritual yang harus dijaga dan dilindungi. Sedangkan permukiman penduduk pendatang Papua maupun nonPapua terbentuk berdasarkan beberapa preferensi, yaitu adanya ikatan kekerabatan, kedekatan dengan sumber mata pencaharian (tempat kerja) dan status sosial.
Heterogenity of Amber and Komin in Shaping Settlement Pattern of Jayapura City Baharuddin, Alfini; Wibisono, B. Hari; Prayitno, Budi; Roychansyah, M. Sani
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 7, No 2 (2015): Komunitas, September 2015
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v7i2.3287

Abstract

Jayapura city is the capital of Papua province, located at the eastern end of Indonesia and the borders with neighboring countries, Papua New Guinea. From the results of population census in 2010 the population of the Jayapura city is 256.705 inhabitants with a number of indigenous people as much as 89.773 people (34.97%) and as many as 166.932 nonPapua population (65.03%).  This figure shows that in Jayapura city, the number of migrants is much more than the indigenous people.  The term amber and komin then appears that refers to the indigenous people of Papua (komin) and immigrants nonPapua (amber).  The high migration flows in Jayapura resulting diversity in socio-cultural and economic structure of the population.  This impacted on the formation of the population settlement patterns.  This paper discusses the ethnic heterogeneity in Jayapura city community in shaping the urban spatial pattern.  From the discussion, it is known that the existing settlements in Jayapura city consists of settlements indigenous peoples, settlements inhabited by a mixed population of Papua and nonPapua population, settlements inhabited by ethnic Papuans from outside the city of Jayapura and settlements inhabited by ethnic immigrants certain nonPapua. Settlement indigenous peoples still survive as indigenous settlements that have a spiritual religious meaning that must be maintained and protected. While the settlement of migrants Papua and nonPapua formed by some preferences, namely the ties of kinship, proximity to sources of livelihood (workplace) and social status.Kota Jayapura merupakan ibukota Provinsi Papua yang terletak di ujung timur Indonesia dan berbatasan dengan negara tetangga, Papua Nugini. Dari hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Kota Jayapura adalah 256.705 jiwa dengan jumlah penduduk asli Papua sebanyak 89.773 jiwa (34,97%) dan penduduk nonPapua sebanyak 166.932 (65,03%). Angka ini menunjukkan bahwa di Kota Jayapura, jumlah penduduk pendatang jauh lebih banyak daripada penduduk asli Papua. Istilah amber dan komin kemudian muncul yang menunjuk pada orang asli Papua (komin) dan kaum pendatang nonPapua (amber). Tingginya arus migrasi di Kota Jayapura mengakibatkan kemajemukan dalam struktur sosial budaya dan ekonomi penduduknya. Hal ini berdampak pula pada terbentuknya pola permukiman penduduk. Tulisan ini membahas mengenai heterogenitas etnis pada masyarakat Kota Jayapura dalam membentuk pola keruangan kota. Dari hasil pembahasan diketahui bahwa permukiman yang ada di Kota Jayapura terdiri dari permukiman penduduk asli setempat, permukiman campuran yang dihuni oleh penduduk Papua dan penduduk nonPapua, permukiman yang dihuni oleh etnis Papua dari luar Kota Jayapura dan permukiman yang dihuni oleh etnis pendatang nonPapua tertentu. Permukiman penduduk asli setempat masih tetap bertahan sebagai permukiman adat yang mempunyai makna religius spiritual yang harus dijaga dan dilindungi. Sedangkan permukiman penduduk pendatang Papua maupun nonPapua terbentuk berdasarkan beberapa preferensi, yaitu adanya ikatan kekerabatan, kedekatan dengan sumber mata pencaharian (tempat kerja) dan status sosial.
FENOMENA ANGKUTAN INFORMAL PERKOTAAN (TAKSI GELAP) STUDI KASUS JALUR KOTA MANADO – KOTA TOMOHON Sudiro, Sudiro; Roychansyah, M. Sani
Proceeding SENDI_U 2019: SEMINAR NASIONAL MULTI DISIPLIN ILMU DAN CALL FOR PAPERS
Publisher : Proceeding SENDI_U

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.177 KB)

Abstract

Fenomena munculnya taksi gelap pada jalur Kota Manado – Kota Tomohon disebabkan oleh adanya kesenjangan pelayanan transportasi yang disediakan oleh pemerintah daerah melalui moda transportasinya. Penelitian mengenai fenomena taksi gelap yang beroperasi di jalur kota Manado – kota Tomohon menggunakan pendekatan studi kasus, sehingga dapat menemukan rangkaian proses terjadinya fenomena ini. Eksistensi taksi gelap telah diakui dan dirasakan manfaatnya, namun pemerintah tetap mengganggap jenis angkutan ini ilegal dan tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Besarnya kontribusi terhadap mobilitas penumpang antar kota, pertumbuhan perekonomian kota, danpenciptaan kesempatan kerja,membuat fenomena taksi gelap ini menjadi sangat penting dalam mengatasi masalah pengangguran di perkotaan yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk. Meskipun beroperasi secara ilegal, eksistensi taksi gelap di jalur Kota Manado – Kota Tomohon tetap berlangsung secara terus menerus. Adanya peran dari oknum aparat kemanan, pegawai pemerintahan, hingga preman dalam melindungi keberadaan angkutan ini menyebabkan fenomena ini berlangsung secara terus menerus. Pentingnya kebijakan dan kemauan politik oleh pemangku kebijakan di Provinsi Sulut dalam menanggapi keberadaan fenomena ini secara tepat, sehingga di hasilkan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak terkait. Kata Kunci: taksi gelap, ilegal, ekonomi
PANDEMI COVID-19 SEBAGAI MOMENTUM KONSOLIDASI WISATA NOMADIK DI KAWASAN CANGGU, BALI Bernada, Chelsea Chety; Roychansyah, M. Sani
Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Vol. 3 No. 2 (2023): Agustus 2023
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITERA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35472/jppk.v3i2.1286

Abstract

The Canggu area is one of the most popular nomadic tourist destinations in the world. This makes the development of the Canggu area increasingly important. With the COVID-19 pandemic, the nomadic style of tourism in the Canggu area has become adaptive tourism during the pandemic. This study aims to determine the stages of development of nomadic tourism in the Canggu area using a deductive qualitative method. The results of the study show that the Canggu area has undergone four stages: exploration, involvement, development, and consolidation. Observations show that currently Canggu Area tourism in the tourism area life cycle analysis is at stage 4, or the consolidation stage. COVID-19 has brought this area to a consolidation stage. The existence of the COVID-19 pandemic requires the concept of nomadic tourism to adapt and strengthen its quality. This has received a positive response as seen from a good reputation and structure in accommodating the needs of digital nomads that occurred during the pandemic in this region. so that the consolidation phase can strengthen the attractiveness of the Canggu Area as a nomadic tourism destination in the future.