Tika Adilistya, Tika
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

FUNGAL PERITONITIS PADA PASIEN DENGAN CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS Adilistya, Tika; Timan, Ina Susianti
Jurnal Kedokteran YARSI Vol 24, No 2 (2016): MEI - AGUSTUS 2016
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33476/jky.v24i2.261

Abstract

Fungal peritonitis hanya terjadi pada 3-6% kasus dialysis-related peritonitis namun angka mortalitasnya sangat tinggi. Gambaran klinis tidak spesifik sehingga sulit dibedakan dengan peritonitis bacterial. Analisis dan biakan cairan dialisat berperan penting sebagai pedoman terapi antimikroba.Laki-laki berusia 22 tahun menjalani CAPD selama 10 tahun, datang ke RS dengan nyeri perut berat pada saat inflow dan outflow cairan. Pada pemeriksaan analisis cairan didapatkan makroskopis kuning keruh, hitung leukosit 2.580 sel/µL dengan PMN sebanyak 90%, dan kadar protein total 1.0mg/dL. Pada pemeriksaan biakan ditemukan Candida Tropicalis.Pemeriksaan analisis cairan dialisat peritoneal belum lazim dilakukan dan sampai saat ini belum terdapat nilai rujukan. Pada pasien ini dijumpai cairan keruh, jumlah leukosit lebih dari 100 sel/µL dengan dominasi PMN, serta biakan positif, sehingga memenuhi kriteria diagnosis fungal peritonitis menurut International Society of Peritoneal Dialysis tahun 2009. Pada pasien ini dijumpai kadar protein total 1,0g/dL. Dalam keadaan normal, caira dialisat tidak mengandung protein. Adanya peritonitis menyebabkan pembukaan pori besar pada membrane peritoneum sehingga terjadi kobocoran makromolekul.Analisis caira dialisat penting dilakukan pada kecurigaan infeksi. Diagnosis fungal peritonitis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan analisis cairan serta dipastikan melalui pemeriksaan biakan.
PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS INFILTRASI LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT KE SISTEM SARAF PUSAT Adilistya, Tika
Jurnal Kedokteran YARSI Vol 25, No 2 (2017): MEI - AGUSTUS 2017
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (524.212 KB) | DOI: 10.33476/jky.v25i2.262

Abstract

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan hematologi yang disebabkan oleh proliferasi prekursor sel limfoid yang menyebabkan akumulasi sel blas di darah tepi dan sumsum tulang. Berbagai kemajuan dalam terapi, seperti targeted therapy, telah berhasil menurunkan angka kematian pasien dengan LLA. Salah satu komplikasi fatal LLA adalah keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pasien dengan keterlibatan SSP seringkali underdiagnosed baik secara klinis maupun laboratoris. Peranan laboratorium sangat penting untuk deteksi keterlibatan SSP mengingat sulitnya gejala klinis tidak khas bahkan sebagian pasien justru asimtomatis. Dengan adanya deteksi dini, pasien dapat diberikan terapi profilaksis sehingga angka kesintasan meningkat.Meskipun memiliki banyak kelemahan, pemeriksaan sitologi pada spesimen sitosentrifugasi masih dipertimbangkan sebagai ?baku emas? untuk diagnosis infiltrasi sel leukemik pada SSP. Pemeriksaan lain seperti immunophenotyping flow cytometry (FCM) dan polymerase chain reaction (PCR) memiliki nilai diagnostik yang dua kali lipat lebih baik apabila digunakan secara kombinasi dengan sitologi, namun tidak dapat menggantikan peran pemeriksaan sitologi. FCM dan PCR bermanfaat apabila volume sampel CSS atau jumlah sel pada CSS sangat sedikit. Hingga saat ini belum ada penanda biokimiawi yang handal untuk mendeteksi leukemia SSP.
Manfaat Pemeriksaan Interferon-Gamma Release Assay untuk Diagnosis Tuberkulosis di Indonesia Adilistya, Tika
Cermin Dunia Kedokteran Vol 43, No 7 (2016): Kulit
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (605.145 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v43i7.86

Abstract

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi masalah global di seluruh dunia akibat tingginya angka kesakitan dan kematian meskipun telah dilakukan berbagai usaha peningkatan diagnosis dan tatalaksananya. Uji Mantoux atau tuberculin skin test (TST) telah lebih dari 100 tahun secara luas dipakai sebagai salah satu sarana diagnosis TB meskipun sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. Sebagai alternatif, dikembangkan uji berbasis sel T in vitro, yaitu uji pelepasan interferon-gamma (IGRA). Pada IGRA digunakan antigen spesifik TB yang paling imunogenik, yaitu early secreted antigenic target dengan berat molekul 6 kDa (ESAT6), culture filtrate protein dengan berat molekul 10 kDa (CFP10), dan TB7.7. Baik TST maupun IGRA tidak dapat membedakan TB aktif dan TB laten. Saat ini terdapat dua uji komersial IGRA, yaitu QuantiFERON-TB dan T-SPOT.TB yang terutama berbeda dalam hal metodenya. Hasil uji diagnostik tersebut bervariasi karena sangat dipengaruhi oleh prevalensi TB dan HIV. Oleh karena belum ada panduan resmi dari Kementerian Kesehatan, pemanfaatan IGRA di Indonesia sebaiknya mengacu pada Statement Policy dari WHO tahun 2011.
Fungal Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) Adilistya, Tika; S. Timan, Ina
Cermin Dunia Kedokteran Vol 46, No 12 (2019): Kardiovaskular
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.685 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v46i12.900

Abstract

Pendahuluan. Fungal peritonitis hanya terjadi pada 3-6% kasus dialysis-related peritonitis, namun mortalitasnya sangat tinggi. Gambaran klinis tidak spesifik, sehingga sulit dibedakan dengan peritonitis bakterial. Analisis dan biakan cairan dialisat berperan penting sebagai pedoman terapi antimikroba. Kasus. Laki-laki usia 22 tahun, menjalani CAPD selama 10 tahun, datang ke RS dengan nyeri perut berat saat inflow dan outflow cairan. Pada analisis cairan didapatkan makroskopis kuning keruh, hitung leukosit 2.580 sel/μL dengan PMN sebanyak 90%, dan kadar protein total 1,0 mg/dL. Pada pemeriksaan biakan ditemukan Candida tropicalis. Diskusi. Analisis cairan dialisat peritoneal belum lazim dilakukan dansampai saat ini belum ada nilai rujukan. Pada pasien ini dijumpai cairan keruh, jumlah leukosit lebih dari 100 sel/μL dengan dominasi PMN, serta biakan positif, sehingga memenuhi kriteria diagnosis fungal peritonitis (International Society of Peritoneal Dialysis, 2009). Pada pasien ini dijumpai kadar protein total 1,0 g/dL. Dalam keadaan normal, cairan dialisat tidak mengandung protein. Adanya peritonitis menyebabkan pembukaan pori besar pada membran peritoneum sehingga terjadi kebocoran makromolekul. Simpulan. Analisis cairan dialisat penting dilakukan pada kecurigaan infeksi. Diagnosis fungal peritonitis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan analisis cairan serta dipastikan melalui pemeriksaan biakan.Introduction. Fungal peritonitis accounts for 3-6% of dialysis-related peritonitis with high mortality rates. Clinical signs and symptoms are nonspecific and similar to bacterial peritonitis. Dialysate fluid analysis and culture test have an important role as a guideline for antimicrobial therapy. Case. A 22-years-old male with a history of ESRD who had been on CAPD for 10 years was admitted to hospital with severe abdominal pain. The dialysate fluid was cloudy, contained 2.580 leucocytes/μL with 90% polymorphonuclear cells and fluid total protein level was 1,0 mg/dL. Fluid culture test was positive for Candida tropicalis. Discussion. Dialysate fluid analysis is not common and unlike other fluid analysis, there is no reference range for this test panel. Cloudy dialysate, increased leucocyte count more than 100 cells/μL with polymorphonuclear cells predominant are consistent with fungal peritonitis guideline by International Society of Peritoneal Dialysis. Normally, dialysate fluid does not contain protein but in this case, fluid total protein was 1,0 g/dL. Opening of large pores in the capillaries causes a markedly increased leakage of macromolecules. Conclusion. Dialysate fluid analysis has an important role in cases with high suspicion of dialysis-related peritonitis. Diagnosis of fungal peritonitis is made by fluid leucocyte count, differential count, and confirmed by culture test.