Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Fenomenologi Sebagai Filsafat dan Usaha Kembali Ke Permulaan Thomas Hidya Tjaya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (165.981 KB)

Abstract

Abstrak: Dalam pengantar pada karyanya Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty praktis mengidentikkan filsafat dengan fenomenologi sebagai usaha untuk mempelajari kembali bagaimana cara melihat dunia. Dalam upaya tersebut ia mengajak pembaca, mengikuti slogan khas fenomenologi Husserl, untuk kembali ke permulaan atau bendabenda itu sendiri. Yang menarik adalah bahwa permulaan yang dianalisis oleh Merleau-Ponty justru tubuh manusia, sebuah dimensi yang cenderung dipandang rendah dalam sejarah filsafat Barat. Ia tidak sendirian dalam hal ini, mengingat dalam fenomenologinya Levinas juga menekankan sensibilitas sebagai locus etika. Menurut penulis, gerakan fenomenologi menuju hal yang sensibel (the sensible) ini tidaklah mengubah hakikat filsafat sebagai usaha untuk mencari asal mula realitas. Realitas yang tersingkap dalam orientasi demikian justru menjadi lebih integral dan komprehensif daripada apa yang selama ini dikenal dalam sejarah filsafat dan sains. Meskipun demikian, orientasi pada pengalaman konkret manusia untuk menggali dasar realitas secara potensial menimbulkan masalah bagi fenomenologi itu sendiri yang selalu ingin kembali ke permulaan. Kata-kata Kunci: Fenomenologi, asal mula, permulaan, ada-dalam-dunia, sains. Abstract: In the Preface to his work Phenomenology of Perception Merleau-Ponty virtually identifies philosophy with phenomenology as a way of relearning to see the world. For this purpose he invites the reader, following the catchphrase in Husserls phenomenology, to return to the beginning or the things themselves. What is interesting is that the beginning that Merleau-Ponty analyzes is the human body, which belongs to a dimension that tends to be despised in the history of Western philosophy. He is not alone in this type of investigation, as Levinas also emphasizes sensibility as the locus of ethics. The author argues that the phenomenological movement towards the sensible does not alter the nature of philosophy as an attempt to seek for the nature of reality. The reality as disclosed in this analysis can be more integral and comprehensive than what is usually presented in the history of philosophy and science. The orientation towards the concrete dimension of human life in search for the foundation of reality, however, may cause a problem for phenomenology itself insofar as it always tries to return to the beginning. Keywords: Phenomenology, origin, beginning, being-in-the-world, science.
Rebekka A. Klein, Sociality as the Human Condition: Anthropology in Economic, Philosophical and Theological Perspective, transl. Martina Sitling, Leiden and Boston: Brill, 2011, 324 hlm. Thomas Hidya Tjaya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.653 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v12i1.125

Abstract

Dimensi sosial manusia telah lama menjadi subjek telaah filsafat sebagai wujud kesadaran bahwa manusia adalah zoon politikon (Aristoteles) atau homo sociale (Seneca). Pertanyaan umum yang biasa diajukan adalah, apakah manusia memang mampu bertindak secara altruistik, atau apakah manusia memiliki empati alamiah. Analisis ini tentu saja tidak dimonopoli oleh filsafat saja. Belakangan ini, ilmu-ilmu alam dan sosial seperti ekonomi, sosiobiologi, dan neurosains juga terlibat dalam studi atas dimensi yang dipandang khas pada manusia ini. Dalam ranah yang disebut sebagai “ekonomi eksperimental,”’ misalnya, dipelajari perilaku kerjasama antarindividu yang hasilnya diharapkan dapat menjelaskan dasar perilaku sosial manusia. Dalam buku yang terdiri atas empat bab besar ini dianalisis berbagai pandangan mengenai relasi sosial manusia dalam konteks antropologi interdisipliner. Pengarang memperlihatkan perbedaan pandangan mengenai sosialitas dalam setiap bidang ilmu. Dalam disiplin neuroekonomi, sosialitas dipahami sebagai struktur preferensi perilaku manusia yang berakar pada neurobiologi. Dalam fenomenologi sosial dan etika, istilah ini mengacu pada struktur dasar perbedaan dan relasionalitas dalam relasi antarmanusia. Teologi sendiri melihat sosialitas sebagai struktur relasi manusia dengan Tuhan dan sesama. Pengarang buku ini menunjukkan bahwa konsep mengenai aspek sosial manusia dalam bidang-bidang ini memang tidak sama, dan karena itu, pemahaman mengenai sosialitas manusia perlu dibangun berdasarkan konteks disiplin yang bersangkutan. .......................... Pembahasan atas topik sosialitas dalam buku ini memang sangat luas dan kaya karena melibatkan banyak pemikir dalam bidang ini seperti Hannah Arendt, Thomas Hobbes, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Axel Honneth, Charles Taylor, Paul Ricoeur, dan Emmanuel Levinas. Dalam pemaparan mengenai relasi antarmanusia dari sudut teologis, pemikiran filsuf-teolog Søren Kierkegaard banyak sekali digunakan. Di satu sisi, kehadiran begitu banyak pemikir dalam buku ini dapat membuat pembaca kewalahan dalam memahami isinya. Di sisi lain, hal ini justru dapat dilihat sebagai salah satu kekayaan buku ini, yang dapat membuka wawasan pembaca dan mengajaknya untuk lebih mendalami pemikiran tokoh tertentu sesuai dengan minatnya. Seluruh studi ini membawa pengarang kepada kesimpulan bahwa hakikat sosialitas manusia tidak- lah dapat dipahami hanya dengan membandingkannya dengan sosialitas hewan, sebagaimana biasanya dilakukan. Pada akhirnya, hakikat ke- manusiaan, termasuk sosialitasnya, akan tersingkap dalam relasi dan interaksi konkret antarmanusia, entah bersifat positif atau negatif. Hanya dengan demikian kita akan memahami siapakah diri kita yang sesungguh- nya sebagai manusia. (Thomas Hidya Tjaya, Program Studi Ilmu Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Creativity and God In Whitehead's Process Philosophy Thomas Hidya Tjaya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.847 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.133

Abstract

Abstract: The category of creativity unquestionably occupies a central position in Alfred North Whitehead’s philosophy of organism. Its employment is hardly surprising given his project to establish a speculative philosophy that is compatible with modern science. This article examines the use of such a category in this project and argues that the separation between creativity and God causes several problems, including the absence of an ontological principle that may ground the interaction of the various elements in this metaphysical scheme. A more fundamental question is also raised concerning the nature of this project, which walks a fine line between philosophy and science. Keywords: Whitehead, creativity, the Category of the Ultimate, metaphysics, Aristotle, organism, God. Abstrak: Kategori kreativitas jelas memperoleh tempat sentral dalam filsafat organisme Alfred North Whitehead. Kehadiran kategori ini tidaklah mengherankan mengingat usahanya untuk membangun sebuah filsafat spekulatif yang selaras dengan sains modern. Artikel ini hendak mengevaluasi penggunaan kategori ini dan menyampaikan argumen bahwa pemisahan antara kreativitas dan Tuhan memuat sejumlah masalah, termasuk ketiadaan sebuah prinsip ontologis yang dapat menyatukan interaksi berbagai unsur dalam skema metafisika ini. Sebuah pertanyaan lebih mendasar juga diajukan terkait dengan hakikat proyek ini sendiri yang memperlihatkan tipisnya batas antara filsafat dan sains. Kata-kata Kunci: Whitehead, kreativitas, Kategori Pokok, metafisika, Aristoteles, organisme, Tuhan.
SCHULZE’S AENESIDEMUS AND THE FOUNDATION OF PHILOSOPHY Thomas Hidya Tjaya
Jurnal Ledalero Vol 12, No 1 (2013): Tanggal Hujat , Tempuh Dialog : 50 Tahun Konsili Vatikan II
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (382.244 KB) | DOI: 10.31385/jl.v12i1.85.113-132

Abstract

Immanuel Kant membangun filsafat kritisnya untuk menjawab pandangan skeptis David Hume mengenai kepastian pengetahuan manusia dan mencoba mendamaikan dua pendekatan yang berbeda terhadap pengetahuan dan tindakan, yakni rasionalisme dan empirisme. Dalam karyanya berjudul Aenesidemus, Gottlob Ernst Schulze mempertanyakan klaim Kant bahwa skeptisisme Hume telah terjawab melalui filsafat kritisnya. Artikel ini pertama-tama membahas teks Aenesidemus dengan memberikan perhatian khusus pada kritik Schulze terhadap pandangan Karl Leonhard Reinhold mengenai ‘fakultas’ representasi dan kegagalan Kant dalam membedakan antara sebab dan syarat pengetahuan. Dalam tanggapannya terhadap karya Schulze ini, Fichte memperlihatkan kesalahpahaman Schulze atas pokok-pokok penting dalam filsafat kritis sekaligus menunjukkan arah filsafat kritis yang hendak ditempuhnya sendiri. Di satu sisi, filsafat kritis memang menuai polemik dengan berbagai kritik dan tanggapan yang mengubah arah filsafat Barat sendiri. Akan tetapi, di sisi lain, seluruh rangkaian peristiwa ini justru memperlihatkan sebuah dialog dalam filsafat sendiri sebagai usaha untuk menemukan fondasi kuat dan mantap atas klaim-klaimnya. Dialog ini menunjukkan keterbukaan filsafat terhadap berbagai bentuk kebenaran yang terus menerus disingkapkan. Keywords: Schulze, Aenesidemus, Fichte, Kant, critical philosophy, skepticism, Reinhold, faculty of representation.
Does Ethics Presuppose Religion? A Levinasian Perspective: Apakah Etika Mengandaikan Agama? Perspektif Emmanuel Levinas Tjaya, Thomas Hidya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 20 No. 2 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v20i2.577

Abstract

Levinas’s fundamental thought about ethics as the questioning of the I by the other earns him a unique position among moral philosophers who usually analyze the good-and-bad principles of a moral action. Levinas places such questioning on the idea of metaphysics as desire for the InÞnite that leads to the responsibility for the Other. With such an idea about ethics, one may ask whether Levinas’s thought is rooted in religion. This article purports to analyze the question by analyzing how Levinas understands the relationship between ethics and religion and whether his ethics is nothing but religion. Using the phenomenological method and textual analysis, the author shows that the answer to these questions is inherently complex. For Levinas, true ethics is fundamentally religious, and conversely, a true religion is fundamentally ethical. All this is manifested, among others, in the acknowledgment of the transcendence of the Other and the refusal to all forms of totalization. Abstrak Pemikiran fundamental Levinas mengenai etika sebagai pemertanyaan atas sang Aku oleh Yang Lain menempatkannya pada posisi unik di kalangan Þlsuf moral yang biasanya membahas prinsip baik-buruk sebuah tindakan moral. Levinas menempatkan pemertanyaan ini pada gagasan metaÞsika seperti hasrat terhadap Yang Tak Terbatas yang membawa kepada rasa tanggung jawab terhadap orang lain. Gagasan demikian dengan mudah menimbulkan pertanyaan apakah etika Levinas berakar pada agama. Artikel ini hendak menjawab pertanyaan tersebut dengan mendalami bagaimana Levinas memahami hubungan antara etika dan agama serta apakah etikanya tak lain merupakan sebuah agama. Menggunakan metode fenomenologi dan analisis tekstual, penulis menunjukkan bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut secara inheren bersifat sangat kompleks. Bagi Levinas, etika sejati secara fundamental bersifat religius, dan demikian pula, agama sejati secara fundamental bersifat etis. Hal ini terungkap antara lain dalam pengakuan atas transendensi Yang Lain dan penolakan atas segala bentuk totalisasi. Kata-kata Kunci: etika, agama, transendensi, Yang Lain, totalisasi, Yang Tak Terbatas.