Shila Suryani
Universitas Jenderal Soedirman

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Profil Pasien Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) Pasca Kraniotomi di ICU RSUD Prof.Dr.Margono Soekarjo Wisnu Budi Pramono; Shila Suryani; Hermin Prihartini
Mandala Of Health Vol 14 No 2 (2021): Mandala Of Health
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (210.059 KB) | DOI: 10.20884/1.mandala.2021.14.2.5160

Abstract

Kraniotomi adalah tindakan yang banyak dilakukan di RSUD Prof.DR.Margono Soekarjo (RSMS) dan rentan terkena infeksi nosokomial, salah satunya adalah Hospital-Aqcuired Pneumonia (HAP). Berdasarkan HAP dibagi menjadi dua : pertama HAP karena penggunaan ventilator 48 jam, kedua HAP karena masa rawatan di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil HAP pasien pasca kraniotomi di ICU RSUP.Prof.Dr.Margono. Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dengan metode non probability sampling. Sampel adalah pasien berusia diatas 18 tahun yang mengalami pneumonia pasca kraniotomi. Data diambil dari ruang IBS,IGD,ICU dan rekam medik RSMS. Hasil insidensi HAP pasca kraniotomi sebesar17%, angka kematian 39%, dengan usia terbanyak diperoleh 51-65 thn (41%), jenis kelamin laki-laki 61%, oprasi emergensi (61%), karna trauma(48%), dengan lama oprasi 2-4 jam(76%), preop GCS <9 (50%), perokok(33%), penyakit paru/trauma paru (13%), diabetes mellitus(9% ),peny jantung (17%), penggunaan ventilator 48 jam 43%, dan kadar albumin <2,5 g/dl (70%). Kuman hasil kultur adalah serretia mercescens (35%). Simpulan: Pasien HAP pasca kraniotomi di ICU RSMS banyak terjadi pada pasien usia 51-65 tahun, laki-laki, menjalani oprasi emergensi dengan penyebab trauma, preoperasi GCS <9, lama oprasi 2-4 jam, memiliki komorbiditas merokok atau diabetes melitus atau penyakit jantung, lama rawatan sebelum HAP > 7 hari, kadar albumin < 2,5 g/dl dengan perkiraan kuman terbanyak adalah serretia mercescens. peny jantung (17%), penggunaan ventilator 48 jam 43%, dan kadar albumin <2,5 g/dl (70%). Kuman hasil kultur adalah serretia mercescens (35%). Simpulan: Pasien HAP pasca kraniotomi di ICU RSMS banyak terjadi pada pasien usia 51-65 tahun, laki-laki, menjalani oprasi emergensi dengan penyebab trauma, preoperasi GCS <9, lama oprasi 2-4 jam, memiliki komorbiditas merokok atau diabetes melitus atau penyakit jantung, lama rawatan sebelum HAP > 7 hari, kadar albumin < 2,5 g/dl dengan perkiraan kuman terbanyak adalah serretia mercescens. peny jantung (17%), penggunaan ventilator 48 jam 43%, dan kadar albumin <2,5 g/dl (70%). Kuman hasil kultur adalah serretia mercescens (35%). Simpulan: Pasien HAP pasca kraniotomi di ICU RSMS banyak terjadi pada pasien usia 51-65 tahun, laki-laki, menjalani oprasi emergensi dengan penyebab trauma, preoperasi GCS <9, lama oprasi 2-4 jam, memiliki komorbiditas merokok atau diabetes melitus atau penyakit jantung, lama rawatan sebelum HAP > 7 hari, kadar albumin < 2,5 g/dl dengan perkiraan kuman terbanyak adalah serretia mercescens. Kata kunci : kraniotomi, HAP,VAP
ENCEPHALITIS ANTI N-METHYL-D-ASPARTATE RECEPTORS Shila Suryani; Calcarina Retno Fitriani Wisudarti
Mandala Of Health Vol 16 No 2 (2023): Mandala of Health
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.mandala.2023.16.2.8584

Abstract

Background : Anti-N-Methyl-D-Aspartate receptor encephalitis is an autoimmune disease where the incidence is still rare which is characterized by complex neuropsychiatric syndrome. In severe stages, it can cause morbidity and mortality so it requires adequate intensive therapeutic management. Cases: 1) Male, 23 years old diagnosed with NMDAR encephalitis at an advanced stage in 10 days of treatment. Patient was given plasma exchange therapy three times and steroids did not respond then given rituximab, did not respond as expected. 2) A 19-year-old male diagnosed with NMDAR encephalitis at an advanced stage on the 7th day of hospitalization. Patient was given plasma exchange therapy 7 times and steroids. The patient showed an improved response to the third plasma exchange therapy, the patient could weaned from the ventilator and then transferred from the ICU. Conclusion: NMDAR encephalitis at an advanced stage requires long intensive care. Immunotherapy is the first-line therapy for NMDAR encephalitis. Immunotherapy options in severe cases can be given plasma exchange in combination with steroids. Rapid diagnosis and early initiation of therapy can provide better outcomes, reduce complications of nosocomial infections and reduce length of stay in the ICU.