Kekerasan seksual sering dianggap sebagai perilaku menyimpang karena perilaku tersebut memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual atau menjadikan orang tersebut sebagai objek perhatian yang tidak diinginkan. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui penerapan pelatihan asertif untuk menangani korban tindak pidana kekerasan seksual dan memberikan gambaran mengenai perlindungan sementara yang diberikan oleh aparat penegak hukum kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Sumber data yang dipakai ialah data sekunder atau data yang diperoleh secara tidak langsung melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan asertif merupakan sebuah upaya agar dapat mengurangi kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual dengan menerapkan kebutuhankebutuhan manusia terutama kebutuhan untuk mengekspresikan diri secara penuh, terbuka, dan tanpa rasa takut jika ada ejekan dan perasaan bersalah. Sejak ada laporan kasus tindak pidana kekerasan seksual dalam waktu 1x24 jam, maka korban berhak mendapatkan perlindungan sementara dari kepolisian. Perlindungan sementara diberikan berdasarkan surat perintah perlindungan sementara untuk waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak korban ditangani. Dalam rangka melindungi korban, aparat kepolisian dapat membatasi gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.