This study identifies the dynamics of residential land use development in Ngemplak District, Sleman Regency, as a new residential growth center strategically located close to the access road leading to Yogyakarta City between 2014 and 2024. The rapid population growth has driven the increased demand for housing, resulting in significant changes in land use. The study employed spatial analysis methods using overlay techniques, with data obtained through image interpretation. The results show that the residential area expanded from 361,71 hectares (9,90% of the total area) in 2014 to 442,19 hectares (12,10%) in 2024. This development was accompanied by a reduction in the number of residential blocks, indicating the consolidation of larger and more integrated residential areas. The distribution pattern of settlements remains clustered, with expansion following existing residential areas. Land conversion from non-residential areas, such as rice fields, drylands, and yards, also occurred. However, the average residential area per household still meets the minimum space requirements. These findings can serve as a reference in spatial planning and more sustainable environmental management. Based on the findings, the study recommends the establishment of land conversion control zones to protect agricultural land and green open spaces, preventing negative impacts on food security and ecology. Penelitian ini mengidentifikasi dinamika perkembangan penggunaan lahan permukiman di Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, sebagai wilayah pusat pertumbuhan permukiman baru yang lokasinya strategis karena berada dekat dengan akses menuju Kota Yogyakarta antara tahun 2014 dan 2024. Pertumbuhan penduduk yang pesat mendorong peningkatan kebutuhan hunian, menyebabkan perubahan signifikan pada penggunaan lahan. Penelitian menggunakan metode analisis spasial dengan teknik overlay, dimana datanya diperoleh melalui interpretasi citra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas permukiman meningkat dari 361,71 hektar (9,90%) dari total wilayah) pada 2014 menjadi 442,19 hektar (12,10%) pada 2024. Perkembangan ini disertai dengan pengurangan jumlah blok permukiman, menunjukkan penggabungan kawasan permukiman yang lebih besar dan terkonsolidasi. Pola persebaran permukiman tetap mengelompok, dengan pertambahan yang mengikuti area permukiman eksisting. Konversi lahan non-permukiman, seperti sawah, tegalan, dan pekarangan, juga terjadi. Meskipun demikian, luas hunian per rumah tangga masih memenuhi standar minimum kebutuhan ruang. Temuan ini dapat menjadi acuan dalam perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan. Rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah perlunya dilakukan penetapan zona pengendalian konversi lahan untuk menjaga lahan pertanian dan ruang terbuka hijau agar mencegah dampak negatif pada ketahanan pangan dan ekologi.