Banyuwangi menjadi kabupaten terbesar di Jawa Timur yang mayoritas penduduknya bersuku Osing. Multikulturalisme di Banyuwangi melahirkan berbagai ekspresi budaya unik, termasuk tari Gandrung, seni pertunjukan yang menjadi maskot pariwisata sejak sebelum tahun 2003. Tari Gandrung awalnya dibawakan oleh laki-laki sebagai bentuk spionase dan penyampaian pesan perjuangan, tetapi sekarang digantikan menjadi penari perempuan dan menjadi pelopor lahirnya berbagai jenis tarian. Di era globalisasi, perkembangan teknologi dan informasi menjadi tantangan baru bagi ketahanan budaya tari Gandrung, terutama di kalangan generasi centennial yang aktif di media sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi nilai filosofis tari Gandrung dan strategi mempertahankan tari Gandrung sebagai warisan budaya bagi generasi centennial di Desa Kemiren melalui metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara dengan narasumber, termasuk penari generasi muda, maestro tari Gandrung, dan pemerintah daerah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan teknik triangulasi, yang melibatkan pemeriksaan informasi dari berbagai sumber dan metode pengumpulan data yang berbeda untuk memastikan validitas data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna filosofis tari Gandrung mencakup sejarah sakral dan mistik, simbolik gerakan yang mengandung pesan sosial budaya, serta properti tari yang memiliki makna estetika dan kultural. Meskipun menghadapi tantangan modernisasi, upaya pemerintah daerah dan melestarikan peran generasi centennial dalam tari Gandrung melalui pendidikan dan apresiasi budaya telah berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesenian ini.