Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Rejang Di Pura Balang Tamak, Warisan Budaya Desa Nongan Satyani, Ida Ayu Wayan Arya; Gunarta, I Wayan Adi
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 6 No 1 (2018): Maret
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3289.092 KB) | DOI: 10.31091/sw.v6i1.354

Abstract

Masyarakat Desa Nongan, Kabupaten Karangasem meyakini bahwa Rejang di Pura Balang Tamak di desa mereka adalah warisan Pan Balang Tamak, figur licik dan lihai dalam cerita rakyat Bali. Keberadaan Rejang ini hampir punah, meninggalkan jejak berupa serobong/gelungan (hiasan kepala) dihiasi buah-buahan seadanya. Harapan masyarakat untuk merekontruksi Rejang di Pura Balang Tamak, mendorong peneliti untuk melakukan penelusuran terhadap ingatan masyarakat yang hampir tertimbun bersama reruntuhan Pura Balang Tamak sejak peristiwa gejor atau gejer Bali 1917. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk memetakan keterhubungan ide-ide yang membangun Rejang di Pura Balang Tamak, yaitu: ide tentang Rejang, ide tentang Pura Balang Tamak, ide tentang mitos Pan Balang Tamak, dan ide tentang Desa Nongan. Metoda penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian dianalisa, dideskripsikan, disusun dan disimpulkan. Hasil penelitian yang didapat bahwa Rejang di Pura Balang Tamak adalah Rejang Pala, merupakan salah satu sarana ritual Usaba Pala (perayaan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap kelimpahan hasil subak abian/tegal). The villagers of Nongan believe that the rejang dance in Balang Tamak temple is the inheritance of Pan Balang Tamak, a cunning and shrewd figure in Balinese folklore. The existence of this dance is almost extinct, leaving only a trace of serobong/gelungan – a head decoration – of some fruits. The people’s expectation to reconstruct Rejang dance at Pura Balang Tamak has encouraged the researchers to trace the recollections of people’s memory of the dance which are almost buried with the ruins of Pura Balang Tamak since the Bali earthquake in 1917or it was called gejer Bali. Based on the background above, this research aims to map the connections of ideas that build Rejang dance in Pura Balang Tamak, that is: the idea of Rejang, the idea of Pura Balang Tamak, the idea of Pan Balang Tamak myth, and the idea of Nongan Village. The research methodology used in this writing is descriptive qualitative. The data of the research is collection trhough observations, interviews, literature study, and documentations. The data collection is then analyzed, described, compiled and summarized. The findings obtained that Rejang dance in Pura Balang Tamak is Rejang Pala. This Rejang is one of the means of ritual Usaba Pala (a celebration to express gratitude towards the abundance of subak abian/farm harvest)
Tari Sekar Pudak, Maskot Desa Darmasaba I Wayan Adi Gunarta
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 8 No. 2 (2020): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1385.79 KB) | DOI: 10.31091/sw.v8i2.1192

Abstract

Penciptaan Tari Sekar Pudak terinspirasi dari kisah historis mengenai keberadaan pohon pudak di Desa Darmasaba serta pengalaman empiris penulis, ketika melihat dan mencium aroma keharuman bunga pudak. Pudak merupakan bunga dari tanaman pandan (Pandanaceae) yang memiliki aroma wangi semerbak dan sarat dengan nilai filosofi kehidupan. Tujuan dari penciptaan ini ialah mewujudkan sebuah karya tari yang inovatif dan original untuk dijadikan sebagai tari maskot Desa Darmasaba. Metode penciptaan Tari Sekar Pudak, berpijak pada prinsip penciptaan seniman Bali, yakni angripta sasolahan yang terdiri dari lima tahapan penting, yaitu ngarencana, nuasen, makalin, nelesin, dan ngebah. Hasil yang dicapai pada penciptaan ini ialah terciptanya sebuah bentuk karya tari maskot yang berjudul Sekar Pudak. Tari maskot adalah suatu bentuk tarian yang menggambarkan tentang rasa kebanggaan dan identik dijadikan sebagai ikon yang mencerminkan kekhasan suatu wilayah atau daerah. Dapat dipahami bahwa, tari maskot merupakan lambang dari sekelompok masyarakat, wilayah, atau lainnya yang diyakini dan diharapkan dapat membawa suatu keberuntungan. Adapun nilai filosofi yang terefleksikan dalam Tari Sekar Pudak, maskot Desa Darmasaba, yakni susunan kelopak bunga yang membentuk kuntum lancip merefleksikan ketajaman pikiran; Warna putih pada kelopak bunga pudak merefleksikan kesucian dan warna kuning pada sarinya refleksi kemuliaan. Nilai-nilai filosofi tersebut divisualisasikan lewat bahasa gerak yang simbolis dengan medium tubuh penari.
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM DRAMATARI ARJA BASUR DI DESA ADAT TEGAL, DARMASABA BADUNG BALI I Wayan Adi Gunarta
Imaji Vol 19, No 2 (2021): IMAJI OKTOBER
Publisher : FBS UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/imaji.v19i2.44782

Abstract

Kesenian ialah hasil daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang memiliki nilai-nilai falsafah kehidupan. Dramatari Arja Basur di Desa Adat Tegal, Darmasaba Badung Bali merupakan salah satu kesenian langka yang muncul sekitar tahun 1931 dan dalam pertunjukannya, selain menyajikan nilai estetika juga memuat nilai-nilai pendidikan. Nilai-nilai itu terkandung dalam cerita, yakni melalui tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji fungsi dan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam dramatari Arja Basur. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dramatari Arja Basur memuat konsepsi rwa bhineda, yakni dualitas kehidupan yang saling berlawanan, namun tak terpisahkan dan saling menyeimbangkan, yaitu: a) kaya dan miskin; b) pandai dan bodoh; c) majikan dan abdi; d) kebaikan (dharma) dan kejahatan (adharma). Pertunjukan dramatari Arja Basur di Desa Adat Tegal tidak hanya berfungsi memberikan hiburan kepada masyarakat penonton, namun juga sekaligus memberikan tuntunan secara batiniah. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya ialah nilai religi, nilai etika, dan nilai kasih sayang. Melalui nilai-nilai pendidikan karakter dalam dramatari Arja Basur dapat dijadikan refleksi dan tuntunan dalam upaya membentuk kepribadian manusia agar senantiasa mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan serta kebenaran dalam berkehidupan. Kata Kunci: Arja Basur, Dramatari, Nilai Pendidikan Karakter, Desa Adat Tegal CHARACTER EDUCATION VALUES IN THE DANCE DRAMA OF ARJA BASUR IN TEGAL TRADITIONAL VILLAGE, DARMASABA BADUNG BALI Abstract Art is the result of human creativity, taste, and initiative that has the values of a philosophy of life. The dance drama of Arja Basur in the Tegal Traditional Village, Darmasaba Badung Bali is one of the rare arts that emerged around 1931. Apart from presenting aesthetic values in its performances, it also contains educational values. The story contains these values, namely through the protagonist and the antagonist. This study aims to examine the functions and values of character education contained in the Arja Basur dance drama. The research method used is qualitative research with data collection techniques through interviews, observations, literature studies, and documentation. The results of the study show that Arja Basur's dance drama contains the conception of rwa bhineda, namely the duality of life that is opposite but inseparable and balances each other, namely: a) rich and poor; b) clever and stupid; c) employer and servant; d) good (dharma) and evil (adharma). The performance of Arja Basur dance drama in the Tegal Traditional Village provides entertainment to the audience and provides inner guidance. The values of character education contained in it are religious values, ethical values, and values of compassion. The values of character education in the Arja Basur dance-drama can be used as a reflection and guidance to shape the human personality so that they always apply the values of goodness and truth in life. Keywords:       Arja Basur, Dance Drama, Character Education Value, Tegal Traditional Village
Perancangan Panyacah Awig Rejang Pala dalam Penguatan Ekosistem Tari Rejang Pala Ida Ayu Wayan Arya Satyani; I Wayan Adi Gunarta
Ganaya : Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 5 No 1 (2022)
Publisher : Jayapangus Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37329/ganaya.v5i1.1546

Abstract

The Karangasem district has a wealth of rejang rituals spreading throughout several of its sub-districts and handed down through the ages to these days. The community’s constancy in preserving the rejang tradition is a true reflection of the power of written and unwritten set of customary rules (awig-awig). The Rejang Pala from the traditional village of Nongan in the sub-district of Rendang, in the district of Karangasem disappeared in 1917 following the terrifying earthquake that hit Bali on that year. It is therefore imperative that its existence in the village written awig-awig should be restored.  The aim of this is to strengthen the dance ecosystem after a reconstructed choreography was successfully made in 2019. Efforts to include the rejang as part of the awig-awig should be preceded by planning the design of the payacah awig, that is, an elaboration of article after article of the awig-awig by means of a research applying a qualitative methodology. Observation should be carried out in several ancient villages where the tradition of rejang has been handed down, complemented with interviews, literature studies and documentation. The data analysis and the compilation of the report should be descriptive. The outcome of the research should include the following elements of the Rejang Pala’s panyacah awig, formulated through: 1) a self-critic of the reconstruction process up to the launching of the dance (makebah); 2) an inquiry into whatever rules pertaining to the planning and design of the Rejang Pala’s panyacah awig in line with the characteristics of the local villages and 3) formulation of the design of the Rejang Pala’s panyacah awig in line with the characteristics of the local villages. Finally, it is hoped that the design of the panyacah awig will result in the revival of the Rejang Pala for the benefit of the culture and the welfare of the custodians of this cultural heritage.
Tari Rejang Pala Di Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem: Kajian Bentuk Dan Fungsi I Wayan Adi Gunarta; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 35 No 2 (2020): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v35i2.1049

Abstract

Sejak beberapa tahun terakhir, Rejang mengalami geliat pertumbuhan yang begitu populer. Di tengah suburnya berbagai bentuk tari kreasi rarejangan, di Desa Nongan terdapat tari Rejang yang telah dua kali mengalami rekonstruksi, tahun 1984 dan 2019. Tahun 2019 desa setempat kembali melakukan rekonstruksi merujuk hasil penelitian berjudul Kontinuitas dan Perubahan Tari Rejang Balang Tamak di Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, tahun 2017. Penulisan artikel ini bertujuan untuk meneliti bentuk dan fungsi Tari Rejang Pala, pasca rekonstruksi tahun 2019. Landasan teoritis yang digunakan adalah teori estetika dan teori fungsional. Model penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Tari Rejang Pala ialah tarian sakral dalam upacara Usaba Desa, untuk menyambut Ida Betara Dalem pada prosesi memasar di Pura Pesamuhan Agung. Para penarinya dibagi dalam tiga klasifikasi umur, yaitu: (1) anak-anak disebut Rejang Alit; (2) remaja putri disebut Rejang Daha; dan (3) Ibu-Ibu disebut Rejang Lingsir. Fungsi primer Tari Rejang Pala, yakni sebagai sarana ritual, secara tidak langsung juga sebagai sarana hiburan pribadi, dan sebagai presentasi estetis. Fungsi sekundernya, sebagai pengikat solidaritas dan sebagai sarana komunikasi. Keunikan Tari Rejang Pala dapat dilihat pada gelungannya, yaitu dihiasi dengan berbagai macam buah-buahan.
Reka Ulang Koreografi Rejang Pala, Setelah 100 Tahun Menghilang: Sebuah Rekonstruksi Imajinatif Ida Ayu Wayan Arya Satyani; I Wayan Adi Gunarta
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 36 No 1 (2021): Februari
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v36i1.1108

Abstract

Rekonstruksi Imajinatif merupakan proses reka ulang terhadap koreografi tari yang sudah punah, tetapi masih meninggalkan jejak masa lampau selain jejak koreografinya. Hal ini dialami oleh Rejang Pala di desa Nongan, kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem, yang menghilang akibat gejor Bali 1917. Kisahnya terselip dalam mitos Pan Balang Tamak yang diwarisi di desa ini. Jejak lainnya berupa hiasan kepala (serobong), dan sedikit jejak arkeologis yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai peninggalan Pan Balang Tamak. Minimnya sumber informasi untuk merunut jejak sejarah maupun ke’asli’an koreografi rejang ini mengantarkan peristiwa rekonstruksinya pada rekonstruksi imajinatif. Apa yang dimaksud dengan rekonstruksi imajinatif?, bagaimana prosesnya?, dan bagaimana hasilnya?, menjadi fokus pembahasan artikel ini. Metoda rekonstruksinya mengkombinasikan metoda sejarah dengan metoda konstruksi tari. Metoda sejarah meliputi heuristik (pengumpulan data), kritik (analisis, eksternal dan internal), interpretasi (analisis dan sintesis), dan historiografi (penyampaian hasil). Sedangkan metoda konstruksi tari menurut Jacqueline Smith, tersusun dalam lima langkah yaitu: konstruksi I bertumpu pada rangsang tari, konstruksi II pada motif dan komposisi, konstruksi III pada komposisi kelompok, konstruksi IV pada pengorganisasian bentuk tari, dan konstruksi V pada keutuhan karya. Pengetahuan metoda konstruksi tari menurut pandangan Smith, terhubung dengan imajinasi dan intuisi, pengetahuan tentang materi gerak, serta pengenalan bentuk melalui pengalaman estetis. Hasil pembahasan diperlukan sebagai refleksi terhadap apa yang telah dilakukan selama rekonstruksi imajinatif sejak 2017 hingga makebah (peluncuran) pada 9 April 2019. Butir-butir refleksi ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk menyusun rancangan panyacah awig rejang, sebagai langkah awal penguatan ekosistem Rejang Pala.
TARI PANJI MASUTASOMA: MERAWAT KEBHINEKAAN, MEMUPUK TOLERANSI Ida Ayu Wayan Arya Satyani; I Wayan Diana Putra; I Wayan Adi Gunarta
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 2 (2022): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasionar Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Praktik intoleransi di Indonesia, berdasarkan data BPIB (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) cenderung menguat. Tari Panji Masutasoma diciptakan sebagai respon terhadap realitas tersebut. Bagaimana proses kreatifnya? Bagaimana tarian ini mengaktualisasikan nilai toleransi? akan menjadi pokok bahasan. Tujuan diciptakannya karya ini untuk merealisasikan proses kreatif yang mencerminkan sikap ber-Bhinneka Tunggal Ika, serta mampu menggelorakan semangat toleransi. Proses penciptaannya merujuk pada metoda penciptaan angripta sasolahan: ngrencana (persiapan), nuasen (ritual awal), makalin (pemilihan, persiapan materi, dan improvisasi), nelesin (merapikan, menata secara utuh), dan ngebah (pementasan perdana). Proses kreatifnya menggabungkan unsur tari Panji Gambuh gaya Budakeling dengan Burdah dan Rudat Saren Jawa. Tujuh penarinya wajib mapaguruan (berguru) kepada pinisepuh Gambuh dan saudara muslim di Desa Saren Jawa, Desa Budakeling, Karangasem. Mereka juga dituntut memiliki kemampuan multitalenta (ngraweg): menari, bermusik, dan berolah vokal. Dengan menempatkan Kakawin Sutasoma sebagai sumber teks, karya ini diharapkan berkontribusi dalam upaya memupuk toleransi dan merawat kebhinekaan bangsa Indonesia.
PROSES KREATIF PENCIPTAAN KARYA TARI SAPA RAH Ni Kadek Ayu Devy Yanti; Ida Ayu Trisnawati; I Wayan Adi Gunarta; Ida Ayu Chandra Dewi
Gesture: Jurnal Seni Tari Vol. 14 No. 1 (2025): Gesture: Jurnal Seni Tari
Publisher : Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gjst.v14i1.65052

Abstract

Penciptaan karya tari Sapa Rah mengangkat ide kisah Sumpah Drupadi dalam epos Mahabharata. Kisah ini menarik untuk diangkat karena erat kaitannya dengan isu pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi saat ini, sehingga nilai pemuliaan terhadap sesama khususnya perempuan penting untuk disuarakan. Proses kreatif penciptaan karya ini berlandaskan pada metode dan tahapan penciptaan tari yang disebut angripta sasolahan oleh I Ketut Suteja. Proses kreatif ini terbagi atas lima prinsip atau tahapan utama diawali dengan tahap perencanaan hingga tahap pementasan karya secara utuh. Secara terstruktur tahapan proses kreatif angripta sasolahan terdiri atas: ngarencana, nuasen, makalin, nelesin, dan ngebah. Melalui proses kreatif yang dilakukan maka terciptalah tari Sapa Rah yang merupakan tari kontemporer dengan tema pemuliaan terhadap sesama melalui pengendalian api dalam diri, berbentuk duet dengan satu orang penari perempuan dan satu orang penari laki-laki. Sapa Rah dimaknai sebagai kutukan darah seorang wanita terhadap orang dengan etika negatif yang berujung pada kesadaran diri terhadap pengendalian emosi. Ciri khas yang identik dengan karya tari Sapa Rah ini yang jarang ditemukan pada bentuk karya tari duet lainnya adalah pemilihan tema pemuliaan terhadap sesama melalui pengendalian api dalam diri, saat tari duet lainnya justru berfokus pada tema romansa percintaan maupun tema heroik kepahlawanan.