Damian Agata Yuvens, Damian Agata
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Analisis Kritis terhadap Perjanjian Perkawinan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Yuvens, Damian Agata
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 4 (2017)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (382.126 KB) | DOI: 10.31078/jk1445

Abstract

Pengujian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditujukan untuk memastikan agar warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing bisa tetap memiliki hak atas tanah dengan titel Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan. Hasil akhirnya, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, melalui Putusan No. 69/PUU-XIII/2015, menolak sebagian permohonan yang diajukan dan memberikan tafsir sehubungan dengan perjanjian perkawinan, sehingga perjanjian perkawinan juga bisa dibuat selama dalam ikatan perkawinan. Namun demikian, terdapat masalah nyata dalam Pertimbangan Hukum yang disusun, yaitu falasi, kurangnya pertimbangan dan tidak adanya analisis dampak. Di sisi lain, penilaian yang dilakukan secara terpisah oleh Mahkamah Konstitusi terhadap objek yang diujikan menyebabkan tidak tampaknya perdebatan komprehensif mengenai isu pokok yang diujikan. Terlepas dari kekurangan tersebut, tak dapat pula disangkal bahwa Putusan No. 69/PUU-XIII/2015 memberikan alternatif jalan keluar.Review on some provisions in Law of the Republic of Indonesia Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles as well as Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 1974 concerning Marriage were submitted in order to ensure that Indonesian citizen who marries foreign citizen could still hold land right with title of the Right of Ownership and the Right of Building. As a result, Constitutional Court of the Republic of Indonesia, through Decision No. 69/PUUXIII/2015, rejected part of the petition and provided interpretation in relation to marital agreement, so that marital agreement could be drafted during the marriage relation. Nevertheless, there are visible problems in the Legal Consideration, namely fallacy, lack of consideration and no impact analysis. On the other hand, assessment conducted separately by Constitutional Court of the Republic of Indonesia caused the invisibility of comprehensive debate on the main issue that is contested. Apart from the said shortcomings, it is undeniable that Decision No. 69/PUU-XIII/2015 provided alternative way out.
Penerapan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Perspektif Kontemporer Yuvens, Damian Agata
Jurnal Konstitusi Vol 13, No 4 (2016)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (377.009 KB) | DOI: 10.31078/jk1343

Abstract

Article 1 paragraph (2) Indonesian Criminal Code is an article designed as bridge between the old and new criminal provisions. Recalling the “age” of Article 1 paragraph (2) Indonesian Criminal Code that is so old, there is an urgency to conduct analysis in contemporary perspective whether or not Article 1 paragraph (2) Indonesian Criminal Code can be implemented under the current law regime in Indonesia. In implementing Article 1 paragraph (2) Indonesian Criminal Code, elements that shall be regarded are: (i) defendant; (ii) change of laws and regulations after the crime is committed; (iii) most favourable provision. There should be an adjustment on the method of interpreting both elements of defendant and change of law and regulations; on the other hand, there must be a case-by-case study to answer the element of most favourable provision. Aside from elements of Article 1 paragraph (2) Indonesian Criminal Code, there should also be a consideration on transitional provisions of the changed law to determine whether or not Article 1 paragraph (2) Indonesian Criminal Code could be implemented.
Analisis Yuridis terhadap Kewajiban Hakim Perdata dalam Menilai Kompetensinya Secara Otonom Yuvens, Damian Agata; Hutabarat, Rianty
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.92

Abstract

Buku II Mahkamah Agung menentukan bahwa pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 132 Rv menyatakan bahwa ketidakberwenangan adalah hal yang harus dinyatakan oleh hakim secara ex offi cio. Sayangnya, kedua ketentuan ini tidak selalu diterapkan. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kedua kewajiban ini seyogianya dilaksanakan? Dalam tulisan ini, pertanyaan ini dijawab dengan menggunakan kacamata normatif pada 2 tataran, yaitu azas dan implementasi. Azas yang menjadi batu uji adalah azas hakim bersifat pasif dan azas ius curia novit. Sehubungan dengan azas hakim bersifat pasif, yang menjadi sorotan adalah ruang lingkup kepasifan hakim perdata dalam pemeriksaan perkara dan kemungkinan terjadinya ultra petita, sedangkan untuk azas ius curia novit, yang menjadi sorotan adalah kemungkinan terlanggaranya adagium hakim tidak boleh menolak perkara. Analisis pada tataran implementasi dari kewajiban hakim dalam memeriksa kompetensinya dilakukan dengan membayangkan implementasinya dari sisi positif dan negatif. Jika kewajiban ini dilakukan, beban hakimlah yang menjadi masalah utama, namun jika tidak dilakukan, kemungkinan menjamurnya vexatious litigation dan ketiadaan upaya hukumlah yang terbayang. Kesimpulannya adalah, hakim perdata seyogianya melakukan penilaian terhadap kompetensinya terlebih dahulu ketika suatu permohonan diajukan kepadanya.
Analisis Yuridis terhadap Kewajiban Hakim Perdata dalam Menilai Kompetensinya Secara Otonom Yuvens, Damian Agata; Hutabarat, Rianty
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.168 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.92

Abstract

Buku II Mahkamah Agung menentukan bahwa pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 132 Rv menyatakan bahwa ketidakberwenangan adalah hal yang harus dinyatakan oleh hakim secara ex offi cio. Sayangnya, kedua ketentuan ini tidak selalu diterapkan. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kedua kewajiban ini seyogianya dilaksanakan? Dalam tulisan ini, pertanyaan ini dijawab dengan menggunakan kacamata normatif pada 2 tataran, yaitu azas dan implementasi. Azas yang menjadi batu uji adalah azas hakim bersifat pasif dan azas ius curia novit. Sehubungan dengan azas hakim bersifat pasif, yang menjadi sorotan adalah ruang lingkup kepasifan hakim perdata dalam pemeriksaan perkara dan kemungkinan terjadinya ultra petita, sedangkan untuk azas ius curia novit, yang menjadi sorotan adalah kemungkinan terlanggaranya adagium hakim tidak boleh menolak perkara. Analisis pada tataran implementasi dari kewajiban hakim dalam memeriksa kompetensinya dilakukan dengan membayangkan implementasinya dari sisi positif dan negatif. Jika kewajiban ini dilakukan, beban hakimlah yang menjadi masalah utama, namun jika tidak dilakukan, kemungkinan menjamurnya vexatious litigation dan ketiadaan upaya hukumlah yang terbayang. Kesimpulannya adalah, hakim perdata seyogianya melakukan penilaian terhadap kompetensinya terlebih dahulu ketika suatu permohonan diajukan kepadanya.
DILEMA UPAYA HUKUM TERHADAP PENYADAPAN Yuvens, Damian Agata; Widigda, Rangga Sujud; Sharifa, Aisyah
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Although interception is not a new institution in Indonesia, unfortunately the regulations are still scattered and different from one to another. In its context as authority of law enforcer, interception does not have horizontal balancing mechanism. Referring to considerations of Constitutional Court of the Republic of Indonesia in expanding the scope of pre-trial, apparently those considerations could be applied towards interception, thus conceptually, it can be said that pre-trial could be stretched to include interception. Nevertheless, there is incompatibility between concept of pre-trial and regulations concerning interception in the prevailing laws