Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Model Penyelesaian Sengketa dan Peradilan Adat di Aceh Nanda Amalia; Mukhlis Mukhlis; Yusrizal Yusrizal
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 25 No. 1: JANUARI 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol25.iss1.art8

Abstract

This research had two objectives: first to explore the opinions of Aceh community, especially those who lived in Gampong (village) area, about the implementation of customary court in Gampong and second to illustrate the dispute resolution models used by the Gampong Customary Court and any considerations underlying its judgment in making decisions. This was a qualitative research, using a socio-legal approach that specifically took place in Lhokseumawe, Northern Aceh, Meulaboh and Tapak Tuan. In addition to literature studies, the data collection was also done through field research. This study concluded that, first, the existence of Gampong customary court is perceived by the society to have an alternative and positive potential as the resolution of minor violations that could be resolved by the community. In addition, the existence of this customary court could reduce the accumulated cases in court as well as could help the community access the protection of their rights. Second, there are two models of dispute resolution in Gampong, namely a simple dispute resolution model with the involvement of Geuchik and the element of Tuha Peut Gampong. Another model is a dispute resolution model that resembles formal trials based on the customary court guidelines issued by Aceh Customary Board.
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 46P/hum/2018 TERKAIT UJI MATERIIL PASAL 4 AYAT (3) PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 20 TAHUN 2018 Muhamad Aulia Ichsan; Yusrizal Yusrizal; Mukhlis Mukhlis
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 10, No 2 (2022): Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh - Oktober 2022
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v10i2.9013

Abstract

Badan penyelenggara pemilihan umum di Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dasar hukum di Indonesia tentang penyelenggaraan pemilu tertuang dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh badan penyelenggara pemilu yang tetap dan independen. PKPU No 20 Tahun 2020 ada beberapa pihak yang tidak puas dan menggugat PKPU tersebut ke Mahkamah Agung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada bahan hukum yang berfokus pada membaca dan mempelajari bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dasar pertimbangan hukum Mahkamah Agung adalah bahwa hakim menilai Peraturan KPU no. 20 Tahun 2018 dalam frasa ini tidak menjamin hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam konstitusi yaitu soal memilih dan dipilih yang termuat dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 73 UU. Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, pengakuan hak politik diakui dalam kovenan internasional tentang hak sipil dan politik (ICCPR) yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 2200A yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik. Selanjutnya, menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam ketentuan tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak menyebutkan norma atau aturan larangan mencalonkan mantan narapidana korupsi sebagaimana tertuang dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018. Disarankan kepada pemerintah agar sudah saatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum agar segera direvisi oleh lembaga pembentuk undang-undang dan calon penyelenggara negara perlu bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama bagi calon anggota legislatif.