Rex Firenze Tonta
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Menggali Nilai Pancasila Dalam Tarian Raego Topo Uma Dengan Perspektif Filsafat Fenomenologis Armada Riyanto Rex Firenze Tonta; Pius Pandor
Studi Budaya Nusantara Vol 7, No 1 (2023)
Publisher : Studi Budaya Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Fokus paper ini menggali nilai-nilai Pancasila dalam kearifan lokal masyarakat Topo Uma di desa Porelea, Kec. Pipikoro, Kab. Sigi, Sulawesi Tengah. Secara khusus Tarian Raego, ini merupakan tarian yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam formasi melingkar sambil melantunkan syair-syair dalam bahasa Uma tua. Tujuan dari paper ini untuk menelusuri apakah pengandaian bahwa nilai-nilai Pancasila dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia itu sungguh-sungguh berakar dan dihayati secara khusus oleh masyarakat Topo Uma. Metode yang digunakan dalam riset ini kualitatif, dengan pendekatan filsafat fenomenologis perspektif Armada Riyanto yang diperoleh dari buku Kearifan Lokal~Pancasila:Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, juga dalam buku Relasionalitas dan Metodologi karyanya. Perspektif filosofis fenomenologis itu menyumbang interpretasi fenomenologis untuk menguraikan pengalaman dan penghayatan masyarakat Topo Uma. Temuan dalam riset ini, perkataan bahwa nilai-nilai Pancasila itu hidup dan berakar dalam kearifan lokal masyarakat bukan hanya sekadar slogan. Secara khusus sila pertama, itu meresapi dan dihayati dalam kehidupan masyarakat Topo Uma bahkan sebelum masuknya agama Kristen di sana seperti sebutan kepada entitas yang melampaui atau mengatasi, yaitu; Karampue Langi, Karampue Tana atau Topehila Ngkarawe Topejadi.
RELASI MASYARAKAT MARGINAL SEBAGAI LIYAN DALAM KONFLIK AGRARIA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF LIYAN SEBAGAI ORANG KETIGA ARMADA RIYANTO Rex Firenze Tonta
Masokan Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol. 3 No. 2 (2023): Desember 2023
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Toraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34307/misp.v3i2.123

Abstract

This article aims to identify patterns of relations between marginalized communities (indigenous communities, farmers, etc.) and the state (government, regulations, officials) in agrarian conflicts in Indonesia. This article uses Armada Riyanto's thinking about "others as third people" as a basis for analyzing relations in agrarian conflicts between society and the state. The finding in this article is that the other as a third person in the agrarian conflict in Indonesia, which is occupied by marginalized communities, is not something natural, but is produced either from historical deposits or hegemonic residue in the discriminatory Dutch colonial agrarian policies in the domain verklaring. Or through formalization in language grammar and everyday experience which creates an isolating zone for others, so that the possibility of participation disappears. The state has more authority because it has many instruments, such as regulating regulations and enforcing them, which have the potential to formalize and perpetuate discrimination. Although regulations are still needed as a guarantee and legality to protect citizens' rights to their land, they can be a means of recognizing land for communities that have been marginalized. So whatever development program is carried out by the government based on the aim of improving the welfare of society and the environment needs to be supported. However, on the other hand, it must still consider or be sensitive to marginalized community groups who often become "victims" in the name of development. Tujuan artikel ini untuk mengidentifikasi pola relasi antara masyarakat marginal (masyarakat adat, petani dll.) dan negara (pemerintah, regulasi, aparat) dalam konflik agraria di Indonesia. Artikel ini menggunakan pemikiran Armada Riyanto tentang “liyan sebagai orang ketiga” sebagai landasan untuk menganalisis relasi dalam konflik agraria antara masyarakat dan negara. Temuan dalam artikel ini adalah liyan sebagai orang ketiga dalam konflik agraria di Indonesia yang ditempati oleh masyarakat marginal, bukanlah sesuatu yang kodrati, melainkan dihasilkan baik dari endapan historis atau residu hegemonik dalam kebijakan diskriminatif agraria kolonial Belanda dalam domein verklaring. Maupun melalui formalisasi dalam gramatika bahasa dan pengalaman sehari-hari yang menciptakan zona isolatif bagi liyan, sehingga kemungkinan partisipasinya lenyap. Kewenangan lebih yang dimiliki negara karena punya banyak instrumen seperti mengatur regulasi juga penegakannya berpotensi untuk melakukan formalisasi dan melanggengkan diskriminasi. Walaupun regulasi tetap dibutuhkan sebagai jaminan dan legalitas untuk melindungi hak warga negara atas tanahnya, hal itu dapat menjadi sarana pengakuan atas tanah bagi masyarakat yang selama ini termarginalkan. Jadi apapun program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang didasarkan pada tujuan ingin menyejahterakan masyarakat dan lingkungannya perlu didukung, namun di lain pihak tetap harus mempertimbangkan atau memiliki kepekaan terhadap kelompok masyarakat marginal yang seringkali menjadi “korban” atas nama pembangunan.