Perkawinan dalam budaya matrilineal diperdebatkan karena dianggap memiliki ikatan yang lemah, sehingga rentan terhadap perceraian karena faktor seperti keterbatasan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, penolakan terhadap poligami, kelemahan kekuasaan perempuan, dan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban individu. Meskipun mendapatkan hak istimewa, perceraian memiliki dampak signifikan pada perempuan, termasuk konsekuensi hukum adat. Jarang dianalisis secara kritis, hal ini berkontribusi pada praktik ketidakseimbangan gender dalam masyarakat Ngada. Penelitian ini membahas dampak hukum adat perceraian pada perempuan, khususnya dalam masyarakat matrilineal Ngada. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui tinjauan literatur dan wawancara, disajikan secara deskriptif. Temuan menunjukkan bahwa perempuan menikmati kemandirian, namun tanggung jawab menjadi beban. Dampak lainnya adalah pengakuan sosial atas otonomi dalam mengelola rumah tangga. Meskipun keterlibatan minimal, hal ini mendorong perempuan untuk terlibat dalam momen penting. Selanjutnya, perempuan merasakan pelemahan citra mereka, menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya merdeka, yang memperkuat ketidakseimbangan gender. Meninjau kembali praktik adat ini sangat penting untuk mencapai kesetaraan gender, mencegah potensi kekerasan dan diskriminasi, serta memastikan partisipasi perempuan yang lebih aktif.