Mudrik Al Farizi
Institut Agama Islam Ngawi

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

INSTRUMEN DAKWAH MENURUT JALALUDDIN RAKHMAT Mudrik Al Farizi
Al-Mabsut: Jurnal Studi Islam dan Sosial Vol 12 No 2 (2018): SEPTEMBER
Publisher : Institut Agama Islam Ngawi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56997/almabsut.v12i2.331

Abstract

Abstrak Islam sebagai agama dakwah mewajibkan setiap pemeluknya untuk berdakwah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Lebih jelasnya setiap anak Adam yang beragama Islam (muslim) tak terkecuali, sesungguhnya adalah juru dakwah yang mengemban tugas untuk menjadi teladan moral di tengah masyarakat yang kompleks dengan persoalan-persoalan kehidupan. Tugas dakwah yang demikian berat dan luhur itu mencakup pada dua aspek yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran). Dalam buku Agama dan Analisis Sosial, Roland Roberston mengatakan bahwa agama adalah benteng moralitas bagi umat, karena lewat agama diatur bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia dan antar umat manusia dengan Tuhanya. Seperti juga dalam agama Islam, agama adalah petunjuk bagi manusia agar manusia senantiasa terkontrol dalam tingkah laku yang luhur, saling menghormati, memahami, mengasihi, dan mencintai kehidupan sesama.Jalaluddin lebih mendahulukan akhlak ketimbang yang lain. Pertama adalah, bahwa perhatian umat terhadap fiqih sudah terlalu dalam. Banyak organisasi keagamaan didirikan atas dasar fiqih. Sebagai contoh beberapa organisasi keagamaan di Indonesia seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, al-Irsyad, dan lain-lain banyak dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman fiqih pada pendirinya. Kedua, kebenaran yang ditawarkan fiqih, seperti yang diklaim sejumlah pengikut fanatiknya, lebih bersifat tunggal (meskipun fiqih sendiri sejatinya bersifat plural). Paradigma fiqih menganjurkan untuk menunggalkan mazhab. Dari sinilah tercipta kristalisasi pendapat ulama fiqih yang mengarah pada pengkudusan dan sakralisasi pemikiran (taqdis al-afkar). Fiqih diangkat dari pendapat para ulama ke satu tingkat sejajar dengan al-Quran dan Sunnah. Fiqih yang sangat manusiawi serkarang memiliki status ilahi—suci, tak boleh dibantah, dan pasti benar. Dari situ muncullah keinginan untuk menyatukan mazhab. Ketiga, (akibat dari dua faktor pertama) muncul pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam akibat dari ketatnya pola pemahaman fiqih di antara mereka. Sakralisasi pemikiran ulama fiqih berujung pangkal pada munculnya perseteruan hebat antara kelompok umat (Islam) yang satu dengan yang lain. Kata Kunci : Dakwah dan Jalaludin Rakhmat
REALITAS KONSTRUKSI SOSIAL: KEKUASAAN KIAI DALAM MENGONSTRUKSI KELUARGA SAKINAH PADA MASYARAKAT NGAWI Mudrik Al Farizi
Al-Mabsut: Jurnal Studi Islam dan Sosial Vol 13 No 1 (2019): MARET
Publisher : Institut Agama Islam Ngawi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56997/almabsut.v13i1.337

Abstract

AbstrakSakinah sebagai salah satu kebudayaan yang terlahir di tengah dinamika sosial memiliki dua dimensi secara simultan: obyektif dan subyektif. Masyarakat sebagai instrumen dalam menciptakan realitas obyektif, secara terus-menerus membangun obyektifitas sakinah melalui proses eksternalisasi. Pada saat yang bersamaan, proses tersebut juga mempengaruhi kesadaran subyektif mereka melalui momen internalisasi. Sakinah sebagai kebudayaan dalam masyarakat merupakan konsep yang sedang terbentuk; ia bukan sebuah realitas kebudayaan yang final. Masa depan konstruksi keluarga sakinah akan selalu bergantung pada proses dialektis yang dilakonkan oleh instrumen-instrumen pembentuknya (kiai dan masyarakat). Proses dialektis dalam konstruksi realitas ini termanifestasikan dalam tiga momen: eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi. Mayoritas Kiai memandang bahwa keteladanan keluarga sakinah yang direpresentasikan kiai akan memiliki dampak yang lebih kuat daripada dakwah melalui retorika yang biasanya mudah dilupakan; tak berbekas. Argumentasi yang disampaikan kiai biasanya merujuk pada falsafah lisan al-hal afs}ah} min lisan al-maq. Keteladanan seperti ini bagi mereka adalah sebuah amanah yang dibebankan Allah. Kiai (atau biasa juga disebut ulama) yang secara struktural adalah pewaris nabi memang sangat pantas untuk mengemban dan mewarisi tugas nabi: menjadi uswah hasanah. H}ujjah-h}ujjah seperti inilah yang memotivasi mereka untuk menjadi garda depan sekaligus uswah untuk membumikan sakinah dalam institusi keluarga. Kiai bersama masyarakat menciptakan sebuah produk konsep sakinah yang berlangsung secara terus-menerus, sepanjang eksternalisasinya masih berlangsung. Pada tahapan momen ini kiai dan masyarakat membayangkan bahwa konsep sakinah benar-benar kenyataan di luar dirinya.Kiat-kiat dalam kosntruksi keluarga sakinah seolah telah terpisah dari masyrakat, bahkan kiai. Nilai sakinah yang digambarkan kiaisebagai tatanan keluarga yang saling menghormati, mengerti peran dan tanggung jawab dalam keluarga, mengedepankan musyawarah, dan  menyelesaikan konflik keluarga dengan win-win solution sungguh telah menjadi kenyataan obyektif . Kata Kunci : konstruksi sosial, kiai, keluarga sakinah.