Tingginya prevalensi kekerasan seksual pada anak dapat menyebabkan terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dikenal sebagai gangguan stress paska trauma. Berdasarkan yang disampaikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 terdapat 2.737 kekerasan pada anak dan 52% merupakan kasus kekerasan seksual. Anak mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa, namun kejadian kekerasan seksuak pada anak terus meningkat setiap tahunnya dan meningkatkan kejadian PTSD sampai 39,9% dan 31,3% tersebut disebabkan oleh kekerasan seksual. Studi ini menggunakan studi literatur dengan mengumpulkan data melalui referensi jurnal, artikel, buku dan sebagainya. Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian kekerasan seksual pada anak seperti kasus pedofilia, trauma masa kecil, sosial-ekonomi, kurangnya pengetahuan orang tua di era globalisasi, pendidikan orang tua yang rendah, dan sebagainya. Gangguan stres pasca trauma adalah sindrom kecemasan, tanggung jawab otonom, ketidaknyamanan emosional dan kilas balik dari pengalaman yang sangat menyakitkan. Anak korban kekerasan seksual yang mengalami PTSD sebagian besar menjadi pelaku berikutnya, merasa dikhianati oleh lawan jenis dan memilih menjadi LGBT, ditolak bersosialisasi, merasa kotor dan membenci diri sendiri serta dapat menimbulkan ide bunuh diri. Pelaku pencabulan anak dapat dipidana dengan sanksi pidana berdasarkan UU No. 35 tahun 2014 dan UU no. 23 tahun 2002 pasal 81 ayat 1 dan 2, pasal 82 ayat 1, pasal 83.