Fenomena fatherless ini disebabkan dengan adanya pengaruh budaya lokal terhadap paradigma pengasuhan anak. Stereotip budaya mempengaruhi pandangan bahwa laki-laki tidak semestinya terlibat dalam pengasuhan anak.Tidak sedikit dari keluarga Indonesia masih menerapkan pola asuh patriarki dengan mengedepankan peran ibu sebagai pemeran keseluruhan tugas domestik. Sedangkan peran ayah didalamnya masih kurang diutamakan sehingga tanpa disadari, pengasuhan, pemeliharaan dan pendidikan hanya dikaitkan dengan tugas seorang ibu, meskipun peranan ayah sebenarnya sangat diperlukan dalam hal ini. Isu mengenai fatherless ini hampir tidak terlihat, namun dampaknya begitu nyata mengingat pentingnya sosok ayah bagi tumbuh kembang anaknya. Ketiadaan peran ayah dalam proses tumbuh kembang anak dapat berdampak signifikan pada perkembangan psikologis dan emosional anak, terutama pada anak perempuan di fase remaja. Keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak perempuan dapat meningkatkan perkembangan kognitif anak, memberikan perspektif terhadap sesuatu yang nantinya dapat dikembangkan di otak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika pengembangan diri pada remaja perempuan yang mengalami fatherless. Peneliti menggunakan 3 partisipan remaja perempuan yang mengalami fatherless di MAN 2 Model Medan di rentang usia 15-16 tahun. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak positif fatherless pada anak perempuan di fase remaja yaitu adanya kemauan untuk mengembangkan kemampuan secara bakat dan akademik, adapun dampak negatif ditunjukkan dengan sulitnya membuka diri, ketidakstabilan emosional, dan kecenderungan menyakiti diri.