Legal positivism is widely embraced in modern law in almost all jurisdictions in the world, including in Southeast Asia and Central Asia. Legal positivism fully depends on how the sentence is written in the law, while legal realism uses the law only as a reference, and in principle, formal law should not hinder material justice. The methodology used is normative juridical and sociological juridical. The outline of the conclusion is that law enforcement must use the paradigm of thinking with the formulation of laws coupled with conscience in order to achieve the goal of law, namely justice, and schools of law or schools of law that are more appropriate for law enforcement in Indonesia today. is legal realism in addition to positivism. Adequate education and training are needed to change the paradigm of thinking from positivism to realism in order to achieve justice. Abstrak Positivisme hukum dipeluk secara luas dalam hukum modern di hampir seluruh yurisdiksi di dunia, termasuk di wilayah Asia Tenggara dan Asia Tengah. Positivisme hukum sepenuhnya bergantung kepada bagaimana bunyi kalimat yang tertulis dalam undang-undang, sementara realisme hukum menggunakan undang-undang hanya sebagai acuan saja, dan secara prinsip hukum formil tidak boleh menghalang-halangi keadilan materil. Metodologi yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Garis besar kesimpulan adalah bahwa penegakan hukum harus menggunakan paradigma berpikir dengan rumusan undang-undang yang dibarengi dengan hati nurani agar tercapai tujuan dari hukum yaitu keadilan (justice), dan mazhab atau aliran hukum yang lebih tepat digunakan ke dalam sebuah penegakan hukum di Indonesia saat ini adalah realisme hukum selain postivisme. Pendidikan dan pelatihan yang memadai sangat diperlukan untuk mengubah paradigma berpikir dari postivisme ke realisme dalam rangka menggapai keadilan. Kata kunci: Penegakan Hukum, Positivisme Hukum, Realisme Hukum, Keadilan