Stella Yessy Exlentya Pattipeilohy
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Calvin dan Spiritualitas Kerahiman Stella Yessy Exlentya Pattipeilohy
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 2 No. 2 (2017): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2017.22.287

Abstract

Abstract The keyword commonly used in mysticism and spirituality is "experience". The instilling of God's mercy, in fact, is a spiritual experience accosted by God's love. Such experience is shared in a transformative praxis. The mercy of God is a faith experience that could be made a meeting point in fostering a love-based religious life. In the Protestant tradition, we can find a foothold for the development of spiritual theology on John Calvin's work, i.e. the so-called merciful spirituality. Today's experience of God's mercy is influenced by the contextual concern abaout the image of the Homeless Jesus. The refugees not only "challenge" Christian communities to recognise the Christ within the needy strangers, but also welcome them in love and peace despite religious faith differences. Abstrak Kata kunci yang umum digunakan dalam dunia mistik atau spiritualitas adalah "pengalaman" (experience). Penghayatan akan kerahiman Allah sesungguhnya adalah pengalaman spiritual disapa oleh cinta kasih Allah. Pengalaman ini berlanjut dalam tindakan mencinta dan dibagikan bagi sesama dalam praksis transformatif. Allah yang merahimi menjadi pengalaman iman yang dapat dijadikan titik temu dalam mengembangkan hidup beragama yang dasarnya adalah cinta kasih. Di dalam tradisi Protestan dapat ditemukan pijakan mengembangkan teologi spiritualitas Protestan, yaitu pada spiritualitas John Calvin yang disebut spiritualitas kerahiman. Pengalaman akan kerahiman Allah di masa kini ditantang oleh keprihatinan kontekstual dalam gambaran Homeless Jesus. Pengungsi tidak hanya "menantang" umat Kristiani untuk mengenali Kristus dalam diri orang asing dan membutuhkan, tetapi juga menyambutnya dalam kasih dan damai sekalipun mereka berbeda agama atau keyakinan.
Ketuhanan yang Berkebudayaan: Memahami Pancasila sebagai Model Interkulturalitas Stella Yessy Exlentya Pattipeilohy
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol. 3 No. 2 (2018): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2018.32.363

Abstract

AbstractInterculturality is the awareness of cultural diversity in a communication in which all parties intend to communicate effectively with one another. This study considers the potential of the first sila of Pancasila as a healthy interculturality by virtue of its open concept of divinity, namely “cultured divinity”. The finding is that the first sila of Pancasila can be defined as an open and active intercultural hermeneutics. The fluidic, accommodative, and open nature of the first sila of Pancasila, makin it possible to values contributed from anywhere, is the advantage of Pancasila that makes it acceptable to anyone living in Indonesia. In the localcontext of Tembilahan, this study captures the interculturality, and retrospectively confirms that the intercultural meeting point constructed in Pancasila has been estabished. Abstrak Interkulturalitas merupakan kesadaran akan kepelbagaian budaya dari masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi dan adanya keinginan dari setiap pihak itu untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan pihak lainnya. Studi ini bermaksud melihat kemampuan sila pertama Pancasila sebagai sebuah interkulturalitas yang sehat melalui konsep ketuhanannya yang terbuka, yaitu konsep “ketuhanan yang berkebudayaan”. Hasilnya bahwa secara hermeneutis, sila pertama Pancasila adalah sebuah hermeneutikinterkultural yang terbuka dan aktif. Sifatnya yang cair, akomodatif, dan terbuka menerima nilai-nilai yang disumbang dari mana saja merupakan “kecerdasan” Pancasila yang membuatnya dapat diterima oleh siapa saja yang hidup di Indonesia. Di konteks lokal, Tembilahan, studi ini memotret interkulturalitas di Tembilahan dan secara retrospektif menegaskan bahwa apa yang Pancasila konstruksi tentang titik temu antarbudaya sudah terbangun di sini.