Sepanjang sejarah kemanusiaan, agama, adat, negara selalu menjadi panggung sosialisasi dan internalisasi bias gender dalam bingkai budaya patriarki, sekalipun, Menurut Nasaruddin Umar, al-Qurâan memiliki perspektif ke arah kesetaraan dan keadilan gender. Masyarakat Sasak, dalam meniti hidup dan kehidupan tak terhindar untuk melaksanakan seremoni dan ritual keagamaan, minimal sebanyak 8 kali dalam bentuk begawe, baik begawe pati maupun begawe urip. Apapun bentuk, jenis dan cakupan begawe dalam tradisi Sasak, mesti diawali dan diakhiri dengan proses ritual keagamaan berupa tahlilan, syarakalan dan doâa. Setiap ritual keagaman pada masyarakat Sasak, dikonstruksi secara sosial sebagai wilayah sakral, sehingga membatasi pelakunya hanya bagi pihak yang memiliki jenis kelamin laki-laki dan mengebirikan jenis kelamin lainnya, perempuan. Padahal dari sisi potensi dan keterampilan emperik, perempuan senantiasa mampu menjalankan apapun bentuk dan jenis peran yang selama ini dikonstruksi sebagai wilayah yang hanya terjangkau oleh pihak laki-laki, terutama dalam domain agama atau wilayah sosial yang beridmensi ritual keagamaan. Penelitian yang menggunakan kualittaifdeskriptif tentang peran majelis taklim Miftahul Jannah menunjukkan adanya pergeseran dan perebutan wilayah dengan aksi yang ditopang skill keagamaan dan moral terpuji dan istikamah, sehingga dipercaya publik untuk menjadi pemeran utama dalam beragam jenis sosial-budaya berdimensi ritual keagamaan di Mataram dan sekitarnya. Bahkan, di tangan perempuan, pelaksanaan ritual keagamaan menemukan kekayaan maknanya, di luar seremoni, yaitu, ketaatan kepada Allah (ibadah), kesetiaan kepada sumai dan orangtua (berdoa), refreshing dari kepenatan urusan domestik dan bahkan memiliki dimensi ekonomis sekaligus.