Muhammad Fawwaz Farhan Farabi
Universitas Indonesia

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Polemik Legalitas Pemecatan Hakim Konstitusi oleh Lembaga Pengusul: Tinjauan Kasus Pemecatan Hakim Aswanto dan Implikasinya Terhadap Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Muhammad Fawwaz Farhan Farabi; Tanaya
Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains Vol 2 No 04 (2023): Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains
Publisher : Westscience Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58812/jhhws.v2i04.291

Abstract

Sistem pemerintahan Indonesia terdiri dari tiga lembaga utama yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tiap lembaga memiliki fungsi dan kewenangannya masing-masing agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Prinsip negara hukum juga memerlukan adanya pengadilan yang independen dan tidak memihak, termasuk kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan bebas dari intervensi dan pengaruh kekuasaan lain. Proses pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi (“MK”) dari ketiga cabang kekuasaan, yaitu DPR (legislatif), Presiden (eksekutif), dan Mahkamah Agung (yudikatif) bertujuan untuk memastikan integritas, independensi, dan kontrol yang tepat. Secara normatif, baik DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung tidak memiliki kewenangan untuk memecat Hakim MK yang telah diusulkan secara sepihak. Namun, pada 29 September 2022, DPR mencopot Hakim Aswanto dari MK dengan pertimbangan yang tidak dibenarkan konstitusi. Hal ini dapat merusak independensi peradilan dan tidak mencerminkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis polemik legalitas pemecatan Hakim Aswanto dan implikasinya terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang mengacu pada bahan kepustakaan (library research) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencopotan Aswanto tidak sesuai dengan pasal 23 ayat (4) UU MK dan pemerintah harus memastikan bahwa segala keputusan MK didasarkan pada hukum dan konstitusi, bukan kepentingan politik atau kekuasaan. Sebagai "guardian of constitution", MK merupakan roh dari negara hukum dan eksistensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman menjadi sangat penting.
Quo Vadis: Konsep Meaningful Participation sebagai Implikasi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/202 dalam Menunjang Hak Konstitusional Caroline Gabriela Pakpahan; Muhammad Fawwaz Farhan Farabi; Rianjani Rindu Rachmania
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 10, No 4 (2023)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v10i3.32560

Abstract

Low public participation in the political process certainly results in democracy being ineffective. The lack of socialization in the community, both in discussions regarding academic texts and in material regarding amendments to the quo law during meetings in various community groups, proves that the implementation of meaningful participation is not being implemented well. The aim and purpose of writing this article is to ensure that studies and reviews of government policies governing meaningful participation such as Law Number 13 of 2022 concerning the Second Amendment to Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislative Regulations can be carried out. The research method used in this article is normative juridical. The significance of this article is that it is hoped that it can provide an academic basis for the government to realize the appropriate and effective implementation of meaningful participation. The conclusion of this article is that it is hoped that the government can create a space for deliberative discussion and use clear nomenclature in legislation to avoid the potential for government arbitrariness in supporting the constitutional rights of its people.Keywords: Meaningful Participation; Constitutional Rights; Job Creation Law AbstrakRendahnya partisipasi masyarakat dalam proses politik tentu mengakibatkan demokrasi menjadi tidak efektif. Minimnya sosialisasi kepada masyarakat, baik dalam pembahasan terkait naskah akademik maupun dalam materi amandemen undang-undang a quo pada saat pertemuan di berbagai kelompok masyarakat, membuktikan bahwa penerapan meaningful participation tidak terlaksana dengan baik. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk memastikan kajian dan tinjauan mengenai kebijakan pemerintah yang mengatur mengenai meaningful participation seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dapat dilakukan. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah yuridis normatif. Signifikansi dalam artikel ini adalah diharapkan dapat memberikan landasan akademik bagi pemerintah untuk mewujudkan penerapan meaningful participation yang tepat dan efektif. Kesimpulan dalam artikel ini adalah diharapkan pemerintah dapat menciptakan ruang diskusi deliberatif dan penggunaan nomenklatur yang jelas dalam peraturan perundang-undangan guna menghindari potensi terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam menunjang hak konstitusional rakyatnya.Keywords: Meaningful Participation; Hak Konstitusional; Undang-Undang Cipta Kerja