Kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak menempatkan korban berada pada posisi tidak aman baik di rumah maupun di luar rumah. Pasal 6 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2014 mengatur bahwa dalam korban kekerasan seksual berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikosial dan psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemulihan korban kekerasan seksual berdasarkan UU No. 31 Tahun 2014 di wilayah hukum Polresta Banyumas serta mengetahui kendala yang dialami dalam memulihkan korban kekerasan seksual di wilayah hukum Polresta Banyumas walau sudah adanya undang-undang tersebut. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dengan. Lokasi penelitian yaitu di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Polresta Banyumas. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, metode penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan Purposive Sampling. Pemulihan korban kekerasan seksual di wilayah hukum Polresta Banyumas masih kurang efektif akibat masih terdapatnya perbedaan antara law in action dengan law in book/theory. Kendala-kendala yang ada dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu aspek struktur hukum (legal structure) di mana kurangnya penyebaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menyulitkan korban yang berada di wilayah hukum Polresta Banyumas untuk memperoleh restitusi, substansi hukum (legal substance) di mana belum adanya pengaturan mengenai mekanisme tertentu untuk mempermudah korban yang berdomisili di wilayah hukum Polresta Banyumas untuk memperoleh restitusi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang berada di Semarang, dan budaya hukum (legal culture) di mana timbulnya stigma buruk di masyarakat yang beranggapan bahwa jika seorang korban kekerasan seksual merupakan aib di lingkungan masyarakat tersebut.