Ginting, Eikel
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Menelisik Konsep Eco-Peace Dalam Kerja Rani Bagi Revitalisasi Peran GBKP Merawat Alam Ginting, Eikel
Jurnal Teologi Praktika Vol 4, No 2 (2023): Desember
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Tenggarong

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51465/jtp.v4i2.110

Abstract

Tulisan ini akan mengeksplorasi pemaknaan dan paradigma ritual kerja rani di GBKP melalui konsep perdamaian dalam ekologi (eco-peace). Pendekatan ini akan menelisik pergeseran dan korelasi kerja rani dalam ritual gereja bagi peran dan tanggung jawab GBKP dalam membangun kesadaran ekologis  serta melakukan perdamaian yang aktif melalui peran jemaat dalam mengelola keseimbangan ekologi. Pendekatan eco-peace akan menggunakan pemahaman teologi ekologi dari Emmanuel Gerrit Singgih tentang imanensi Allah yang saling melengkapi dengan konsep transaksional Richard Evanoff. Konsep teologi ekologi yang ditawarkan akan menganalisa makna dan praktik kerja rani di GBKP, sehingga dapat melakukan evaluasi bagi revitalisasi praktik kerja rani  dalam membangun kesadaran dan praktik perdamaian bersama alam secara holistik di GBKP.
Politisasi Identitas Keagamaan: Analisis Terhadap Kasus Wisata Halal Masyarakat Daerah Danau Toba Ginting, Eikel
Satya Widya: Jurnal Studi Agama Vol 7 No 1 (2024): Satya Widya: Jurnal Studi Agama
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33363/swjsa.v7i1.1108

Abstract

Negosiasi dan penyelesaian masalah menjadi menjadi tekhnik penting untuk mencapai kesepakatan bersama dan menegosiasikan nilai dan kepentingan masing-masing pihak. Berdasarkan hal tersebut maka penyelesaian masalah dapat lebih konstruktif. Dibutuhkan Kesadaran moral danemosional terhadap setiap pihak yang berkonflik. Kesadaran modal dan emosional memberikan dorongan untuk menegasikan ego dan kemauan untuk membangun relasi yang saling memulihkan dan damai. Relasi interpersonal dan kelompok menjadi penting dalam pengelolaan konflik. Buku ini berfungsi dalam upaya memperkuat hubungan antarindividu atau kelompok, dan
Keugaharian: Memaknai Konsep Kesederhanaan dalam Ajaran Yesus dan Ajaran Buddha terhadap Konteks FOMO Syndrome Ginting, Eikel
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol. 8 No. 2 (2022): Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53565/abip.v8i2.672

Abstract

Fenomena sosial yang terjadi dalam budaya teknologi sekarang, adalah FOMO (Fear Of Missing Out). Fenomena ini mengarah pada pola kehidupan manusia menjadi lebih cemas, dan terasing di tengah dunia yang saling terhubung dalam teknologi. Sindrom kecemasan dan ketakutan ini, berdampak kepada pola hidup yang tidak teratur. Juga berdampak pada tindakan konsumerisme dan hedonisme. Ini terjadi karena keinginan, mempertahankan eksistensi dalam hal materil (uang, barang-barang mewah). Dampak kontemporer yang dirasakan ini, menjadi relevan ketika diperhadapkan dengan ajaran agama-agama. Terkhusus dalam tulisan ini, melihat dari perspektif Kristen yang menceritakan kisah Yesus dalam Injil Lukas. Juga teks Buddha mengenai nilai-nilai kesederhanaan, melalui ajaran pengendalian hawa nafsu (tanha). Melalui kisah Yesus dalam Injil Lukas dan pengajaran Buddha mengenai pengendalian hawa nafsu, dapat diaktualisasikan dalam fenomena FOMO saat ini. Pemaknaan dari kedua agama ini, diharapkan memberi nilai pengajaran bagi kehidupan manusia. Terlebih di tengah perkembangan budaya modern saat ini.
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XIV/2016 BAGI EKSISTENSI PENGHAYAT KEPERCAYAAN DALAM LENSA POLITIK KEWARGANEGARAAN Ginting, Eikel
Journal of Religious Policy Vol. 3 No. 1 (2024): Januari-Juni 2024
Publisher : The Ministry of Religious Affairs, The Republic of  Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31330/repo.v3i1.48

Abstract

Pengesahan putusan No. 97/PUU-XIV/2016 oleh Makhamah Konstitusi memberikan ruang bagi penghayat kepercayaan kembali mendapatkan pengakuan dan jaminan atas hak-hak mereka sebagai warga negara. Tetapi, secara implementasi putusan tersebut belum mengakomodasi sesungguhnya hak-hak penganut kepercayaan di Indonesia. Dalam prakteknya, pengakuan dan jaminan tersebut seringkali tidak sesuai dengan harapan; belum secara maksimal mendapatkan pengakuan karena masih harus mengosongkan kolom agamanya, mendapatkan persekusi, ataupun kesetaraan hak pendidikan yang tidak merata. Maka dari itu tulisan ini meninjau bagaimana putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 mempengaruhi hak-hak penghayat kepercayaan dalam konteks administrasi kependudukan di Indonesia? Penelitian ini menggunakan pemikiran Zainal Abidin Bagir dalam menganalisis keputusan tersebut sehingga dapat memahami dinamika yang terjadi dan menemukan permasalahan dalam implementasi keputusan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi keputusan tersebut belum berdampak secara langsung bagi penghayat kepercayaan, sebab redistribusi kesejahteraan yang belum terpenuhi dan keterlibatan yang masih pasif di ruang publik menunjukkan politik kewargaan penghayat kepercayaan menjadi pasif. Maka, melalui penelitian ini merekomendasikan perlunya aktualisasi hak, mendengarkan aspirasi dan juga melibatkan para penghayat kepercayaan melalui edukasi dan pemberdayaan yang merata.
Indigenous Education: A Study of Resilience in the Tenganan and Baduy Luar Communities Ginting, Eikel
Satya Widya: Jurnal Studi Agama Vol 8 No 1 (2025): Satya Widya: Jurnal Studi Agama
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33363/swjsa.v8i1.1368

Abstract

Indigenous education implemented by the Tenganan and Baduy Luar communities is a form of education that is liberating and plays an important role in maintaining cultural identity and fighting the negative impacts of globalization. This education is not based on a structure of domination, but rather forms a collective critical consciousness that allows indigenous people to understand and maintain their traditional values. Unlike formal education which often focuses on one-way knowledge transfer, indigenous education in these two communities prioritizes a collective and relational learning process. In this study, Paulo Freire's theory of liberating education is used as an analytical framework, emphasizing the importance of critical consciousness and active participation in the educational process. Indigenous education in Tenganan and Baduy Luar has proven effective in facing the challenges of modernization and pressures from global capitalism, by emphasizing ecological balance and a harmonious relationship between humans and nature. Through education that is passed down orally and based on experience, these two communities are able to maintain the continuity of their culture amidst the changing times. The conclusion of this study shows that indigenous education functions as a tool of liberation that is not only relevant for indigenous communities, but can also be an alternative model in fighting marginalization and maintaining the integrity of cultural identity and environmental sustainability.