Oheo K. Haris
Pascasarjana Universitas Halu Oleo

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Penguatan Putusan Hukum Adat Melalui Penetapan Pengadilan dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Umum David David; Oheo K. Haris; Handrawan Handrawan
Halu Oleo Legal Research Vol 4, No 1 (2022): Halu Oleo Legal Research: Volume 4 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/holresch.v4i1.25163

Abstract

Dalam setiap Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kekuatan berlakunya hukum adat dalam penyelesaian perkara adat pidana. Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana tentang penetapan putusan hukum adat melalui pengadilan, pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan kasus (case approach) dengan bahan hukum primer dan sekunder dengan teknis analisis preskriptif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Terdapat 69 kasus perkara tindak pidana yang diselesaikan melalui hukum adat di antaranya 40 kasus yang tidak dilanjutkan dan 29 kasus yang dilanjutkan ke pengadilan. Alasan pengajuan ke pengadilan karena perkara tersebut sudah terbit Surat Pemerintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dalam kaitannya dengan studi pendekatan kasus atas Putusan Kasus Nomor 65/Pid.B/2019 Pengadilan Negeri Kendari maka putusan telah melanggar asas nebis in idem karena tetap menjatuhkan pidana selama 4 bulan dan putusan hakim tersebut hanya menjadikan putusan hukum adat sebagai alasan peringanan hukuman bukan penghapus pidana. Kebijakan hukum pidana tentang penetapan putusan hukum adat melalui pengadilan adalah penting untuk dimuat di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai payung hukum atas pengakuan putusan hukum adat yang selama ini belum diatur dalam peraturan perundang-undang. Perlunya penetapan pengadilan terhadap putusan hukum adat agar menjadi dasar dalam penghentian perkara di tingkat penyidikan melalui undang-undang yang secara teknis dapat diatur melalui Peraturan Kapolri, Peraturan Kejaksaan Agung dan Peraturan Mahkamah Agung.
Disparitas Putusan Pidana dalam Kasus Tindak Pidana Anak (Studi Kasus Putusan Nomor: 15/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Adl dan Putusan Nomor: 17/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Adl) Vivi Fatmawati A.; Herman Herman; Oheo K. Haris
Halu Oleo Legal Research Vol 4, No 1 (2022): Halu Oleo Legal Research: Volume 4 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/holresch.v4i1.25157

Abstract

Dalam Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Adl dan Perkara Nomor 17/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Adl, terdapat pemidanaan yang berbeda untuk kasus yang sama atau serupa (sama delik). Dalam perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Adl, anak dipidana penjara selama 6 bulan sedangkan dalam perkara Nomor 17/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Adl, anak dipidana penjara selama 2 tahun 6 bulan dalam tindak pidana yang sama (sama delik), yaitu tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya”. Terlihat perbedaan yang mencolok dalam putusan tersebut, yang tentunya akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pelaku anak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga terjadinya disparitas dalam perkara anak antara lain aparat penegak hukum seperti hakim, penuntut umum dan penyidik masih banyak yang belum bersertifikat keterampilan petugas anak sehingga menyebabkan perbedaan orientasi dimana aparat penegak hukum yang bersertifikat childrenfficer skill akan berorientasi pada kepentingan terbaik baik bagi anak maupun sebaliknya. Pekerja sosial yang mendampingi Korban dan PK BAPAS yang mendampingi Pelaku Anak selalu memberikan rekomendasi untuk menjebloskan Anak ke dalam Lapas. Sedangkan untuk menghindari disparitas pengambilan keputusan dalam kasus anak, maka seluruh aparat penegak hukum, PK BAPAS dan Pekerja Sosial harus memiliki orientasi dan pemahaman yang sama untuk kepentingan terbaik anak dimana hukuman merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dan juga harus berorientasi pada keadilan restoratif.