I Dewa Ketut Wicaksana
Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Estetika Sastra Kidung Bima Swarga Wicaksana, I Dewa Ketut
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (20109.441 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v2i2.125

Abstract

Tulisan ini mengkaji Estetika Sastra Kidung Bima Swarga yang mengisahkan tentang Bima pergi ke Kawah (nerakaloka) membebaskan ayahnya (Pandu) serta ibu tirinya (Madri) dari siksaan Yamadipati, dan dinaikkan kedua orang tuanya ke sorga (swargaloka). Untuk kepentingan penulisan ini naskah-naskah yang dijadikan sebagai obyek kajian adalah hanya 2 (dua) naskah yang berbentuk puisi (tembang), atas dasar; pertama, teks kidung  Bima Swara (karya tulis Sri Reshi Ananda Kusuma) sudah diterbitkan dan yang satu lagi didokumentasikan (alih aksara) oleh Disbud Bali (1995), namun keduanya belum diterjemahkan, sehingga sulit dimengerti; kedua, secara dramatikal, alur ceritanya merupakan satu kesatuan yang utuh (bulat) sehingga mudah diketahui dan dipahami; ketiga, teks dalam bentuk metrum (pupuh)  disusun berdasarkan aturan­ aturan tertentu sehingga memungkinkan diedesi secara kritis berdasarkan aturan-aturan tersebut; keempat, naskah  tersebut  dalam  konteksnya  sering  dijadikan  pedoman  atau  rujukan  oleh  seniman-seniman (khususnya dalang) untuk dijadikan sumber lakon dalam melakukan aktivitasnya 'ngwayang'; dan kelima, naskah tersebut juga digunakan sebagai media ungkap oleh masyarakat Bali ketika ada orang yang meninggal, dengan resitasi (menembangkan) lewat aktivitas 'mabebasan'. Perspektif hermeneutik dan semiotik, jenis kidung Bima Swarga membentuk struktur global yang mempunyai fungsi dan makna bagi penghayatan dan pengkajian budaya Bali (Indonesia) sebagai sumber inspirasi garapan tema dan amanat. Tema lakon ini adalah 'rna/utang'dengan amanatuya hutang seorang anak kepada orang tuannya karena ia dilahirkan dan dibesarkan, maka ia harus berkewajiban membayar dengan cara bhakti baik secara fisik (mengupacarai) maupun spiritual dengan mencakupkan tangan 'nyumbah'. Nilai­ nilai budaya yang terkandung dalam kidung Bima Swarga meliputi, nilai ajaran dharma  (kewajiban dan kebajikan); nilai yajnya (korban suci dan ketulusan); dan nilai kesetiaan (satya wacana dan suputra). Visi estetiknya, kidung Bima Swarga tercermin lewat keabsahan fungsinya sebagai seni ritual (pitrayadnya), karena mengandung nilai penyerahan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), sehingga muncul rasa tenang, tentram, damai, dan nyaman, terutama bagi masyarakat pendukungnya.
Konsep Teo-Estetika Teks Dharma Pawayangan Pada Pertunjukan Wayang Kulit Bali Wicaksana, I Dewa Ketut
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 6 No 1 (2018): Maret
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2113.228 KB) | DOI: 10.31091/sw.v6i1.355

Abstract

Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk memberikan penyadaran khususnya kepada dalang-dalang muda di Bali, bahwa penguasai Dharma Pawayangan sangatlah penting. Lontar Dharma Pawayangan adalah pustaka khusus yang isinya memuat petunjuk yang membimbing para dalang dalam melaksanakan dharma/kewajibannya sebagai dalang, serta `rambu-rambu` yang mengikat dalang untuk tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran agama Hindu dan etika. Teks lontar tersebut menyinggung hal-hal yang bersifat praktis/estetik, teologi, dan metafisik, yakni berkaitan langsung dengan pertunjukan wayang, dan aspek teologi Hindu yakni aspek satyam/kebenaran, siwam /kesucian, dan sundaram/ keindahan, serta metafisik, yakni memposisikan dalang dan wayang pada alam makrokosmos dan mikrokosmos (bhuwana agung lan bhuwana alit). Akhir-akhir ini ditemukan gejala di masyarakat Pedalangan, adanya kecendrungan untuk tidak memperhatikan lagi petunjuk-petunjuk Dharma Pawayangan. Adanya rasa enggan dihati mereka untuk mempelajari isi pustaka Dharma Pawayangan yang berbahasa Jawa Kuna (Kawi), bahasa Bali bahkan sebagian berbahasa Sanskerta dengan pengertian dan pemahaman yang sangat kompleks. Pengertian dan pemahaman akan Lontar Dharma Pawayangan di masa lampau kemudian teramati saat ini sungguh jauh berbeda, karena berbeda cara pandang serta model pembelajarannya. Orientasi dalang saat ini mempelajari pedalangan/pewayangan lebih ke hal-hal teknis, sehingga aspek teo-estetikanya terabaikan. Atas dasar penelitian dan penelusuran yang mendalam, diharapkan dapat membuka tabir rahasia dibalik arti dan maknanya, mengingat teks Dharma Pawayangan sarat dengan konsep teologis, estetik, filosofis, pendidikan dan nilai-nilai kemanusiaan, sangat potensial sebagai media informasi, edukasi, ritualisasi, hiburan serta pembinaan watak dan kepribadiaan. Penelitian ini mengambil lokasi di Bali, karena diyakini hampir semua dalang-dalang di Bali memiliki Lontar Dharma Pawayangan, termasuk juga di Museum Gedong Kirtya (Singaraja), Pusdok Provinsi Bali, dan Perpustakaan Perguruan Tinggi di Bali. Pada proses pengumpulan data, peneliti dibantu oleh mahasiswa Program Studi Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar sebagai pencatat dan mengambil data foto. Teknik pengambilan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berada dalam wilayah ilmu agama dan seni/estetika. Hal ini sesuai dengan ide pokok penelitian, yaitu untuk mengungkap hal-hal tersembunyi yang tidak menjadi kepedulian, memampukan suatu kesadaran yang lebih kaya terhadap aktualitas teks Dharma Pawayangan melalui pencerahan ilmiah. Mengguna-kan paradigma kritis sebagai landasan berpikir dan hermeneutika sebagai teori kunci, bentuk kajian dilakukan dengan mengembangkan paradoks-paradoks penafsiran makna dan membuka ruang kesadaran baru dalam memahami gejala estetika religius. Paradigma hermeneutika merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang berada di balik sesuatu yang faktual, yang nyata atau yang terlihat. Pluralitas presfektif dalam memberi interpretasi/penafsiran pada gilirannya memberikan kekayaan makna dalam suatu karya sastra, akan menambah kualitas estetika, etika dan logika.The long-term goal of this study is to provide awareness, especially to the young masterminds in Bali, that the Dharma Pawayangan master is very important. Lontar Dharma Pawayangan is a special literature whose contents contain guides that guide the dalangs in performing their dharma/dalang duties, as well as `signs' that bind the dalang not to deviate from the principles of the teachings of Hinduism and ethics. The lontar text deals with practical/aesthetic, theological, and metaphysical matters, which are directly related to wayang performances, related to aspects of Hindu theology of satyam/truth, siwam/sakura, and sundaram/beauty aspects. as well as metaphysical, ie positioning puppeteers and puppets on macrocosmic and microcosmic realms (bhuwana agung lan bhuwana alit). Recently found symptom in Pedalangan society, the tendency to pay no attention to the instructions of Dharma Pawayangan. The reluctance of their hearts to learn the contents of Dharma Pawayangan libraries that speak Old Javanese (Kawi), Balinese language even some speak Sanskrit with understanding and understanding is very complex. Understanding and understanding of Lontar Dharma Pawayangan in the past then observed at this time is very much different, because different way of view and model of learning. The current puppeteer's orientation is to learn puppetry more to technical matters, so the theo-aesthetic aspect is neglected. On the basis of deep research and investigation, it is hoped to unveil the secrets behind its meaning and meaning, since the Dharma Pawayangan text is loaded with theological, philosophical, educational and humanitarian meanings, potential for information, education, ritualization, entertainment and character building and personality. This research takes place in Bali, because it is believed that almost all dalang-dalang in Bali have Lontar Dharma Pawayangan, including also in Gedong Kirtya Museum (Singaraja), Pusdok Bali Province, and Library of Higher Education in Bali. In the process of collecting data, the researcher is assisted by students of Pedalangan Art Studies Program, Faculty of Performing Arts, ISI Denpasar as a recorder and taking photo data. Technique of data retrieval is done by observation, interview and documentation. This research is a qualitative research residing in the area of religion science and art/aesthetics. This is in accordance with the main idea of research, namely to reveal the hidden things that are not a concern, enabling a richer awareness of the actuality of Dharma Pawayangan text through scientific enlightenment. Using a critical paradigm as the basis for thinking and hermeneutics as a key theory, the form of study is done by developing the paradoxes of meaning interpretation and opening up a new awareness space in understanding religious aesthetic phenomena. The hermeneutic paradigm is an intellectual tradition that bases itself on something that is behind something factual, real or visible. The perspective plurality of interpretation in turn provides a wealth of meaning in a literary work, adding to the aesthetic, ethical and logical qualities.
Konsep Teo-Estetika Teks Dharma Pawayangan Pada Pertunjukan Wayang Kulit Bali I Dewa Ketut Wicaksana
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 6 No. 1 (2018): Maret
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2138.543 KB) | DOI: 10.31091/sw.v6i1.355

Abstract

Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk memberikan penyadaran khususnya kepada dalang-dalang muda di Bali, bahwa penguasai Dharma Pawayangan sangatlah penting. Lontar Dharma Pawayangan adalah pustaka khusus yang isinya memuat petunjuk yang membimbing para dalang dalam melaksanakan dharma/kewajibannya sebagai dalang, serta `rambu-rambu` yang mengikat dalang untuk tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran agama Hindu dan etika. Teks lontar tersebut menyinggung hal-hal yang bersifat praktis/estetik, teologi, dan metafisik, yakni berkaitan langsung dengan pertunjukan wayang, dan aspek teologi Hindu yakni aspek satyam/kebenaran, siwam /kesucian, dan sundaram/ keindahan, serta metafisik, yakni memposisikan dalang dan wayang pada alam makrokosmos dan mikrokosmos (bhuwana agung lan bhuwana alit). Akhir-akhir ini ditemukan gejala di masyarakat Pedalangan, adanya kecendrungan untuk tidak memperhatikan lagi petunjuk-petunjuk Dharma Pawayangan. Adanya rasa enggan dihati mereka untuk mempelajari isi pustaka Dharma Pawayangan yang berbahasa Jawa Kuna (Kawi), bahasa Bali bahkan sebagian berbahasa Sanskerta dengan pengertian dan pemahaman yang sangat kompleks. Pengertian dan pemahaman akan Lontar Dharma Pawayangan di masa lampau kemudian teramati saat ini sungguh jauh berbeda, karena berbeda cara pandang serta model pembelajarannya. Orientasi dalang saat ini mempelajari pedalangan/pewayangan lebih ke hal-hal teknis, sehingga aspek teo-estetikanya terabaikan. Atas dasar penelitian dan penelusuran yang mendalam, diharapkan dapat membuka tabir rahasia dibalik arti dan maknanya, mengingat teks Dharma Pawayangan sarat dengan konsep teologis, estetik, filosofis, pendidikan dan nilai-nilai kemanusiaan, sangat potensial sebagai media informasi, edukasi, ritualisasi, hiburan serta pembinaan watak dan kepribadiaan. Penelitian ini mengambil lokasi di Bali, karena diyakini hampir semua dalang-dalang di Bali memiliki Lontar Dharma Pawayangan, termasuk juga di Museum Gedong Kirtya (Singaraja), Pusdok Provinsi Bali, dan Perpustakaan Perguruan Tinggi di Bali. Pada proses pengumpulan data, peneliti dibantu oleh mahasiswa Program Studi Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar sebagai pencatat dan mengambil data foto. Teknik pengambilan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berada dalam wilayah ilmu agama dan seni/estetika. Hal ini sesuai dengan ide pokok penelitian, yaitu untuk mengungkap hal-hal tersembunyi yang tidak menjadi kepedulian, memampukan suatu kesadaran yang lebih kaya terhadap aktualitas teks Dharma Pawayangan melalui pencerahan ilmiah. Mengguna-kan paradigma kritis sebagai landasan berpikir dan hermeneutika sebagai teori kunci, bentuk kajian dilakukan dengan mengembangkan paradoks-paradoks penafsiran makna dan membuka ruang kesadaran baru dalam memahami gejala estetika religius. Paradigma hermeneutika merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang berada di balik sesuatu yang faktual, yang nyata atau yang terlihat. Pluralitas presfektif dalam memberi interpretasi/penafsiran pada gilirannya memberikan kekayaan makna dalam suatu karya sastra, akan menambah kualitas estetika, etika dan logika.The long-term goal of this study is to provide awareness, especially to the young masterminds in Bali, that the Dharma Pawayangan master is very important. Lontar Dharma Pawayangan is a special literature whose contents contain guides that guide the dalangs in performing their dharma/dalang duties, as well as `signs' that bind the dalang not to deviate from the principles of the teachings of Hinduism and ethics. The lontar text deals with practical/aesthetic, theological, and metaphysical matters, which are directly related to wayang performances, related to aspects of Hindu theology of satyam/truth, siwam/sakura, and sundaram/beauty aspects. as well as metaphysical, ie positioning puppeteers and puppets on macrocosmic and microcosmic realms (bhuwana agung lan bhuwana alit). Recently found symptom in Pedalangan society, the tendency to pay no attention to the instructions of Dharma Pawayangan. The reluctance of their hearts to learn the contents of Dharma Pawayangan libraries that speak Old Javanese (Kawi), Balinese language even some speak Sanskrit with understanding and understanding is very complex. Understanding and understanding of Lontar Dharma Pawayangan in the past then observed at this time is very much different, because different way of view and model of learning. The current puppeteer's orientation is to learn puppetry more to technical matters, so the theo-aesthetic aspect is neglected. On the basis of deep research and investigation, it is hoped to unveil the secrets behind its meaning and meaning, since the Dharma Pawayangan text is loaded with theological, philosophical, educational and humanitarian meanings, potential for information, education, ritualization, entertainment and character building and personality. This research takes place in Bali, because it is believed that almost all dalang-dalang in Bali have Lontar Dharma Pawayangan, including also in Gedong Kirtya Museum (Singaraja), Pusdok Bali Province, and Library of Higher Education in Bali. In the process of collecting data, the researcher is assisted by students of Pedalangan Art Studies Program, Faculty of Performing Arts, ISI Denpasar as a recorder and taking photo data. Technique of data retrieval is done by observation, interview and documentation. This research is a qualitative research residing in the area of religion science and art/aesthetics. This is in accordance with the main idea of research, namely to reveal the hidden things that are not a concern, enabling a richer awareness of the actuality of Dharma Pawayangan text through scientific enlightenment. Using a critical paradigm as the basis for thinking and hermeneutics as a key theory, the form of study is done by developing the paradoxes of meaning interpretation and opening up a new awareness space in understanding religious aesthetic phenomena. The hermeneutic paradigm is an intellectual tradition that bases itself on something that is behind something factual, real or visible. The perspective plurality of interpretation in turn provides a wealth of meaning in a literary work, adding to the aesthetic, ethical and logical qualities.