Damay, Vito
Faculty of Medicine, Public Health and Nursing Universitas Gadjah Mada

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

A Case Report of Elderly Woman with Supraventricular Tachycardia associated with Intracranial Bleeding Pranata, Raymond; Chintya, Veresa; Yonas, Emir; Damay, Vito
Indonesian Journal of Cardiology Vol 38 No 3 (2017): July - September 2017
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (0.036 KB) | DOI: 10.30701/ijc.v38i3.782

Abstract

Background The neurogenic cardiac injury is related to brain injury-induced cat­echolamine and neuro-inflammatory responses and is more likely in those with the most severe neurological insult. Case Report A 78 years-old female presented to the emergency department after being found lying on the floor with a laceration on the head. On physical examination GCS 3, BP 140/90 mmHg, HR 190 bpm, respiratory rate 25x/minute. PMH of hypertension and diabetes were denied. ECG showed supraventricular tachycardia of 186 bpm. Labora­tory exams showed hyponatremia, hypokalemia, and leukocytosis. CT scan revealed subarachnoid hemorrhage, intracerebral hematomas, chronic subdural hematoma, midline shift and subfalcine herniation. The systemic catecholamine ‘storm’ driven by the central neuroendocrine axis massively increases sympathetic outflow, activates the adrenal gland and may lead to arrhythmia. Increased ICP, Midline shift, and subsequent physical compression of the brainstem and hypothalamic autonomic centers can trigger catecholamine responses that could instigate an arrhythmia. Suboptimal cardiac output and cerebral perfusion worsen secondary brain injury leading to a worse prognosis. Since cardioversion failed, amiodarone was administered. Cardioversions failed to convert to sinus rhythm and amiodarone was administered. Therapy to reduce intracranial pressure was also administered. The patient passed away 4 hours after admission. Conclusion Arrhythmia related to brain injury may lead to suboptimal cerebral perfu­sion and leads to further autonomic derangements leading to a vicious cycle of cerebral and cardiovascular injuries. This condition should be accounted for swiftly to prevent secondary brain injuries and myocardial ischemia.   Abstrak Latar Belakang Respons katekolamin dan radang terhadap cedera otak menyebabkan cedera jantung neurogenik yang lebih sering terjadi pada kerusakan neurologis yang berat. Laporan Kasus Seorang perempuan 78 tahun datang ke IGD setelah ditemukan tergeletak di lantai dengan robek pada kulit kepala. Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS 3, TD 140/90 mmHg, detak jantung 190 kali/menit, laju pernafasan 25 kali/menit. Riwayat hipertensi dan diabetes disangkal. EKG menunjukan takikardia supraventrikular takikardi 186 kali/menit. Pemeriksaan laboratorium menunjukan hipona­tremia, hipokalemia dan leukositosis. CT scan menunjukan perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, perdarahan subdural kronis, midline shift dan herniasi subfalcine. Badai katekolamin sistemik yang dicetuskan oleh aksis neuroendokrin pusat meningkatkan outflow simpatetik yang mengaktifkan kelenjar adrenal dan menyebabkan aritmia. Peningkatan tekanan intrakranial, midline shift, dan penekanan batang otak serta pusat autonomik hipotalamus dapat mencetuskan respon katekolamin yang dapat menyebabkan aritmia. Curah jantung yang tidak optimal dan perfusi otak yang buruk menyebabkan cedera otak sekunder yang mengarah pada prognosis yang buruk. Karena kardioversi gagal merubah irama menjadi sinus maka amiodaron diberikan. Pengobatan untuk menurunkan tekanan intrakranial juga diberikan. Pasien meninggal 4 jam setelah masuk rumah sakit. Kesimpulan Aritmia yang berhubungan dengan cedera otak dapat menyebabkan perfusi otak yang suboptimal serta menyebabkan ketidaktera­turan otonom dan menyebabkan lingkaran setan kerusakan otak dan jantung-pembuluh darah. Hal ini harus segera ditangani untuk mencegah cedera otak sekunder dan iskemi miokardial.
Correlation of Waist to Height Ratio with Leptin Serum Level in Coronary Artery Disease Damay, Vito; Undarsa, Alberta Claudia
Indonesian Journal of Cardiology Vol 38 No 4 (2017): October - December 2017
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (0.036 KB) | DOI: 10.30701/ijc.v38i4.784

Abstract

Background: Adiposity assessment plays an important role in coronary artery disease (CAD) prevention. One of the adiposity parameter in major CAD management guide­line is waist to height ratio (WHtR). Adiposity promotes the pathogenesis of coronary atherosclerosis by involving adipokines released by adipose tissue. Leptin is obesity identic adipokine which is used as prognostic predictor of cardiovascular event. This study aims to analyze correlation between WHtR and leptin serum level. Method: A cross sectional study was performed to 37 stable CAD patients undergone elective coronary angiography in Heart Catheterization Laboratory Dr Hasan Sadikin Hospital, Bandung, West java in July 2014 Results: Mean age of the subjects was 56.7± 9.12 years old with mean age of men (n=32) and women (n=5) were 55.9±9.47 years old and 62±3.54 years old consecu­tively. There were 30 (81%) subjects classified as obese (WHtR≥0.5) with mean WHtR 0.54±0,06. Median value of leptin serum was 8599.90 pg/ml (780-36929.3 pg/ml). Based on rank-spearman correlation test, a positive moderate correlation was significantly found between WHtR and Leptin serum level (Spearman’s rho = 0.5, p= 0.001). Conclusion: Positive correlation was found between WHtR and leptin serum level. Hence, WHtR might be useful as indicator of leptin serum level which has been used as a prognostic biomarker in CAD patients   Abstrak Latar belakang: Penilaian adipositas merupakan bagian dari upaya preventif penyakit jantung koroner (PJK). Salah satu parameter antropometri adipositas yang digunakan pada panduan tatalaksana PJK adalah pengukuran rasio lingkar pinggang/tinggi badan (LP/TB). Adipositas diketahui berperan dalam patomekanisme terbentuknya aterosklerosis koroner melalui pelepasan adipositokin oleh jaringan adiposa. Leptin merupakan adipositokin identik adiposit yang digunakan sebagai biomarka indikator prognostik kejadian kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa korelasi LP/TB dengan kadar leptin serum. Metode: Studi potong lintang dengan menganalisis antropometri LP/TB dan kadar leptin serum pada 37 pasien PJK yang menjalani angiografi elektif di Laboratorium Kateterisasi Jantung RSUP Dr.Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat pada bulan Juli 2014. Hasil: Rerata usia subjek adalah 56.7± 9.12 tahun dengan rerata usia pria (n=32) dan wanita (n=5) secara berurutan adalah 55.9±9.47 tahun dan 62±3.54 tahun. Terdapat 30 (81%) subjek tergolong obesitas (nilai LP/TB ≥0,5) dengan rata-rata LP/TB 0.54±0,06. Nilai median leptin serum 8599.90 pg/ml (780-36929.3 pg/ml). Berdasarkan uji korelasi rank-spearman, terdapat korelasi positif bermakna antara LP/TB dengan kadar leptin serum (Spearman rho = 0.5, p= 0.001). Kesimpulan: Terdapat korelasi positif bermakna antara pemeriksaan antropometri LP/TB dengan kadar leptin serum. Rasio lingkar pinggang/tinggi badan dapat digunakan sebagai salah satu indikator kadar leptin serum yang merupakan biomarka prognostik kardiovaskular.