Desa Wisata Sitiwinangun di Kabupaten Cirebon terkenal sebagai penghasil gerabah kelas dunia dan tertua di Jawa Barat, menghadapi tantangan serius dengan berkurangnya jumlah pengrajin gerabah dari 1000 pengrajin tersisa 100 pengrajin sehingga berdampak menurunnya eksistensi gerabah. Pendekatan collaborative governance dalam pengembangan desa wisata berbasis budaya memiliki peran krusial dalam menciptakan keberlanjutan pariwisata di Desa Sitiwinangun. Penelitian ini mengkaji strategi collaborative governance, factor penghambat, serta peran dan upaya aktor dalam pengembangan Desa Wisata Sitiwinangun. Penelitian menggunakan metode kualitatif naturalistic melalui analisis model collaborative governance dari Ansell dan Gash. Hasil penelitian menunjukan pendekatan collaborative governance dalam pengembangan desa wisata di Desa Sitiwinangun belum berjalan optimal. Hal ini didapatkan dari indikator collaborative governance Ansell dan Gash yang belum seluruhnya tercapai, yaitu: belum ada aturan resmi yang mengikat para stakeholder untuk berkolaborasi, transparansi dan ketidakseimbangan sumber daya, kurangnya kepercayaan antar stakeholder serta kepemimpinan. Faktor penghambat proses kolaborasi dan pengembangan wisata yaitu SDM yang terbatas, kurangnya pelatihan dan pemsaran gerabah, kurangnya pelatihan dan pemahaman masyarakat. Namun demikian, pemerintah desa, stakeholder dan masyarakat telah berperan dan mengupayakan pengembangan Desa Wisata Sitiwinangun yang berkelanjutan.