This article wants to show the legalistic approach taken by the church in responding to behavior that is considered wrong by the congregation. From the author's perspective, such an approach is not relevant in the current situation as an effort to guide the congregation to goodness. In fact, it is very likely that a trend like this will cause trauma for the congregation. This study uses the qualitative-descriptive method, namely with Trauma Informed Pastoral Care (TIPC) approach to understand the concept of "generous churching". The author offers Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif, yaitu dengan pendekatan Trauma Informed Pastoral Care (TIPC) untuk memahami konsep "menggereja murah hati". Authors offers an idea for a generous church, namely the church's ability to listen not only with the ears but also with the heart. The concept of "generous churchmanship" can include the practice of sharing resources, both material and non-material, to serve local communities and the world at large. This reflects an awareness of the importance of solidarity and love in religion and church communities, with the aim of creating positive change in people's lives and promoting the values of kindness, service, and love for others. Of course, this is something that needs to be done by the church at this time as an effort to build awareness of the trauma that may be behind behavior that is considered wrong by the congregation, so it is hoped that through this approach the church will be able to theologize together in a new way as a healing factor.AbstrakArtikel ini ingin memperlihatkan bagaimana pendekatan legalistik yang dilakukan gereja dalam menyikapi perilaku yang dianggap salah yang dilakukan oleh jemaat. Dalam kacamata penulis pendekatan semacam itu tidaklah relevan pada situasi masa kini sebagai upaya untuk menuntun jemaat pada kebaikan. Bahkan kemungkinan besar kecenderungan seperti ini akan menimbulkan trauma bagi jemaat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif, yaitu dengan pendekatan Trauma Informed Pastoral Care (TIPC) untuk memahami konsep "menggereja murah hati". Penulis menawarkan satu gagasan menggereja murah hati, yakni kemampuan gereja untuk mendengar bukan saja dengan telinga namun juga dengan hati. Konsep "menggereja yang murah hati" dapat mencakup praktik berbagi sumber daya, baik materi maupun non-materi, untuk melayani masyarakat lokal dan dunia pada umumnya. Hal ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya solidaritas dan kasih dalam agama dan komunitas gereja, dengan tujuan menciptakan perubahan positif dalam kehidupan orang-orang dan mempromosikan nilai-nilai kebaikan, pelayanan, dan cinta terhadap sesama. Tentu saja hal ini menjadi sesuatu yang perlu dilakukan oleh gereja saat ini sebagai upaya membangun kesadaran akan trauma yang mungkin melatarbelakangi terjadinya perilaku yang dianggap salah yang dilakukan oleh jemaat, sehingga diharapkan melalui pendekatan ini gereja mampu berteologi bersama dengan cara baru sebagai faktor pemulih.