Servinus Haryanto Nahak
Institut Filsafat Dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, Flores, NTT, Indonesia

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Konstruksi Prinsip Kebebasan Beragama dan Diskursusnya di Indonesia dalam Perspektif Sejarah Walter Benjamin Antonio Camnahas; Servinus Haryanto Nahak; Adison Adrianus Sihombing
Jurnal Dialog Vol 45 No 2 (2022): Dialog
Publisher : Sekretariat Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47655/dialog.v45i2.640

Abstract

Kebebasan beragama merupakan satu isu sentral dewasa ini. Terminologi ini secara konseptual jelas, namun secara faktual, masih jauh dari harapan. Penulis memakai konsep sejarah Walter Benjamin sebagai pisau analisis. Refleksi filosofis Benjamin menandaskan pentingnya kemampuan belajar dari sejarah kelam masa lalu sebagai cahaya yang menuntun para pelaku sejarah masa kini. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan momentum-momentum historis perkembangan prinsip kebebasan beragama. Pengalaman historis umat Kristen berkaitan dengan kebebasan beragama akan menjadi sumbangan unik tulisan ini. Tujuan lain adalah untuk meneliti proses penerimaan konsep ini menjadi salah satu Hak Asasi Manusia dan diskursus tentangnya di Indonesia. Studi ini merupakan penelitian kepustakaan dengan desain metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik dokumen Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia maupun Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan buah dari refleksi kritis terhadap konteks sejarah kelam masa silam. Sayangnya, beberapa aturan hukum di Indonesia masih terkesan melanggengkan intoleransi. Hal ini terjadi sebagai dampak dari praktik indoktrinasi yang kurang sehat. Semestinya kerukunan-toleransi bukan sesuatu yang dipaksakan oleh negara melainkan diupayakan bersama di antara para penganut berbagai agama, dalam satu kerja sama yang positif dengan negara. Kata-kata Kunci: Eropa, Indonesia, kebebasan beragama, Kristen, Pancasila   Religious freedom is a central issue today. The idea is much clearer conceptually, but its implementation is still far from expectations. The author adopts the historical concept of Walter Benjamin as an analytical tool. Benjamin's philosophical reflection emphasizes the importance of learning from the history of the past as a light that guides the perpetrators of today's history. This paper aims at describing the historical momentum of the principle of religious freedom, and   examining the process of acceptation of this concept as one of Human Rights and its discourse in Indonesia. The historical experience of Christians in relation to religious freedom will be a unique contribution to this paper. This study is a library research with a qualitative method design. The results of this study indicate that both the Universal Declaration of Human Rights and the 1945 Constitution which guarantee religious freedom are the fruit of critical reflection on the historical context of the past. Unfortunately, several laws in Indonesia still seem to perpetuate intolerance. This happens as a result of unhealthy indoctrination practices. Harmony-tolerance should not be imposed by the state, but should be pursued jointly among adherents of various religions, in a positive partnership with the state. Keywords: Christians, Europe, Indonesia, Pancasila, religious freedom
Kesepuluh Orang Kusta (Lukas 17:11-19) dari Perspektif Penyintas Hiv di Maumere- Flores Servinus Haryanto Nahak; Gabriel Galus; Yohanes Nepa; Krispianus Wedho; Fransiskus Sempo
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 8 No. 2 (2023): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2023.82.1056

Abstract

AbstractThis paper aims to analyze the text of Luke 17:11-19 about the ten lepers from the perspective of People Living with HIV/AIDS (PLWHA) in Maumere. The author conducts this research by using qualitative method. The data is taken from depth interviews and participatory observation at Flores Plus Support-Maumere Peer Support Group (KDS). By using a reader-oriented approach, this paper analyzed the experiences of PLWHA and their perspectives on the account of the ten lepers. Thefindings showed that for HIV survivors in Maumere, peer groups play an important role in raising their hopes in the midst of high rate of stigma and discrimination. In the eyes of PLWHA, the role of KDS can be juxtaposed with the “group” of the ten lepers in Luke’s story. AbstrakArtikel ini bertujuan untuk menganalisis teks Lukas 17:11-19 tentang kesepuluh orang kusta dari perspektif Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Maumere. Untuk membahas masalah ini penulis melakukan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi partisipatoris di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Flores Plus Support-Maumere. Dengan menggunakan pendekatan reader oriented artikel ini menganalisis pengalaman para ODHA dan sudut pandang mereka tentang kisahkesepuluh orang kusta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, bagi para ODHA di Maumere, kelompok sebaya memainkan peran penting untuk membangkitkan harapan mereka di tengah tingginya stigma dan diskriminasi. Dalam kacamata para ODHA, peran KDS dapat dibandingkan dengan “paguyuban” sepuluh orang kusta dalam kisah Lukas.
ALKITAB DI TANGAN NAPI RUTAN MAUMERE: TANGGAPAN TERHADAP KEBUNTUAN PASTORAL DI NTT Nahak, Servinus Haryanto; Camnahas, Antonio
IN VERITATE LUX Vol 5 No 2 (2022): IN VERITATE LUX: Jurnal Ilmu Kateketik Pastoral Teologi, Pendidikan, Antropologi,
Publisher : STP St. Bonaventura Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.63037/ivl.v5i2.6

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kegiatan rutin Syering Kitab Suci di Rutan Maumere merupakan sebuah model tanggapan terhadap konteks pastoral di NTT. Pembacaan Alkitab berbasis rakyat sebagai anak kandung Teologi Pembebasan telah membawa pengaruh dalam wacana Kerasulan Kitab Suci pada level mundial. Pasca Konsili Vatikan II, Gereja Indonesia pun menggalakkan pembentukan KBG ala Amerika Latin dan Syering Kitab Suci mulai diperkenalkan kepada umat. Namun, upaya menjadikan umat sebagai “pemain utama” di hadapan Alkitab menemukan kendala pastoral di lapangan. Untuk membahas masalah ini penulis melakukan studi kualitatif atas berbagai dokumen dengan menggunakan pola pendekatan “tiga langkah” yang biasa dipakai dalam Ajaran Sosial Gereja: to see-to judge-to act sebagai pisau bedah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gerakan Kerasulan Kitab Suci di NTT 50 tahun terakhir ini ternyata mempunyai konteks yang khas. Pembacaan Alkitab berbasis rakyat versi NTT berhadapan dengan realitas profil KBG yang berciri devosional dan menjadi perpanjangan tangan administrasi parokial. Melihat (to see) realitas yang menantang tersebut, berbagai refleksi (to judge) telah dibuat dan pada gilirannya ditanggapi (to act) secara kreatif. Beberapa komunitas akar rumput yang secara rutin melakukan Syering Kitab Suci di Kota Maumere-Flores merupakan model dari tanggapan tersebut.
KISAH HAGAR DAN ISMAEL SEBAGAI “TEROWONGAN SILATURAHMI”: DASAR BIBLIS MELAWAN ANTI PERADABAN Nahak, Servinus Haryanto
Jurnal Pelayanan Pastoral Jurnal Pelayanan Pastoral (JPP) Vol. 5 No. 2 Oktober 2024
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (UPPM), STP-IPI Malang.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53544/jpp.v5i2.652

Abstract

This article discusses the story of the expulsion of Hagar and Ishmael according to the Book of Genesis. The negative profile of Hagar and Ishmael as inherited in the New Testament (cf. Galatians 4:22-26) needs to be balanced with a more positive model of interpretation. Using qualitative methods through document research, the author emphasizes the opinion that the Book of Genesis is a result of editorial work that intentionally seeks a path of dialogue between different tribes in Palestine. To support the framework above, the author uses narrative analysis and evidence from redaction criticism. The results of this study showed: firstly, the figures of Hagar and Ishmael according to the Book of Genesis are not always black and white as Paul describes in Galatians. Secondly, the story of Hagar and Ishmael is a form of negotiation or joint consensus to seek dialogue and a path of peace so that it can be used as a biblical basis for discussions on interfaith dialogue or borrowing the term after Pope Francis' visit: “the silaturahmi tunnel”.